Entah bagaimana rasa nyaman itu membuatku merasa terikat dengannya. Dia memberiku sebuah rasa yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Saat itu, aku begitu nyaman berada di dekatnya. Dia adalah sosok yang kucari selama ini.
Pembawaan yang dewasa, tak pernah menggurui dan tahu cara menghargai wanita tanpa berlebihan. Aku benar-benar jatuh hati saat itu. Tak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta.
Aku mengenalnya dari saudaraku, mereka bersahabat sudah lama. Dia tahu persis bagaimana sosok yang diminta untuk menemaniku mengenal Pulau tempat kelahiranku, tapi bukan tempatku dibesarkan.
Meski ini lahir di Lombok, tapi kami tinggal di tanah kelahiran Bapak di Jawa Tengah. Sejak memutuskan untuk tinggal di Lombok, aku merasa mati gaya. Tak ada teman, tak ada yang kukenal, tak bisa kemanapun. Buta sama sekali tentang pulau ini. Tentu jenuh dan ingin kembali ke Jawa.Â
Adik bungsu Ibu meminta seorang temannya menemaniku mengenal Pulau ini. Sekedar sebagai teman untuk jalan-jalan karena dia pindah ke Pulau Sebrang setelah menikah. Sosok yang hanya kutahu dari cerita, tapi cukup membuatku penasaran karena diamnya.
Bahkan, saat pertama kali bertemu diminta oleh Paman mengantarku beli tiket, dia sama sekali tak menghubungiku setelah beberapa hari. Aku yang mulai menaruh simpati karena bisa ngobrol banyak dengannya yang memiliki wawasan cukup luas, akhirnya penasaran dan mencoba mencari cara untuk bisa bertemu.
Pernah sekali saat itu, aku menghubunginya hanya menanyakan sesuatu yang tidak penting. Kurasa dia tahu kalau aku bukan sekedar bertanya, tapi ingin tahu lebih dekat.
Baru kali ini aku benar-benar tidak mengerti mengapa dia bisa sedingin ini. Padahal, dia sudah pernah memujiku saat bertemu, tapi tidak pernah menghubungiku meski tahu nomor wa ku. Aku pun penasaran dengannya. Kucari alasan untuk bisa bersamanya. Kucari alasan untuk bisa mengenalnya lebih dekat.
Hingga seorang teman datang bulan madu dari Bali ke Lombok. Bukan teman dekat, tapi aku bisa menjadikannya alasan untuk bisa bertemu dengan Abang Ashar. Saat itulah, kami bicara banyak karena hampir seharian kami bersama menunjukkan pada mereka beberapa tempat bagus di Lombok.
Aku pun mulai membuka cerita dengannya yang hanya menanggapi ceritaku tanpa bercerita tentang dirinya. Namun, saat itu aku sangat bahagia bisa dekat dengannya. Merasa tidak jelek, aku pun yakin dia akan menghubungiku lagi.
Namun, aku salah. Dia masih tetap diam, tidak menghubungiku. Baru kali in aku penasaran dengan sosok yang bahkan baru kukenal. Selama ini, aku teta diam meski beberapa kali dikenalkan dengan teman dan tidak berhasil. Mungkin saat itu, pskilogisku sedang labil seperti yang banyak disebut anak sekarang dengan ababil. ABG labil.
Mungkin saat itu aku sedang dalam masa puber, masa penasaran, ingin tahu, ingin mencoba dan banyak hal yang membuatku memberanikan diri beberapa kali menghubunginya. Bahkan, aku pula yang meminta diantar hingga akhirnya dia pun memberanikan diri mengajakku keluar.Â
Seingatku, aku yang lebih banyak mengajak keluar. Dia memperkenalkanku dengan teman dekatnya yang tinggalnya pun tidak jauh dari rumahnya, tapi memilih mengontrak setelah menikah. Saat mulai dikenalkan dengan beberapa orang dekatnya, aku mulai merasa senang.Â
Akhirnya, sampai juga pada titik itu. Hingga akhirnya diperkenalkan dengan kedua orang tuanya yang ternyata sangat mengharapkan kedatanganku. Menurut beberapa cerita, dia tahu kalau anak sulungnya sedang dekat denganku, tapi tiap kali bertanya selalu dijawab nanti kalau sudah saatnya. Sampai akhirnya aku pun bertemu mereka, dua sosok orang tua yang terlihat bijaksana di usia yang sudah semakin senja.
Mereka mempertanyakan kapan kami akan menuju ke ikatan suci karena adiknya sudah meminta menikah. Rasanya hatiku langsung luruh, aku pun menunggu dia mengajakku menikah, tapi sampai sekarang tak ada ucapan apapun darinya. Hanya sekali dia mengatakan akan melamarku di tahun depan, tapi tak ada pembahasan setelah itu.
Sosok itu sangat tertutup, aku tak mengerti apa yang ada di fikirannya. Dia tak pernah membahas lagi tentang pernikahan, ataupun sekedar tentang lamaran bahkan langkah menuju kesana pun tidak.
Bapakku yang saat itu masih proyek di luar pulau bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Tak pernah ada niatan bertemu bapak, aku pun mulai ragu. Saat itulah, satu dua orang yang dekat dengannya mulai mencoba meyakinaknku untuk tidak goyah, mencoba mengeratkan kembali hubngan yang sudah mulai goyah. Mencoba meyakinkan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.Â
Sampai akhirnya aku pun menyerah menunggu kepastian. Seseorang yang baru kukenal. segera meminangkau. Dalam doa yang terus kupanjatkan, kutemukan jawaban doaku.
Kutemukan sosok yang tidak sempurna, tapi mau berkomitmen bersamaku. Sosok yang baru kukenal, tapi sudah kuminta untuk ditunjukkan kemana arah jalan kami padaNya. Hingga akhirnya kami menikah tanpa pacaran. Allah meyakinkanku melalui banyak cara.
Lama tak terdengar cerita tentang sosok yang pernah kutunggu keseriusannya, seseorang yang dekat denganku tetiba menghubungi. Cerita itu terulang lagi dengan seseorang yang dekat dengannya. Seseorang yang kukenal. Sosok seniorku saat masih bekerja dulu.
Aku yang memang tahu mereka memiliki hubungan ikut sedih, teringat ketika aku pun mengalami hal yang sama. Banyak orang menguatkan, tapi aku tidak yakin. Banyak orang mencoba memberiku keyakinan akan kepastiannya, tapi aku tak kunjung yakin karena diamnya. Mereka yang siap berkomitmen pasti aan mengatakan tanpa harus ditanya. Itu yang kuyakini.
Aku mulai goyah, aku mulai gamang. Satu dua orang datang untuk memperkuat kegoyahanku, tapi aku merasa hatiku masih ada disana. Ada di tempat yang tak kuyakini bisa melangkah maju dengannya. Diamnya membuatku tak tahu diamana ujung penantianku. Diamnya membuatku tak yakin akan mendapatkan ujung seperti yang kuharapkan.
Aku pun mundur. Seseorang yang baru kukenal meminangku. Berbekal doa dan niat ibadah, kami pun menikah. Benar kata orang, yang datang membawa bunga akan kalah dengan yang datang membawa mahar. Sejak awal, dia sudah terbuka dan mengatakan maksudnya. Rencana apa yang ingin dicapai, rencana apa yang ingin kucapai, kami menyamakan visi dan misi untuk rumah tangga kami. Berharap ridhoNya, melangkah mencari bekal menuju jannah.
Lama setelah itu, kudengar cerita dari seorang teman. Aku tahu sosok itu dekat dengan orang yang dulu pernah menjadi seniorku di kantor. Aku ikut bahagia, aku tahu mereka berdua orang baik. Berharap mereka bisa bahagia bersama karena mereka benar-benar baik. Aku tak pernah merasa sakit hati dengan sosok itu dan kutahu orang yang dekat dengannya pun orang yang baik.
Ternyata ceritanya sama denganku. Perempuan itu akhirnya memilih mundur, memupus harapannya sendiri yang tak kunjung mendapatkan kejelasan. Alasan yang disampaikan pun seperti tidak cukup kuat untuk diterima. Sakit ayahnya membuatnya tak bisa meninggalkan dan ia ingin mengabdikan dirinya untuk ayahnya.
Meski seharusnya komitmen bisa sejalan dengan bakti, tapi nyatanya memang tak bisa dipaksakan. Hati itu pun memilih untuk mengalah, mengalah dengan mimpi yang sempat dilambungkannya atas hubungan mereka.Â
Mimpi sederhana yang tak perlu banyak orang tahu. Mimpinya sendiri yang entah sama atau tidak dengan mimpi sosok yang diharapkannya. Sesederhana bisa bersama sampai tua. Sesederhana hanya untuk ada. Namun, nyatanya harus dihempaskan karena lelah berharap.Â
Aku ikut sedih mendengarnya. Entah apa yang terjadi pada sosok itu, sampai harus membiarkan harapan itu berguguran dengan alasan yang tidak cukup kuat untuk memupusnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H