Aku pun mundur. Seseorang yang baru kukenal meminangku. Berbekal doa dan niat ibadah, kami pun menikah. Benar kata orang, yang datang membawa bunga akan kalah dengan yang datang membawa mahar. Sejak awal, dia sudah terbuka dan mengatakan maksudnya. Rencana apa yang ingin dicapai, rencana apa yang ingin kucapai, kami menyamakan visi dan misi untuk rumah tangga kami. Berharap ridhoNya, melangkah mencari bekal menuju jannah.
Lama setelah itu, kudengar cerita dari seorang teman. Aku tahu sosok itu dekat dengan orang yang dulu pernah menjadi seniorku di kantor. Aku ikut bahagia, aku tahu mereka berdua orang baik. Berharap mereka bisa bahagia bersama karena mereka benar-benar baik. Aku tak pernah merasa sakit hati dengan sosok itu dan kutahu orang yang dekat dengannya pun orang yang baik.
Ternyata ceritanya sama denganku. Perempuan itu akhirnya memilih mundur, memupus harapannya sendiri yang tak kunjung mendapatkan kejelasan. Alasan yang disampaikan pun seperti tidak cukup kuat untuk diterima. Sakit ayahnya membuatnya tak bisa meninggalkan dan ia ingin mengabdikan dirinya untuk ayahnya.
Meski seharusnya komitmen bisa sejalan dengan bakti, tapi nyatanya memang tak bisa dipaksakan. Hati itu pun memilih untuk mengalah, mengalah dengan mimpi yang sempat dilambungkannya atas hubungan mereka.Â
Mimpi sederhana yang tak perlu banyak orang tahu. Mimpinya sendiri yang entah sama atau tidak dengan mimpi sosok yang diharapkannya. Sesederhana bisa bersama sampai tua. Sesederhana hanya untuk ada. Namun, nyatanya harus dihempaskan karena lelah berharap.Â
Aku ikut sedih mendengarnya. Entah apa yang terjadi pada sosok itu, sampai harus membiarkan harapan itu berguguran dengan alasan yang tidak cukup kuat untuk memupusnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H