Kami bisa merasakannya dan tetap dekat meski tidak setiap hari ada di rumah. Benar memang kedekatan emosional tidak bisa diukur dengan kuantitas bertemu, tapi kualitas pertemuan.Â
Sering bertemu tapi jarang berkumpul, berbincang bersama menceritakan apa yangs udah dialami satu sama lain tidak akan menjadi lebih dekat dari yang jarang bertemu tapi memanfaatkan waktu bersama dengan baik. Berbincang, berbagi cerita, bercanda dan saling mengingatkan dalam kebaikan.
Selalu sholat berjamaah dan duduk berkumpul di ruang tamu menjadi rutinitas kami saat Bapak pulang. Tidur siang pun kami bersama-sama saling tumpang tindih di depan Televisi satu-satunya yang kami punya saat itu.Â
Namun, terasa sangat menyenangkan dan dekat satu sama lain. Saat itu, telepon masih belum punya dan menumpang ke tetangga. Namun, tak mengurangi kedekatan kami.Â
Semakin dewasa, Bapak semakin banyak ngobrol dan menceritakan banyak hal denganku. Banyak yang kami diskusikan bahkan terkadang Mamak justru tidak tahu.Â
Banyak pertimbangan yang beliau ceritakan padaku, tapi tidak dengan mamak karena takut Mamak banyak berharap. Semoga sehat selalu, Pak. Semoga bisa mendapatkan proyek di Lombok dan bisa bersama kami lebih sering. Meski tidak sering bertemu, cucu-cucunya pun dekat dengannya.
Fyi: Bapak saya seorang konsultant jalan yang masih bernaung di sebuah perusahan dengan kantor pusat Jakarta. Ingin sekali bekerja di Lombok saja, tapi belum ada panggilan dari beberapa teman lama yang pernah dihubunginya. Banyak ikhtiar yang dimulai oleh Mamak untuk membangun usaha agar Bapak bisa berhenti proyek, tapi Allah belum mengabulkan doa kami. InsyaAllah secepatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H