Mohon tunggu...
Shafa Varera
Shafa Varera Mohon Tunggu... Freelancer - Be better everytime

bercerita untuk berbagi dan bermanfaat. mom's of two child and a wife, blogger and listener

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

IRT bukan ART

30 September 2019   21:55 Diperbarui: 30 September 2019   22:03 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak belum menikah memang saya sangat ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Meski cita-cita saya memang memiliki pendidikan tinggi, tapi menjadi ibu rumah tangga yang mendampingi anak-anak setiap saat adalah sebuah kepuasan. Saya ingin bisa memiliki kedekatan dan belajar menajdi orang tua yang baik dengan mendampingi tumbuh kembang mereka seutuhnya.

Bagi saya, kepuasan adalah ketika bisa menjadi orang pertama yang ada saat mereka membutuhkan. Suami juga sepertinya memiliki komitmen yang sama dengan saya.

Dia tahu saya tipe orang yang gila kerja, tapi dia tidak memberikan izin saya apabila pekerjaan saya lebih berat darinya. Dia ingin saya bekerja hanya untuk mengisi waktu luang ketika nantinya anak-anak sudah mulau beranjak dewasa dan aku mulai jenuh di rumah.

Saat mulai memiliki bayi, rasanya sungguh luar biasa. Aku sangat sibuk belajar menjadi ibu yang baik dan memberikan asupan gizi terbaik untuk bayi pertama kami yang dikaruniakan langsung setelah kami menikah. Seorang bayi perempuan sehat yang sangat mirip ayahnya. Seperti rumah tangga kebanyakan, pasti ada satu dua perbedaan cara mendidik anak dan merawat anak.

Saya lebih banyak belajar dari buku, sosial media dan cerita teman sedangkan suami lebih banyak berbicara tentang pengalamannya.

Meski tak selamanya saya yang benar atau dia yang benar, pada akhirnya kami mengkombinasikan apa yang kami ketahui dan membuat kesepatakan. 

Kami sadar kalau kami harus meluruskan cara mendidik anak. Kami sering saling menyalahkan cara mendidik satu sama lain. Bedanya, saya lebih banyak diam sedangkan si Ayah lebih banyak ngomel. Saya memang tipe ibu yang tidak suka ngomel, saya cukup bicara sekali atau dua kali lalu diam saat merasa tidak sesuai keinginan atau kesal.

Belakangan si Sulung sudah mulai ngerti kalau Bundanya diam itu berarti sedang marah. Aku banyak belajar dari cara mendidik anak zaman old dan zaman now, terutama mendidik anak secara islami. Memberi pengertian, mengajak bicara dan melatih anak untuk mengerti memperbaiki kesalahan. Sulit memang, harus konsisten dan sabar.

Nah, terkadang kejenuhan ibu rumah tangga yang melakukan rutinitas monoton itu yang mengalahkan kesabaran.

Pernah orang terdekat sangat berpengaruh pada pola pengasuhan anak. Dukungan moral terutama, memberikan dukungan atas pola pengasuhan ibu dan tidak mengejudge sebagai orang tua itu penting. Memberikan apresiasi negatif pada pola asuh membuat terkadang ibu menjadi mudah emosi. Suami merupakan kunci utama sebagai motivator ibu untuk tetap bisa waras mengurus anak. Meski ini mungkin dianggap sepele, tapi sangat berpengaruh pada psikologis ibu.

Berada di lingkungan yang mendukung membuat ibu lebih bisa mengontrol emosi saat mendidik anak karena bisa berfikir jernih dalam meghadapi tingkah laku anak yang kadang diluar dugaan.

Anak harus tetap bisa bahagia di usianya, jadi ibu juga harus bisa berfikir jernih untuk mendukung tumbuh kembangnya dan juga menemani anak-anak bermain untuk melatih stimulasinya. Menemani anak bermain ini penting, apalagi di zaman yang serba teknologi ini. Gadget menjadi pelaampiasan saat ibu lelah dan tidak sabar.

Pengalaman saya jutru datang dari lingkungan. Tinggal di kota, membuat kami tidak terlalu sering bersinggungan dengan tetangga. Nah, saat pulang kampung di Lombok Timur, pola asuh saya mulai dianggap sok. Saya memang tipe ibu yang selalu membuatkan anak makanan sendiri dan tidak terlalu memperbolehkan anak saya makan snack pabrikan.

Bukan tidak boleh, hanya membatasi, apalagi saat kondisi tubuhnya sedang tidak baik. Buah dan sayur saya bebaskan makan, tapi tidak untuk snack.

Memberi pengertian agar mereka tidak makan diam-diam di belakang saya menjadi tantangan tersendiri. Biasanya mereka yang kasihan  melihat anak saya menangis saat kesal mengambil jalan pintas untuk membelikan apa yang mereka mau.

Saat itulah saya tidak bisa marah, tapi ketidaksetujuan saya hanya dibalas "Sekali aja". Saya selalu mengajarkan pada anak-anak utnuk konsisten, jadi tidak ada sekali saja untuk sebuah kesalahan yang disengaja. 

Bukan hanya itu, saya juga tidak suka saat anak jatuh, anak diajarkan untuk memukul lantai. Seolah menyalahkan orang lain saat sesuatu yang tidak baik terjadi pada dirinya.

Mengusir hewan dari dalam rumah juga dengan cara yang baik, jangan melempar atau menendang. Mereka pun makhluk Allah yang harus disayangi meski mungkin tidak suka kalau mereka buang air sembarangan. Itulah alasan saya terus mendampingi tumbuh kembangnya, menanamkan nilai dasar dalam kehidupan yang dimulai dari hal kecil. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun