Mohon tunggu...
Shafa Salsabilla Sultanudin
Shafa Salsabilla Sultanudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Shafa Salsabilla Sultanudin adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah, Universitas Padjajaran. Artikel yang ditulis adalah merupakan Artikel bertemakan Sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masuknya Islam di Pulau Bali

25 September 2024   17:05 Diperbarui: 25 September 2024   17:10 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat yang sama, Eropa yang telah mengalami Revolusi Industri memulai ekspansi ke Nusantara melalui Belanda dengan mendirikan VOC, yang kemudian dibubarkan. Belanda kemudian kembali ke Nusantara dengan mendirikan pemerintahan Hindia-Belanda. Tidak hanya di Jawa, Belanda juga menjajah hampir seluruh wilayah Nusantara, termasuk Bali. Sebagian masyarakat menerima penjajahan tersebut tanpa perlawanan, sementara banyak kerajaan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Hindia-Belanda. Meskipun beberapa kerajaan berhasil melawan penjajah, banyak yang tidak mampu mempertahankan kekuasaan mereka dan akhirnya tunduk pada pemerintahan Hindia-Belanda. Beberapa penguasa bahkan memilih untuk melarikan diri ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya akibat tekanan penjajahan.

3. Muslim Bali masa Kerajaan Islam Jawa

Setelah Kerajaan Hindu Majapahit berhasil diruntuhkan oleh Demak, seperti halnya kerajaan-kerajaan lainnya, ekspedisi untuk memperluas pengaruh dilakukan oleh Demak ke berbagai wilayah, termasuk bekas negara vassal Majapahit. Keruntuhan Majapahit menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran masyarakat Hindu-Jawa yang menolak Islam, menuju wilayah-wilayah pegunungan seperti Tengger dan Bromo, serta banyak yang bermigrasi ke Bali. Di antara para pengungsi Majapahit, termasuk tokoh-tokoh agama seperti Danghyang Niratha, yang pada akhirnya diangkat sebagai penasihat utama Waturenggong pada tahun 1489. Keruntuhan Majapahit dilihat sebagai peluang bagi Kerajaan Bali untuk memperoleh kemerdekaan dan berinteraksi dengan para penyebar Islam dari Kerajaan Demak. Pada saat yang sama, Agama Hindu Majapahit diperkuat dengan banyaknya migrasi putra-putra Hindu-Jawa Majapahit dan para pendeta yang tidak mau menerima proses Islamisasi, dan akhirnya menetap di Bali.

Seperti halnya Kerajaan Makassar yang terlibat dalam konflik berkepanjangan dengan Belanda dalam upaya merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda dari tahun 1660 hingga mencapai Perjanjian Bongaya pada 1667, pertempuran akhirnya berakhir dengan kekalahan Makassar pada 1669. Setelah kemenangan Belanda, banyak orang Makassar yang dikenal sebagai pelaut ulung dengan armada maritim yang kuat melakukan pelayaran dan migrasi ke berbagai wilayah, termasuk Pulau Bali. Selain Makassar, berbagai daerah lain di Nusantara yang bersentuhan dengan kekuasaan Hindia-Belanda juga terlibat dalam peperangan mempertahankan wilayah mereka. Walaupun beberapa konflik melawan kolonial Belanda berhasil dimenangkan, banyak kerajaan yang pada akhirnya gagal mempertahankan kekuasaan dan berujung pada runtuhnya kekuatan mereka.

Pada masa inilah, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang mulai berkuasa dapat dengan lebih leluasa melakukan ekspedisi politik dan upaya penyebaran Islam di Bali. Sebelumnya, Bali merupakan wilayah yang relatif tertutup dan terisolasi dari perdagangan Nusantara. Namun, pada periode ini, proses islamisasi di Bali mulai diterima dan mencapai puncaknya. Banyak saudagar, bangsawan, dan pendakwah dari kerajaan-kerajaan Islam yang sedang mengalami kemunduran akibat tekanan Belanda, bermigrasi ke Bali, yang mereka anggap sebagai tempat strategis untuk memulai kehidupan baru.

Di Bali, beberapa dari para pendatang Muslim ini akhirnya menjadi tokoh penting di kerajaan-kerajaan setempat dan bahkan ada yang berperan dalam melawan penjajahan Belanda. Salah satu wilayah yang strategis untuk kedatangan pendatang ini adalah Jembrana, yang terletak di bagian barat Pulau Bali. Wilayah ini menjadi pusat kedatangan para pelaut Bugis yang terkenal karena keberanian mereka di lautan, menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Jembrana. Menurut catatan Jean Couteau, pada tahun 1667, sekelompok Muslim Bugis-Makassar telah mendarat di kawasan Jembrana, tepatnya di pesisir selatan Desa Perancak di barat Bali, menggunakan perahu jenis pinisi dan lambo, yang menjadi alat transportasi utama mereka.

Sebelum Islam hadir, Bali dikenal sebagai kepulauan yang dipenuhi kerajaan-kerajaan Hindu, yang sangat kental dengan tradisi dan budaya Hindu, serta terkenal dengan julukan "pulau seribu pura." Selain Hindu, agama Wisnu dan animisme telah lebih dahulu dianut oleh masyarakat Bali. Mayoritas penduduk Bali berprofesi sebagai petani dan nelayan, dan telah memiliki berbagai organisasi masyarakat seperti subak untuk pengelolaan irigasi dan seka untuk kegiatan sosial dan budaya. Islam mulai masuk ke Bali secara damai sejak abad ke-14, pada masa Kerajaan Gelgel yang saat itu masih menjadi kerajaan vassal Majapahit. Penyebaran Islam berlanjut secara perlahan hingga mengalami perkembangan pesat pada akhir abad ke-18, ketika pelabuhan-pelabuhan di Bali mulai dibuka dengan bantuan syahbandar Bugis-Makassar. Hal ini menarik banyak pendatang dari berbagai wilayah seperti Malaysia, Kalimantan, Lombok, Jawa, China, hingga para pedagang Arab.

Pada abad ke-18, Kerajaan Jembrana mengeluarkan kebijakan yang memberikan kebebasan beragama bagi umat Islam, yang menjadi titik awal Islam tumbuh dan melembaga di wilayah ini. Banyak pendatang Muslim menikah dengan wanita lokal, dan seiring waktu terbentuklah komunitas-komunitas Muslim seperti di Gelgel, Loloan, Pegayaman, dan Kepoan. Mereka juga mendirikan tempat-tempat ibadah seperti masjid serta lembaga-lembaga Islam lainnya seperti pesantren. Islam dan Hindu di Bali hidup berdampingan secara harmonis, dengan hubungan yang dipenuhi sikap saling toleransi. Meskipun telah memeluk Islam, budaya lokal Bali tetap dipertahankan oleh masyarakat Muslim Bali. Mereka masih mengikuti tradisi-tradisi seperti subak, seka, serta penamaan dan bahasa, dengan perbedaan hanya terletak pada aspek ibadah.

Daftar Pustaka : 

Burhanuddin,M Yudhis. 2008. Bali yang Hilang Pendatang Islam dan Etnisitas Bali. Yogyakarta:Kanisius. 

Bahsyar, M Hmadan.2010.Identitas Minoritas di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Tabanan dan Gianyar. Jakarta : LIPI Press. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun