Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada bulan Agustus. Media sosial dihebohkan dengan berita kudeta bisnis yang dilakukan PT.Indofood CBP Sukses Makmur yang dibawahi oleh Salim Grup. Dilansir dari akun media sosial X: @senenjayamall “Fakta punya fakta ternyata pendirinya adalah Djajadi Djaja, pencetus INDOMIE yang kini tersingkir dari produk yang dilahirkannya sendiri”.
Sejarah Indomie dan Mie Gaga
Sebelum fakta ini tersebar luas, publik mengira Indomie dibawahi oleh Salim Group. Tapi, kenyataannya Indomie pertama kali dicetuskan oleh Djajadi Jaya. Indomie pertama kali dirintis oleh Djajadi Jaya dan rekan sebelum akhirnya menjalin hubungan kerja sama dengan Salim Group. PT. Indofood CBP Sukses Makmur adalah bagian dari Salim Grup awal mulanya merupakan produsen tepung terigu merek Bogasari, sekarang menjadi PT Bogasari yang dibawahi oleh Salim Group juga.
Awalnya, ICBP adalah perusahaan produsen tepung terigu yang terkenal dengan merek Bogasari. Mereka telah memproduksi tepung ini sejak tahun 1960-an dan menciptakan produk mie instan pertama, diproduksi oleh PT Sarimi Asli Jaya. Sarimi hadir berkat kebolehan Salim Group dalam membaca kondisi pasar dimana sedang terjadi krisis pasokan beras di Indonesia.
Namun pada tahun 1984, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 600 juta dollar amerika untuk impor beras dan berusaha mencapai swasembada beras. Sementara itu, Bogasari telah menjalin kontrak jangka panjang untuk membeli gandum. Maka dari itu, Bogasari kemudian meningkatkan produksi mie instan sebagai langkah strategis untuk menjaga kelangsungan bisnisnya dalam jangka panjang, walaupun muncul beberapa kendala lainnya.
Karena kapasitas produksi Sarimi cukup kecil, Salim Group meminta bantuan kepada kompetitornya, yaitu Indomie dan Supermie. Indomie saat itu masih berada di genggaman pencetusnya menolak hubungan kerja sama tersebut, tidak terima dengan penolak tersebut. Salim group seolah ingin memberikan efek jera, Salim Group berkerja sama dengan Supermie. Mereka mencapai tujuan tersebut dengan cara promosi yang agresif dengan menurunkan harga produk mereka hingga jauh di bawah Indomie.
Akibatnya pangsa pasar Indomie direbut sebesar 40%. Upaya kolaborasi ini mengintervensi Indomie dan akhirnya mengubah keputusannya. Djajadi jaya akhirnya menyerah dan sepakat untuk mendirikan perusahaan patungan bernama PT. Indofood Interna Coorporation pada 1984 dengan pembagian saham 57.5% dimiliki Indomie dan 42.5% dimiliki Salim Group.
Pada awalnya kerja sama kedua perusahaan ini berjalan dengan baik. Pemantik permasalahan Djajadi, dkk dan Salim Group diawalmulai oleh permasalahan keuangan pada perusahaan djajadi, PT. Sanmaru Food Manufacturing. Sehingga, Salim Group memutuskan untuk mengganti distributor bahan bakunya kepada PT. Indomarco Adi Prima yang bukan tidak lain merupakan anak perusahannya sendiri.
Secara perlahan, Salim Group melakukan kudeta halus kepada Indomie dengan mengakuisis saham secara keseluruhan. Menurut “rumor” yang beredar, Djajadi dipaksa menyerahkan sahamnya. Tahun 1992 menjadi puncak tersingkirkannya Djajadi dari lini bisnis Indomie. Pada tahun 1994, Indomie sukses dimiliki sepenuhnya oleh Salim Group. Djajadi sempat ingin merebut kembali hak asuh Indomie dan menuntut kerugian 620 miliar pada tahun 1998, namun djajadi kalah telak di pengadilan.
Hidup harus terus berjalan, Djajadi Djaya melanjutkan mimpinya untuk menghasilkan makanan pokok yang bernutrisi dan sehat dengan harga terjangkau. Lahirlah PT. Jakarna Tama pada 20 Juni 1980. Produk mie instan produksi PT Jakarna Tama bernama mie gaga. Tidak hanya mie instan, perusahaan ini memproduksi sejumlah produk lain, seperti makanan kalengan, sosis siap makan, dan bumbu penyedap.
Mengetahui fakta tersebut, masyarakat merasa iba dan kasihan, mereka berbondong bondong pergi ke supermarket terdekat untuk membeli mie instan keluaran perusahaan milik Djajadi tersebut. Menurut mereka Djajadi Djaya deserves a happy ending. Bahkan beberapa konsumen secara terang-terangan memperlihatkan mengambil Mie Gaga di berbagai mini market bahkan supermarket, dan mengabaikan Indomie.