Suriah adalah negara yang mengalami konflik berkepanjangan bahkan hingga saat ini. Konflik internal ini bermula pada tanggal 26 Januari 2011, dengan latar belakang adanya demonstrasi dan unjuk rasa masyarakat Suriah untuk menuntut Bashar Al-Assad, Presiden Suriah, untuk mundur dari jabatannya. Demo yang dilakukan masyarakat Suriah ini tidak dapat dijauhkan dari peristiwa Arab Spring yang terjadi sejak akhir tahun 2010. Arab Spring merupakan sebuah peristiwa revolusi negara-negara Arab untuk menurunkan dan mejatuhkan rezim otoriter serta menciptakan sebuah sistem tatanan yang lebih demokratis, agar tidak ada lagi rezim otoriter. Walaupun masyarakat Suriah sudah melakukan demonstrasi, pemerintah Suriah masih tetap dipimpin oleh Bashar Al-Assad, sehingga membuat demontrasi berubah menjadi pemberontakan massal secara nasional. Dan hal inilah yang memicu masyarakat melakukan gerakan reformasi dan memutuskan angkat senjata untuk menurunkan Bashar Al-Assad dari kursi pemerintahan Suriah.
Dalam konflik ini Amerika Serikat mendukung pemuh pihak oposisi untuk menggulingkan Pemerintahan Bashar Al-Assad, maka dari itu Rusia sebagai saingan Amerika Serikat tidak tinggal diam. Rusia kemudian berada di pihak pemerintah Suriah, dan mendukung pemerintahan Bashar Al-Assad. Intervensi yang dilakukan Rusia ini berdasarkan kepada kepentingan nasionalnya, yaitu adanya kepentingan pertahanan (militer) untuk mempertahankan pangkalan udara Rusia yang ada di Suriah, kepentingan ekonomi dalam kerjasama perdagangan persenjataan Rusia dengan pemerintah Suriah, dan kepentingan ideologi untuk mempertahankan ideologinya yang ada di Suriah.
Rusia memberikan dukungan militer dan dukungan diplomatik kepada pemerintah Suriah dalam konflik internal Suriah. Dukungan militer Rusia terhadap Suriah tidak hanya serangan udara, namun juga serangan oleh angkatan laut dengan menggunakan rudal. Dukungan diplomatik yang dilakukan Rusia ialah veto terhadap draft resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang ditujukan kepada pemerintah Suriah dan dukungan ekonomi berupa pinjaman uang dan layanan perbankan Rusia terhadap pemerintah Suriah.
Konflik Suriah yang memuncak sejak tahun 2011, menimbulkan banyak korban dan terus bertambah, hal ini disebabkan karena pemerintah Suriah sering menggunakan kekerasan untuk meredam massa. Dengan pertimbangan konflik yang tidak kunjung mereda, PBB sebagai organisasi internasional turut memasukkan konflik Suriah dalam agenda pembahasan sidang Security Council.Â
Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang membahas konflik Suriah, Pada 4 Oktober 2011. Draft resolusi PBB S/2011/612 berisi pemberlakuan sanksi pada pemerintah Suriah, dan himbauan untuk menghentikan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil dan melaksanakan kebebasan berpendapat, namun resolusi ini mendapat penolakan oleh Rusia dan China dengan menggunakan hak vetonya (UN Security Council, 2011). Menurut Rusia, draft resolusi yang disponsori oleh Jerman, Inggris, Portugal, dan Prancis ini bukan pendekatan politik yang tepat dalam menyelesaikan sebuah konflik. Rusia dengan tegas menolak intervensi militer yang menurutnya telah dipertimbangkan oleh Dewan Keamanan sebagai salah satu model action masa depan dalam melakukan intervensi dengan melibatkan North Atlantic Treaty Organization (NATO) di dalamnya.
Dewan Keamanan PBB kembali mengadopsi draft resolusi terkait konflik Suriah, pada 4 Februari 2012. Sidang ini diadakan karena terjadi penyerangan oleh pemerintah Suriah terhadap pangkalan militer dan tentara oposisi yang terletak di Kota Homs. Draft resolusi S/2012/77 yang mendukung outline proposal Liga Arab, meminta kedua belah pihak baik pemerintah Suriah dan kelompok oposisi militer untuk menghentikan semua bentuk kekerasan dan pembalasan, kemudian diakhiri dengan perundingan dan negosiasi. Dalam draft, pemerintah Suriah diminta untuk menghentikan semua kekerasan dan wajib melindungi warga sipilnya, membebaskan semua orang yang ditahan, menarik kekuatan militer dan menjamin hak kebebasan termasuk memperbolehkan aksi demonstrasi (UN Security Council, 2012).Â
Selain itu draft resolusi Liga Arab tersebut menyaranakan agar Suriah melakukan transformasi politik menuju sistem demokrasi dan melakukan pergantian pemimpin melalui pemilihan umum. Namun resolusi ini kembali gagal karena Rusia dan China menggunakan hak vetonya untuk kedua kalinya, meskipun ada 13 negara yang mendukung draft resolusi tersebut. Rusia berpendapat bahwa kekerasan dan tumpah darah harus segera dihentikan dan Rusia mengambil langkah dengan mengirimkan representatif resmi untuk bertemu Presiden Bashar Al-Assad pada 7 Februari 2012. Meski begitu, negara-negara besar lain memandang bahwa upaya perdamaian dengan mengadvokasi perubahan rezim yang diusahakann Rusia tersebut tidak akan berhasil.
Dalam sidang Dewan Keamanan PBB selanjutnya, yang diadakan tanggal 19 Juli 2012, Rusia dan China kembali menolak draft resolusi yang diajukan oleh Inggris sementara Afrika Selatan dan Pakistan memilih abstain. Penggunaan hak veto Rusia ini adalah kali ketiga dalam kurun waktu sembilan bulan terakhir sejak konflik Suriah. Kegagalan dalam mengadopsi draft resolusi S/2012/538 menandakan tidak berhasilnya Dewan Keamanan memperpanjang mandat United Nations Supervision Mission in Syria (UNSMIS) dan menjatuhkan sanksi pada Suriah (UN Security Council, 2012). Bagi Rusia, draft resolusi tersebut sudah tentu akan ditolaknya karena Rusia menilai bahwa maksud draft resolusi tersebut akan membuka jalan selanjutnya ke intervensi militer di masa yang akan datang.
Dengan masih berlangsungnya konflik Suriah, Prancis berusaha mensponsori draft resolusi untuk konflik Suriah namun kembali mengalami kegagalan. Meskipun sebenarnya Draft S/2014/348 yang diusung oleh Prancis telah mendapatkan dukungan dari 13 negara anggota Dewan Keamanan, namun Rusia dan China tetap menolak draft resolusi tersebut. Sehingga sidang yang dilakukan Dewan Keamanan pada tanggal 22 Mei 2014 gagal untuk mengesahkan draft resolusi karena Rusia dan China lagi-lagi menggunakan hak vetonya.
Karena Rusia dan China selalu memveto draft resolusi untuk Suriah, PBB hingga tidak dapat bertindak lebih jauh dalam konflik internal Suriah ini. Draft selanjutnya berisi penyerahan konflik Suriah pada International Criminal Court (ICC) karena konflik Suriah yang terus berlanjut dan semakin banyak korban berjatuhan, termasuk warga sipil. Namun, ICC tidak dapat melakukan investigasi terhadap konflik Suriah tanpa persetujuan ke-15 negara anggota Dewan Keamanan.
Dalam kurun waktu 2011-2015 Rusia dengan konsisten menggunakan 4 kali hak vetonya sebagai salah satu dari lima anggota permanen DK PBB, untuk menggagalkan draft resolusi DK PBB tentang resolusi konflik Suriah. Rusia selalu memiliki pespektif dan alasan sendiri ketika membahas konflik Suriah, dalam setiap penggunaan hak vetonya.
Penolakan ke-4 Rusia terhadap draft resolusi konflik Suriah mendapatkan banyak kecaman oleh negara-negara Barat. Menurut Rusia penyelesaian terbaik konflik Suriah adalah dengan melakukan upaya perdamaian secara politik, karena menyerahkan konflik ini pada ICC hanya akan mempersulit dan tidak menyelesaikan upaya perdamaian yang dilakukan. Dengan penggunaan empat kali hak vetonya dan pemberian bantuan kepada Suriah, menjelaskan bahwa posisi Rusia ada bersama Suriah sebagai aliansinya di kawasan Timur Tengah. Menurut Rusia pemerintahan Suriah masih berada di bawah kekuasaan Bashar Al-Assad, sehinggan Rusia akan melakukan apapun untuk mendukung pemerintahan Bashar dalam mempertahankam rezimnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H