“Seolah-olah PPnBM untuk mobil diberikan, sembako dipajaki itu kan teknik hoax yang bagus banget emang.” Penutup kata dari Sri Mulyani.
Dari pernyataan diatas, sangat disayangkan karena dokumen yang belum ditetapkan telah bocor dan informasi yang tersebar di kalangan masyarakat hanya sepotong dan tidak utuh. Membuat Sri Mulyani menyatakan bahwa informasi yang tersebar di masyarakat salah alias hoax.
Menurut saya dalam kasus diatas, terdapat pelanggaran Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi,”Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak medistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pelanggaran atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dikenakan saksi pidana, yang diatur dalam Pasal Undang-undang No. 19 Tahun 2016 UU ITE Pasal 45A ayat (3) yang berbunyi, “Setiap Orang yang sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan uraian tersebut, Berita bohong (hoax) di media sosial masih saja bikin resah masyarakat. Walaupun sudah ada norma yang berlaku di UU-RI No.19/2016, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai penyebaran informasi atau berita hohong. Namun, masih saja penulis mau menulis informasi yang tidak ada benarnya untuk ditaruh di website ataupun media sosial. Dengan informasi yang terus bermunculan di media sosial, menjadikan pengguna media sosial harus mampu memilah informasi yang benar dan palsu.
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang telah memasuki era teknologi revolusi industri 4.0, pun perlu pemahaman literasi media. Karena menemukan informasi yang benar pun tidak gampang. Menurut Allan Rubin (dalam Baran dan Davis, 2003) ada tiga definisi dari literasi media. Yang pertama, kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengomunikasikan pesan. Kedua, pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Dan terakhir ketiga, pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Dari beberapa definisi tersebut, memfokuskan pada pengetahuan spesifik dan rasionalitas terhadap informasi. Dengan pemahaman literasi media, akan menyadarkan kita bahwa sumber, kode yang digunakan, pesan dan dampak dari informasi itu perlu dan penting saat membaca informasi. Agar terhindar dari maraknya dampak negatif penggunaan internet seperti informasi dan berita yang hoax.
Shafaa Latisya A, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H