30 Desember 2024 lalu, sebuah kasus yang diangkat mengenai difabel di Twitter menarik perhatian saya. Beberapa minggu sebelumnya, kebetulan saya sendiri melakukan sedikit penelitian dan penulisan tentang isu difabel untuk tugas semester akhir. Awalnya, saya juga memiliki kesalahan persepsi yang amat buruk ketika memilih topik ini dengan berpikir bahwa difabel adalah sebuah masalah kesehatan. Karena jarang berinteraksi dengan teman-teman difabel, ditambah stigma yang masih beredar di masyarakat, dan empati yang semakin mengikis seiring umur yang bertambah, maka tak dapat dipungkiri bahwa pandangan tersebut akhirnya tercerahkan seiring proses kepenulisan. Karena itu, saya harap tulisan saya, dan kasus yang dialami oleh Pak Surya, juga bisa membantu memberi wawasan bagi pembaca. Izinkan saya melampirkan tweet tersebut untuk membuka artikel ini.
Di Indonesia, isu marginalisasi masyarakat difabel menjadi perhatian besar, dengan setidaknya 10 juta orang atau 4,3% populasi menghadapi tantangan ini. Data menunjukkan bahwa lebih dari 13% rumah tangga memiliki setidaknya satu orang difabel di dalamnya. Meski angka ini mencerminkan kondisi nyata, prevalensi sebenarnya kemungkinan lebih tinggi karena keterbatasan definisi dalam sensus. Difabel di Indonesia masih mengalami kesenjangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Hal ini diperburuk oleh stigma negatif yang berkembang di masyarakat, sehingga difabel sering diperlakukan tidak manusiawi, dijauhi, dan dimarginalkan, sehingga mereka sulit beradaptasi dengan masyarakat. Akibatnya, mereka kerap terjebak dalam kemiskinan. Sejalan dengan teori "culture of poverty" yang diungkapkan Oscar Lewis, kelompok miskin yang tidak terintegrasi dengan masyarakat akan semakin rentan terhadap diskriminasi dan apatisme, yang memperparah siklus kemiskinan mereka.
Jika ditinjau dari perspektif sejarah, tantangan yang dihadapi difabel saat ini memiliki akar yang panjang, dari masa pra-kolonial, hingga kolonial. Bagi masyarakat tradisional, para difabel sering dianggap sebagai akibat dari dosa atau pelanggaran tabu yang diwariskan. Kehadiran mereka sering dipandang sebagai aib keluarga. Masuknya pemerintah kolonial memperkenalkan pendekatan medis Barat yang mendefinisikan difabel sebagai kondisi medis atau penyakit. Difabel kemudian ditempatkan di rumah sakit dengan bangsal khusus, menandai awal dari program medikalisasi difabel. Pendekatan ini menggeser pandangan masyarakat terhadap difabel, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa mereka adalah individu yang "sakit" dan perlu dikendalikan. Tantangan signifikan tersebut kemudian berkembang hingga pasca-kolonialisme, meliputi akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik. Rata-rata tahun pendidikan bagi para difabel jauh lebih rendah dibandingkan masyarakat umum, terutama pada mereka yang mengalami tantangan berat. Selain itu, ketersediaan alat bantu seperti kacamata, alat bantu dengar, dan prostetik masih sangat minim, meskipun alat tersebut memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Sebagai contoh, 91% dari mereka yang membutuhkan alat bantu dengar tidak memilikinya.
Indonesia memang telah mengambil langkah penting dengan mengesahkan UU Nomor 8 Tahun 2016, yang memperkuat komitmen terhadap Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. UU ini bertujuan menghapus diskriminasi, memastikan program publik yang inklusif, serta menyediakan layanan yang mendukung kebutuhan difabel. Namun, pelaksanaan kebijakan masih menghadapi kendala, terutama terkait data yang belum memadai untuk mengidentifikasi hambatan spesifik dan menyusun respons yang efektif.
Bahkan, Komite CRPD Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah mempertanyakan kebijakan Indonesia terkait tiga isu utama: praktik pemasungan oleh pengelola panti sosial, tindakan medis tanpa persetujuan para difabel atau keluarganya, serta ketidakadilan dalam sistem peradilan yang tidak mengakui hak-hak difabel mental. Isu-isu ini mencerminkan bahwa diskriminasi terhadap difabel tetap menjadi tantangan besar, meskipun mereka secara hukum diakui sebagai warga negara.
Hingga saat ini, penanganan terhadap para difabel di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan serius. Dengan warisan diskriminasi dari masa lalu yang masih membayangi, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan memberdayakan difabel. Stigma, ketidakadilan sistemik, dan keterbatasan akses terhadap layanan harus diatasi secara menyeluruh untuk memastikan kesetaraan hak bagi semua warga negara.
Difabel: Sebuah Paradigma yang Berkembang dalam Sejarah dan Budaya
Indonesia, dengan keanekaragaman budayanya, memiliki berbagai paradigma tradisional dan sejarah istimewa tersendiri mengenai para difabel. Pada masa pra-kolonial hingga kolonial, difabel dipandang melalui dua kerangka besar: sebagai pelanggar tabu atau sebagai simbol kesaktian. Paradigma ini tidak hanya mencerminkan cara masyarakat memahami para difabel, tetapi juga menjadi dasar dari stigma, praktik sosial, dan kebijakan yang berkembang pada masa itu.
Paradigma pertama, yakni tabu, merupakan konsep yang sangat akrab di kalangan masyarakat tradisional Indonesia, dengan nama-nama lokal seperti pamali, kemali, atau pantangan. Tabu, menurut Sigmund Freud, memiliki makna ganda: di satu sisi suci dan di sisi lain terlarang. Salah satu tabu yang paling menonjol adalah tabu kehamilan. Larangan-larangan ini dimaksudkan untuk melindungi keselamatan janin, tetapi juga disertai ancaman hukuman bagi pelanggar. Dalam kepercayaan masyarakat Dayak, misalnya, melubangi pohon selama masa kehamilan dipercaya dapat menyebabkan kebutaan pada bayi. Di Sunda, seorang pria dilarang berburu selama istrinya mengandung, karena pelanggaran tabu ini diyakini bisa menyebabkan cacat fisik pada anaknya. Tabu kehamilan yang dikaitkan dengan kelahiran anak difabel menjadikan difabel kerap dianggap sebagai manifestasi dari dosa atau kesalahan orang tuanya. Stigma ini tidak hanya mengucilkan mereka, tetapi juga menempatkan difabel sebagai simbol aib keluarga. Paradigma ini memperkuat diskriminasi sosial terhadap difabel yang berlangsung hingga masa kolonial.
Namun, di balik stigma tabu, difabel juga kadang dipandang sebagai simbol kesaktian, terutama dalam konteks budaya Jawa. Dalam tradisi wayang, tokoh-tokoh seperti Destarata, seorang tunanetra dalam Mahabharata, dan para Punakawan---Gareng, Petruk, Bagong, serta Semar---diperlihatkan sebagai sosok difabel yang bijaksana dan sakti. Meskipun difabel, mereka berperan penting sebagai pendamping dan pelindung para Pandawa, menggambarkan keunggulan spiritual yang melampaui keterbatasan fisik. Kisah difabel sebagai simbol kesaktian juga ditemukan dalam kehidupan nyata di lingkungan keraton Jawa. Para palawija---difabel yang tinggal di istana---diyakini memiliki kekuatan pelindung terhadap marabahaya. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari ritual spiritual, tetapi juga menjalankan peran penting sebagai penasihat, peramu jamu, atau bahkan guru spiritual bangsawan.
Difabel sebagai tokoh-tokoh penting dalam sejarah salah satunya berhasil diulas pada sebuah pameran seni kontemporer bergengsi: Jogja Disability Arts (JDA), dengan memamerkan karya kolaborasi yang mengeksplorasi representasi para difabel melalui narasi sejarah Jawa. Diselenggarakan pada Juli 2022 dan bertajuk "Babad Wikara," pameran ini menyajikan perjalanan para difabel dari era kerajaan hingga kolonial melalui karya seni rupa dua dimensi, video (tembang), dan patung. Pameran ini menjadi kolaborasi antara seniman difabel, seperti Sukri Budhi Darma (Butong), Zaka Nurul Giffani, dan I Kadek Agus, dengan seniman nondifabel seperti Herman Priyono dan Siam Artista.