Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalanan Menuju Inklusi: Sejarah Kebijakan Negara, Pendidikan, dan Kesehatan untuk Para Difabel Indonesia

3 Januari 2025   12:31 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:57 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
screenshot dari laman Twitter pribadi 

Hak habilitasi dan rehabilitasi bagi para difabel yang dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 mencakup berbagai aspek yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup mereka. Proses rehabilitasi memerlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup pengembangan infrastruktur, pelatihan tenaga medis, komunikasi inklusif, serta dukungan sosial-politik seperti kebijakan yang ramah difabel dan akses transportasi. Faktor-faktor ini saling mendukung untuk memastikan implementasi program yang berkelanjutan dan inklusif.

Selain itu, hak kesehatan para difabel juga diatur dalam Pasal 61--74 UU yang sama. Pemenuhan hak ini meliputi akses terhadap alat bantu seperti kursi roda listrik dengan standar tertentu serta pendidikan kesehatan reproduksi, yang penting bagi remaja tunagrahita untuk mendukung kemandirian mereka. Di sisi lain, pengukuran indikator kesehatan seperti biometrik juga relevan dalam mencegah penurunan aktivitas sehari-hari di kalangan lansia difabel. Dengan pendekatan yang terpadu dan berbasis kebijakan, hak-hak ini berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan para difabel di Indonesia.

Dahulu, akses difabel terhadap pelayanan kesehatan pada masa kolonial Hindia-Belanda sangat bergantung pada status ras dan sosial mereka. Rumah sakit militer yang pertama kali didirikan hanya menerima pasien Eropa, sementara bumiputera dan etnis Cina harus menggunakan fasilitas yang jauh lebih terbatas. Rumah Sakit Cina, misalnya, awalnya hanya melayani etnis Cina dan baru menerima pasien Muslim pada tahun 1753. Namun, kualitas perawatan tetap berbeda secara signifikan dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia bagi orang Eropa. Di luar Jawa, layanan kesehatan bahkan lebih minim. Difabel yang memerlukan perawatan sering kali harus dikirim ke Batavia karena fasilitas lokal tidak memadai. 

Perawatan terhadap difabel mental menjadi salah satu fokus utama pada masa itu. Gangguan kejiwaan sering kali dikaitkan dengan ketidakseimbangan tubuh yang dipengaruhi oleh iklim tropis. Dokter Eropa menggunakan berbagai metode seperti bekam dan trepanasi untuk mengatasi masalah ini, meskipun hasilnya sering kali tidak efektif. Pasien yang dianggap "sulit diatur" kerap mengalami perlakuan tidak manusiawi, seperti cambukan atau pasungan. Praktik ini mencerminkan kurangnya pemahaman dan sumber daya untuk menangani difabel secara lebih bermartabat. Pendirian rumah sakit jiwa di Bogor pada tahun 1882 menandai upaya pertama untuk menyediakan fasilitas khusus bagi difabel mental. Namun, kebijakan segregasi tetap menjadi ciri utama. Paviliun-paviliun dibedakan berdasarkan ras, dan perawatan yang diberikan sangat bergantung pada status sosial pasien. Difabel Eropa cenderung menerima perawatan yang lebih baik, seperti terapi udara terbuka dan perawatan di tempat tidur, sementara bumiputera sering kali hanya diterima jika mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Meskipun rumah sakit jiwa memperkenalkan metode perawatan baru, seperti terapi isolasi, kebijakan ini tetap memperkuat segregasi dan medikalisasi difabel. Mereka terus diperlakukan sebagai kelompok yang perlu diawasi dan diatur, tanpa upaya nyata untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat. Kebijakan ini, meski memberikan beberapa bentuk perlindungan, justru semakin mengukuhkan difabel sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam tatanan sosial kolonial.

Sementara hari ini, meskipun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mengakomodasi para difabel dengan memberikan jaminan kesehatan melalui kebijakan yang memfasilitasi akses mereka, masih terdapat berbagai hambatan dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah proses pendataan yang tidak seragam, baik antar instansi pemerintah pusat dan daerah maupun di antara lembaga yang berbeda, yang menghambat pemetaan peserta JKN para difabel. Selain itu, kebijakan rujukan online yang diterapkan mengharuskan para difabel untuk berobat secara berjenjang, sehingga mereka tidak dapat langsung mengakses fasilitas kesehatan terdekat. Dalam hal fasilitas kesehatan, meskipun ada regulasi yang mewajibkan bangunan pelayanan kesehatan untuk ramah difabel, kenyataannya banyak fasilitas yang belum sepenuhnya memenuhi standar aksesibilitas, seperti kurangnya fasilitas pendukung seperti toilet, kursi roda, dan jalur khusus bagi para difabel.

Contoh kasus yang menggambarkan masalah ini ditemukan di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kota Surakarta yang dibangun dengan anggaran APBD, namun masih belum menyediakan aksesibilitas yang memadai bagi pengguna kursi roda, seperti kursi prioritas, tempat parkir khusus, dan tanda yang dapat membantu para difabel tuli. Selain itu, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, masyarakat difabel menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Mereka harus menempuh perjalanan hingga 13 kilometer untuk berobat di puskesmas terdekat, karena tidak ada fasilitas kesehatan khusus untuk mereka di desa. Fasilitas yang ada pun masih belum ramah difabel, dengan minimnya alat bantu seperti kursi roda dan pegangan rambat, serta tenaga kesehatan yang kurang terlatih dalam berkomunikasi dengan para difabel.

Lebih jauh, survei Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilakukan pada 2019 mengungkapkan bahwa 72,2% responden para difabel melaporkan tidak adanya toilet yang ramah difabel di fasilitas kesehatan, sementara 85% menyatakan bahwa tidak ada jalur atau loket khusus untuk para difabel. Selain itu, 74,1% responden merasa bahwa tenaga kesehatan belum cukup mampu untuk menangani kebutuhan mereka, terutama dalam berkomunikasi dengan para difabel tuna rungu dan tuna wicara. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak fasilitas kesehatan yang telah dibangun tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan dinas kesehatan mengenai standar bangunan yang ramah difabel, yang menyebabkan kesulitan dalam memenuhi peraturan yang ada. 

Sebagai rujukan, Thailand, sebagai negara yang memiliki sistem kesehatan paling menyeluruh dan lengkap di Asia, telah menunjukkan komitmen yang lebih besar dalam mengakomodasi kebutuhan para difabel melalui program Universal Health Coverage (UHC) dan sistem kesehatan yang ramah difabel. Dengan adanya sistem rujukan berjenjang yang efektif dan standar pelayanan minimum di seluruh fasilitas kesehatan, Thailand berhasil menyediakan akses kesehatan yang lebih inklusif, termasuk bagi para difabel. Pemerintah Thailand juga mengimplementasikan Undang-Undang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas yang memberikan berbagai fasilitas dan tunjangan sosial bagi para difabel, seperti pembebasan pajak, transportasi murah, dan akses kesehatan yang terjangkau. Selain itu, fasilitas kesehatan di Thailand, baik PCU maupun rumah sakit, telah dilengkapi dengan fasilitas ramah difabel seperti kursi roda, pegangan rambat, dan toilet khusus, yang memudahkan para difabel dalam mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Jadi, walau Indonesia telah membuat regulasi yang mengatur hak akses kesehatan bagi para difabel telah ada, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu masalah utama adalah ketidakseimbangan antara regulasi yang baru diterapkan dengan fasilitas kesehatan yang sudah lama berdiri, yang menyebabkan kesulitan dalam menyesuaikan aksesibilitas bangunan untuk para difabel. Selain itu, masih minimnya tenaga kesehatan yang terlatih untuk menangani kebutuhan khusus para difabel memperburuk situasi. Fasilitas kesehatan sering kali tidak memprioritaskan para difabel, mengingat jumlah mereka yang dianggap sedikit dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap penyediaan sarana yang ramah difabel, yang pada gilirannya mengindikasikan bahwa perlindungan sosial bagi para difabel belum optimal. Kasus di Surakarta dan Kabupaten Timor Tengah Selatan menunjukkan bahwa banyak fasilitas kesehatan yang belum memiliki aksesibilitas dasar seperti kursi roda, toilet difabel, atau staf terlatih untuk berkomunikasi dengan pasien difabel, yang membatasi hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

What Next?

Perjalanan kebijakan dan perlakuan terhadap para difabel di Indonesia mencerminkan perubahan signifikan dari masa pra-kolonial hingga era modern. Seiring berjalannya waktu, Indonesia mulai mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif, seperti pengesahan UU Nomor 8 Tahun 2016, untuk melindungi hak-hak para difabel. Namun, implementasi kebijakan ini masih terkendala oleh tantangan besar, terutama terkait stigma sosial, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta ketidakadilan sistemik yang masih terjadi. 

Pandangan terhadap difabel di Indonesia juga dipengaruhi oleh paradigma tradisional yang telah berkembang dalam sejarah dan budaya. Pada masa pra-kolonial, difabel seringkali dipandang sebagai pelanggar tabu atau sebagai simbol kesaktian. Di satu sisi, mereka dianggap sebagai aib keluarga, terutama dalam konteks tabu kehamilan yang berkaitan dengan kelahiran anak difabel. Di sisi lain, dalam tradisi budaya Jawa, difabel dipandang sebagai tokoh bijaksana dengan kekuatan spiritual yang melampaui keterbatasan fisik, seperti yang tercermin dalam tokoh-tokoh wayang dan sejarah keraton. Kontradiksi pandangan ini mencerminkan dinamika budaya yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap difabel, yang masih terlihat dalam berbagai praktik sosial dan kebijakan hingga hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun