Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi di Persimpangan Zaman: Refleksi Panggung Perlawanan Mahasiswa dalam Dialog Lintas Generasi

3 Januari 2025   09:25 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:30 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Pemakaman Henriawan, salah satu mahasiswa Trisakti yang menjadi korban penembakan. (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 13 Mei 998).

Pada malam 21 Mei, jumlah mahasiswa yang berada di DPR belum sebanyak setelah Soeharto resmi mengundurkan diri. Sore sebelum tanggal 21, mahasiswa sempat dievakuasi dari gedung DPR karena adanya isu pertempuran antara dua kubu TNI, yaitu Prabowo dan Wiranto. Demi keselamatan, Rama Pratama memberikan arahan agar kami mengamankan diri. Malam itu, saya berlindung di rumah seorang teman di Jombongan, yang kebetulan dekat dengan kediaman Habib Rizieq. Keesokan paginya, saya kembali ke DPR.

Gambar 5. Mahasiswa membawa 'keranda jenazah' Suharto saat menduduki Gedung MPR/DPR (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 21 Mei 1998)
Gambar 5. Mahasiswa membawa 'keranda jenazah' Suharto saat menduduki Gedung MPR/DPR (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 21 Mei 1998)

Setelah Soeharto lengser, gedung DPR penuh sesak oleh mahasiswa yang datang dari berbagai daerah. Perlu dicatat, aksi-aksi besar pada tahun 1998 banyak melibatkan angkatan mahasiswa 1993-1995. Angkatan 1996-1997 masih terlalu baru untuk terlibat secara penuh. Selama tiga hari penuh, kami mendengarkan orasi dari tokoh-tokoh besar seperti Amien Rais dan Rizal Ramli. Malam sebelum tanggal 21, ada konser Slank yang membuat suasana semakin hidup. Setelah mahasiswa membubarkan diri, saya pun ikut pulang, tetapi paginya kembali untuk bergabung dalam perayaan. Kami mendirikan panggung kecil untuk merayakan momen bersejarah tersebut.

Yang menarik, pengamanan selama pengepungan DPR itu dilakukan oleh marinir TNI Angkatan Laut. Mereka mendapat simpati besar dari kami karena tidak berperilaku konfrontatif. Mereka hanya menjaga situasi tetap aman, bukan untuk menghadapi mahasiswa. Hal ini sebenarnya menciptakan suasana yang lebih damai selama pengepungan, dibandingkan bentrokan di waktu-waktu sebelumnya.

Gambar 6. Pasukan ABRI berjaga di daerah Gambir (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 20 Mei 1998)
Gambar 6. Pasukan ABRI berjaga di daerah Gambir (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 20 Mei 1998)

Setidaknya, berdasarkan narasi tersebut, kita mendapat gambaran akan situasi aktual pada masa itu. Meskipun terdapat beberapa kemiripan dengan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini, terdapat kesenjangan signifikan dalam konteks zaman dan upaya perjuangan gerakan. Menariknya, hambatan-hambatan eksternal yang dihadapi gerakan reformasi justru berperan sebagai katalis dan bahan bakar yang memperkuat semangat perjuangan masyarakat sipil. Gerakan pada masa itu diwarnai dinamika yang lebih radikal dan intens, sebagaimana digambarkan oleh narasumber kami, Pak Farid, dalam wawancara yang dilakukan pada Kamis, 5 Desember 2024. Beliau adalah seorang mahasiswa Ilmu Sejarah yang kerap berada di barisan terdepan dalam demonstrasi mahasiswa UI, biasa menjadi Koordinator Lapangan yang melakukan orasi, dan secara langsung menyaksikan berbagai bentrokan yang terjadi. Ia pernah hadir di Gedung DPR, sebagai perwakilan dari keluarga KB UI bersama tiga orang lainnya: Rama Pratama, David Hepp, dan seorang lagi. Dari ilustrasinya, gerakan pada masa itu tidak semata-mata bersih dari dinamika-dinamika yang saling bergesekan.

Kerusuhan Mei 1998, seperti yang saya saksikan dan alami, terjadi setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti. Setelah mereka dimakamkan, situasi mulai memanas, dan kerusuhan pecah di berbagai wilayah. Awalnya, di Jalan Daan Mogot, lalu menyebar ke tempat-tempat lain. Saya melihat sendiri bahwa pembakaran dan penjarahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang spontan. Berdasarkan literasi dan investigasi jurnalistik yang saya baca, semuanya tampak seperti direncanakan. Ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja menghasut masyarakat untuk membuat kekacauan, bahkan konon membayar orang-orang untuk memicu kerusuhan. Di Jakarta Selatan, tempat saya tinggal, saya sempat menyaksikan pembakaran supermarket seperti Ramayana dan Robinson di Pasar Minggu, serta Goro Kalibata. Saat itu, saya kebetulan sedang dalam perjalanan pulang dari pertemuan mahasiswa di Salemba. Untungnya, saya naik kereta sehingga tidak terjebak dalam kemacetan atau terjebak di tengah kerusuhan.

Gambar 7. Massa perusuh membakar mobil Jalan Matraman (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)
Gambar 7. Massa perusuh membakar mobil Jalan Matraman (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)

Bagi saya, faktor utama yang memicu kerusuhan ini adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di bawah Orde Baru. Krisis ekonomi yang melanda semakin memperburuk keadaan, membuat orang-orang tertekan dan mudah tersulut oleh hasutan. Ketika peluang untuk menjarah muncul, banyak orang yang bergerak spontan karena tekanan hidup dan kemiskinan. Namun, saya menolak anggapan bahwa kerusuhan ini adalah bagian dari demonstrasi mahasiswa. Kerusuhan ini sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan mereka sendiri. Demonstrasi mahasiswa pada dasarnya mungkin berakhir dengan bentrokan, tetapi tidak sampai menciptakan chaos besar seperti ini.

Gambar 8. Penjarahan dan kerusuhan (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)
Gambar 8. Penjarahan dan kerusuhan (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)

Saya juga menyaksikan bagaimana kerusuhan ini merugikan banyak pihak, terutama etnis Tionghoa, yang menjadi sasaran amuk massa. Fenomena ini, menurut saya, bukanlah hal baru. Dalam sejarah Indonesia, bahkan sejak zaman VOC, etnis Tionghoa kerap dijadikan target dengan berbagai alasan, termasuk persaingan ekonomi. Namun, tidak semua masyarakat ikut-ikutan. Di daerah saya, ada warga yang justru melindungi toko milik etnis Tionghoa dari upaya pembakaran. Sayangnya, banyak juga yang terhasut dan ikut menjarah atau melakukan kekerasan. Saya merasa prihatin karena isu kerusuhan etnis ini akhirnya menutupi tujuan utama gerakan Reformasi, yaitu menuntut lengsernya Soeharto. Kerusuhan ini seolah-olah dirancang agar perhatian masyarakat teralihkan dari isu utama. Di tengah kekacauan, pelaku-pelaku kriminal memanfaatkan situasi ini untuk melakukan penjarahan, kekerasan, hingga pelecehan seksual. Kasus-kasus seperti ini terutama terjadi di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun