Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi di Persimpangan Zaman: Refleksi Panggung Perlawanan Mahasiswa dalam Dialog Lintas Generasi

3 Januari 2025   09:25 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:30 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya menjabat sebagai Ketua Senat, saya banyak memimpin di tingkat universitas. Namun, waktu yang terbatas memaksa saya keluar lebih cepat. Kalau saja saat itu ada kelonggaran untuk menyelesaikan pendidikan dalam waktu delapan hingga sembilan tahun, mungkin saya masih menjadi mahasiswa. Ada perbedaan besar antara posisi saya sebagai mahasiswa dan ketika saya menjadi alumni. Tapi hanya dalam dua bulan setelah lulus, kami memulai gerakan besar. Itu adalah titik perlawanan sipil yang masif di Indonesia, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Gerakan sipil itu kemudian diakomodasi oleh berbagai pihak.

Perlu diingat, kami hanya berjarak dua tahun dari peristiwa Kuda Tuli, dan sekitar lima bulan dari penculikan 14 aktivis yang hingga kini masih hilang. Pada masa itu, tidak ada yang berani bergerak. Tetapi kami berani, karena kami punya sejarah panjang sebagai bagian dari Universitas Indonesia, yang mewakili semangat rakyat. Universitas ini menggunakan nama negara tanpa embel-embel apa pun, sehingga kami merasa bertanggung jawab kepada rakyat yang mensubsidi pendidikan kami. Sebagai mahasiswa, saya hanya membayar uang kuliah sebesar 200 ribu rupiah, sebuah privilese besar yang mengingatkan saya untuk selalu memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Pada saat itu, apa yang kami lakukan berhasil menyatukan berbagai elemen masyarakat. Kami tidak terpecah di tingkat horizontal, melainkan bersatu melawan negara yang pada waktu itu identik dengan Orde Baru dan Soeharto. Seharusnya negara berbeda dari presidennya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan ketika saya terlibat dalam gerakan ILUNI, mahasiswa saat itu masih belum bergerak secara masif. Ketua BEM waktu itu, Rama Pratama, baru turun ke jalan untuk menduduki gedung DPR pada Mei 1998. Ada koneksi antara gerakan ILUNI dengan gerakan mahasiswa berikutnya, meskipun pada awalnya mahasiswa belum berani turun.

Karakter mahasiswa saat itu lebih banyak mencari aman dan fokus membangun CV. Mereka terlalu dekat dengan patron senior yang tidak independen. Akibatnya, reformasi 25 tahun kemudian tidak membawa perubahan signifikan. Kelompok-kelompok ini terus saling mempengaruhi, dari generasi ke generasi, masuk ke partai politik, dan akhirnya menjadi bagian dari sistem yang sama. Mahasiswa pada masa itu tidak sepenuhnya independen dalam berpikir. Tidak semua akademisi adalah intelektual, dan banyak dari mereka tidak memiliki keberanian untuk mengambil risiko. Saya ingat, pada masa itu, risiko bergerak sangat besar. Kalau tidak mati, kamu bisa gila karena penyiksaan yang luar biasa kejam. Kami mendengar kisah teman-teman yang diperlakukan dengan keji, sehingga tidak banyak yang berani melawan.

Saya ingat mendatangi Pusgiwa sehari sebelum 25 Februari. Mereka sibuk berdiskusi hingga malam, tetapi tidak berani memutuskan apakah akan turun bersama kami. Saya kesal dan mengatakan bahwa saya akan memotong tiang-tiang mereka jika perlu. Bahkan ILUNI pun tidak kami gunakan sepenuhnya karena ada keberatan dari berbagai pihak. Akhirnya, kami membentuk ILUNI Jakarta. Ketika mahasiswa belum berani turun, kami sudah bergerak lebih dahulu. Ada elemen-elemen tertentu yang memang hanya fokus pada popularitas dan pencitraan. Contohnya, Rama Pratama. Dia menarik massa UI yang besar untuk pulang saat mahasiswa menduduki gedung parlemen, sebuah momen bersejarah. Setelah itu, dia justru menjadi bagian dari politik praktis. Banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai bagian dari gerakan 98, tetapi kontribusi mereka tidak selalu nyata. Saya sendiri lebih banyak bergerak di bawah tanah, dengan cara-cara yang tidak diketahui publik.

Pada masa itu, kami percaya bahwa keberhasilan gerakan tidak seharusnya membuat kami populer atau mengambil keuntungan pribadi. Sebaliknya, kami memilih untuk menjadi orang biasa. Jika ingin, saya bisa saja memanfaatkan momentum 98 untuk keuntungan pribadi. Tapi itu bukan tujuan saya. Kamu tidak bisa menyamaratakan antara orang-orang yang di atas dengan orang-orang yang di bawah tanah. Saya ini lebih klandestin. Saya ini di bawah tanah. Walaupun saya ada juga di luar dengan posisi saya sebagai mantan ketua senat dan pimpinan berbagai komando di sana, tapi gerakan seperti itu seharusnya jangan dimanfaatkan. Jadi orang seperti Rama itu tidak pernah masuk hitungan. Itu orang-orang yang ada di atas panggung tapi tidak pernah membangun panggung. Anda boleh catat pernyataan saya.

Dari wawancara dengan Mas Yaswin, kami dapat meraba kemarahan dan semangatnya yang menggebu-gebu pada tahun 1998. "Dendam" yang masih mengikatnya untuk mengabdi gamblang hingga kini di tengah masyarakat. Ada motivasi besar: ekspektasi, harapan-harapan, namun juga pemahaman dan prediksi akan rapuhnya konsep reformasi saat itu. Keterangan kedua narasumber yang bertolak belakang tersebut seakan dilengkapi oleh wawancara dengan Mas Agus pada Senin, 2 Desember 2024. Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Sejarah yang juga menjalani masa-masa reformasi sebagai seorang reporter, ia berhasil memberikan sebuah gambaran objektif yang menyeluruh pada kondisi di tahun tersebut.

Pada masa-masa menjelang lulus sebagai mahasiswa Sejarah, saya sudah menyaksikan kehidupan bangsa dengan segala plus minusnya. Namun, pada tahun 1998, berbagai permasalahan tampak semakin memuncak. Salah satu pemicunya adalah krisis moneter. Krisis ini, pada dasarnya, terkait dengan macetnya kredit perusahaan-perusahaan besar. Sementara itu, UMKM tidak terlalu terpengaruh. Dampak yang lebih besar justru dirasakan pada harga barang-barang yang terkait ekspor-impor.

Sebagai mahasiswa, kami merasa terpanggil untuk bersikap. Ini tidak terlepas dari akumulasi permasalahan, termasuk soal kualitas kepemimpinan. Kala itu, Pak Harto memiliki banyak kroni dan anak-anaknya yang turut mengendalikan ekonomi secara terpusat. Saya, sebagai mahasiswa tahun terakhir, merasa perlu adanya regenerasi kepemimpinan nasional. Namun, mahasiswa sendiri memiliki berbagai pandangan dan pendekatan terhadap reformasi. Misalnya, mahasiswa dari UI, ITB, UGM, hingga daerah-daerah lainnya memiliki agenda dan caranya masing-masing.

Saya terlibat dalam demonstrasi besar di Gedung DPR-MPR, meskipun pada peristiwa 12 Mei saya masih berada di Gatot Subroto. Saat itu, suasana sangat panas. Saya melihat perlunya perubahan, terutama demi mendapatkan kembali kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Sebab, tanpa perubahan, ekonomi kita tidak akan membaik. Memang benar bahwa di masa itu ada kemajuan pembangunan, tetapi itu saja tidak cukup. Banyak orang merasa muak dengan kroniisme dan dominasi bisnis keluarga Pak Harto. Gedung DPR-MPR dipenuhi mahasiswa dari berbagai daerah. Mereka berkumpul mendengarkan orasi dari tokoh-tokoh seperti Pak Amin Rais dan Pak Buyung Nasution. Orasi-orasi itu bertujuan menekan DPR-MPR untuk memberhentikan Pak Harto. Namun, ironisnya, Harmoko sebagai Ketua MPR yang setahun sebelumnya mendukung Pak Harto, justru menyampaikan bahwa masyarakat menginginkan pergantian kepemimpinan.

Mengapa saya terlibat? Sebagai mahasiswa, saya terpengaruh oleh suasana di kampus yang sering mengadakan seminar menjelang reformasi. Seminar-seminar itu mengundang tokoh-tokoh politik dan ahli dari berbagai bidang, termasuk peneliti LIPI. Mereka memberikan pandangan akademis tentang situasi terakhir, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Pandangan-pandangan ini tidak secara langsung mengajak mahasiswa untuk turun ke jalan, tetapi cukup membangkitkan kesadaran kami tentang perlunya pergantian kepemimpinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun