Indonesia, yang 70% wilayahnya terdiri dari laut, masih terjebak dalam pola pikir "Belum makan, kalau belum makan nasi". Meski dikelilingi kekayaan laut yang belum dipersolek, nasi tetaplah menjadi primadona di meja makan.
Indonesia: Negeri Maritim yang Masih Bergantung pada Agraris
Dua sampai tiga kali masalah pangan menjadi bahan diskusi di kuliah Sejarah Ekonomi Indonesia yang kami ikuti semester ini. Dr. Bondan Kanumoyoso, dosen kami, selalu sibuk memprotes obsesi masyarakat terhadap beras dan nasi. Tidak mengherankan, mengingat konsumsi beras masih mendominasi pola makan masyarakat Indonesia, menyumbang lebih dari 50% dari total konsumsi bahan pangan utama. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 2024 ini, beras dan telur ayam menjadi jenis bahan pangan yang paling banyak dikonsumsi, yakni sekitar 1,521 kg beras per kapita per minggu, dan 2.193 kg telur per kapita per minggu.
"Padahal, laut merambahi sekitar teritori Indonesia," keluh Mas Bondan---demikian ia biasa disapa. Beliau membandingkan kondisi tersebut dengan Jepang, yang meskipun wilayah lautnya lebih kecil dibandingkan Indonesia, berhasil menjadikan pangan laut sebagai inti budaya kulinernya.
Pada tahun 2021, konsumsi hasil laut rata-rata di Jepang mencapai 140 kg per kapita per tahun. Olahan dari laut, seperti ikan tuna, salmon, dan makarel menjadi bagian tak terpisahkan dari makanan sehari-hari, didukung oleh teknologi perikanan modern, infrastruktur distribusi canggih, dan budaya yang menghargai gizi dari laut. Sebaliknya, Indonesia, dengan porsi kekayaan laut yang melimpah, justru hanya mengkonsumsi olahan laut sekitar 55,37 kg per kapita per tahun, dan terjebak dalam pola konsumsi berbasis agraris (Kristihandarai, 2024). Tak habis pikirnya lagi, Indonesia berada di peringkat ke-6 konsumsi ikan dari 8 negara ASEAN (FAO, 2020).
Kondisi ini mencerminkan paradoks maritim Indonesia: didominasi laut yang kaya, tetapi belum mampu menjadi poros utama ketahanan pangan nasional.
Di satu sisi, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia berhasil mencatat ekspor perikanan hingga USD 4,23 miliar dengan volume 1,02 juta ton pada September 2024, naik 3,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Surplus neraca perdagangan perikanan pun meningkat 7,2% menjadi USD 3,87 miliar. Namun, di sisi lain, Indonesia justru bergantung pada impor beras yang mencapai 4,351 juta ton sepanjang 2024. Kontradiksi di mata masyarakat awam ini menunjukkan bahwa potensi besar hasil laut belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ketahanan pangan.
Sejarah Ketergantungan pada Beras: Dari Kolonialisme hingga Orde Baru
Tentu ini tidak terlepas dari pola pikir "Belum makan, kalau belum makan nasi" yang dipupuk sejak masa Orde Baru, ketika swasembada beras menjadi prioritas utama pemerintah. Melalui Kebijakan Revolusi Hijau, Presiden Soeharto mendorong peningkatan produksi beras dengan varietas unggul, pupuk, dan infrastruktur pertanian. Program transmigrasi dan pembukaan lahan baru, seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah, juga dilakukan untuk mencetak sawah baru. Meski pada 1984, Indonesia sempat berhasil memenuhi kebutuhan berasnya sendiri dengan produksi mencapai 27 juta ton, namun, fokus berlebihan pada beras ini mengesampingkan pengembangan potensi sumber pangan lainnya jadi menjadi bumerang hingga hari ini (Purnamasari, 2024). Diperburuk oleh minimnya infrastruktur rantai dingin dan distribusi, alhasil, tak heran apabila potensi pangan hasil laut Indonesia belum dielaborasi secara optimal.
Namun, mengingat lagu Ibu Soed (Saridjah Niung) yang berjudul "Nenek Moyangku Seorang Pelaut", tentu kita bertanya-tanya sejak kapan budaya maritim bangsa kita perlahan-lahan terkikis.
Bukan rahasia apabila Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Gowa-Tallo, Ternate dan Tidore, serta lainnya yang menjadi landasan Nusantara, merupakan kerajaan-kerajaan berbasis maritim dan terkenal menguasai jalur perdagangan serta kekayaan laut dengan armada kapal mereka. Oleh karena itu, penting untuk mengulas kembali sejarah pergulatan Indonesia di bawah kolonialisme Belanda. Setelah pembubaran VOC pada akhir abad 18, yang merupakan kongsi dagang besar dengan kekuatan maritim, pemerintah kolonial mau tak mau harus membereskan krisis keuangan yang ditinggalkan di Hindia Belanda. Sebagai solusi, Belanda mulai mengalihkan fokus dari perdagangan maritim ke pengembangan sektor pertanian, terutama untuk meningkatkan produksi padi. Laut kemudian hanya menjadi jalur utama untuk transportasi barang, komoditas, dan mobilisasi penduduk. Pada masa penjajahan, penguasaan tanah subur oleh kolonial dan tuan tanah Belanda pun mendorong masyarakat Indonesia untuk lebih banyak menanam padi, yang akhirnya mengarah pada fenomena di mana beras menjadi makanan pokok utama (Mulya, 2014).
Pentingnya Diversifikasi Demi Mengupayakan Ketahanan Pangan
Pasalnya, Indonesia hari ini harus senantiasa siaga terhadap ancaman kerawanan pangan pasca pandemi Covid-19, perubahan iklim, konflik global, dan kenaikan harga.
Ketergantungan masyarakat pada pangan tertentu, seperti beras di NTT, telah menyebabkan cadangan pangan lokal menurun hingga 50% dalam lima tahun terakhir, sementara hasil panen yang tak menentu semakin memperburuk kualitas hidup (Listyo, 2023). Alhasil, sebagaimana laporan tahunan KEHATI selama dua tahun berturut-turut pada 2021 dan 2022, untuk mewujudkan ketahanan pangan, perlu hadir diversifikasi pangan lokal. Kemenko Bidang Perekonomian dan Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Renata Puji Sumedi Hanggarawati, sama-sama menyetujui bahwa keberagaman pangan nusantara adalah kunci menghadapi tantangan kelaparan, gizi buruk, dan dampak perubahan iklim. Dalam konteks diversifikasi pangan lokal, dari sanalah kita perlu mengelaborasi kembali potensi pangan hasil laut Indonesia.
Namun, sektor perikanan Indonesia bukan tanpa hambatan. Perubahan iklim telah menyebabkan musim melaut yang tidak pasti, kenaikan biaya operasional, dan penurunan hasil tangkapan.
Sebagaimana yang sudah pernah dibahas sebelumnya oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, di salah satu artikel opini KEHATI, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya menjadi faktor utama penurunan produksi perikanan tangkap secara global menurut FAO. Dampaknya sangat signifikan, terlihat dari penurunan stok ikan yang berada pada tingkat keberlanjutan biologis (biologically sustainable levels), yaitu dari 90 persen pada tahun 1974 menjadi hanya 66,9 persen di tahun 2015. Pak Abdul Halim juga mengungkapkan bahwa pemerintah turut andil memperparah situasi, dengan regulasi seperti Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 yang justru membuka ruang bagi investasi asing dalam usaha penangkapan ikan, alih muatan hasil tangkapan ke pelabuhan asing, serta pelemahan penegakan hukum melalui penggantian sanksi pidana dengan sanksi administratif. Langkah-langkah ini bukan hanya berpotensi menguras sumber daya ikan secara berlebihan, tetapi juga mengulang kesalahan kebijakan masa lalu, seperti pembolehan alat tangkap yang merusak dan pengabaian data lapangan dalam pengelolaan perikanan. Akibatnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan Indonesia terus menurun drastis, dengan beberapa spesies bahkan sulit ditemukan.
Kondisi ini nantinya akan bergaung seperti kasus perbudakan tenaga kerja di sektor perikanan yang mencuat pada 2015, di mana pekerja asing dieksploitasi dalam praktik penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing). Kebijakan yang abai terhadap keberlanjutan dan perlindungan pekerja tidak hanya menodai sektor perikanan Indonesia tetapi juga melemahkan posisinya sebagai produsen perikanan terbesar kedua di dunia. Jika pengelolaan sumber daya laut tidak segera diperbaiki dengan pendekatan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, potensi besar perikanan Indonesia justru akan menjadi beban, alih-alih tumpuan bagi ketahanan pangan nasional.
Mengupas Potensi Laut Indonesia Semaksimal Mungkin
Selain peninjauan ulang masalah regulasi dan peningkatan kualitas pengelolaan hasil laut, Indonesia perlu mengoptimalkan potensi kelautannya yang jauh melampaui ikan sebagai komoditas utama.
Selama ini, hasil laut seringkali dipandang sebatas hewan bersirip, padahal laut menyimpan berbagai potensi pangan lain yang dapat menjadi solusi untuk diversifikasi pangan nasional.
Mangrove dan terumbu karang, misalnya, bukan hanya penting untuk ekosistem laut tetapi juga berpotensi mendukung budidaya sumber pangan yang berkelanjutan. Di luar itu, berbagai tanaman laut seperti rumput laut menawarkan peluang besar untuk diolah menjadi alternatif pangan inovatif. Salah satu terobosan yang patut dikembangkan adalah konsep beras dari laut, yang dihasilkan melalui dua pendekatan berbeda. Pertama, penggunaan varietas padi salin, yaitu jenis padi yang dapat tumbuh di lahan dengan tingkat salinitas tinggi akibat intrusi air laut. Hal ini relevan mengingat semakin banyaknya wilayah pesisir Indonesia yang terdampak kenaikan muka air laut dan menyusutnya lahan pertanian akibat perubahan penggunaan lahan. Kedua, pemanfaatan rumput laut sebagai bahan dasar beras analog. Rumput laut, terutama jenis Gracilaria sp., kaya akan serat, karbohidrat, mineral, dan yodium, sehingga dapat diolah menjadi alternatif pangan yang bergizi tinggi. Produksi beras dari rumput laut juga memberikan nilai tambah, seperti potensi pengurangan stunting dan penyediaan alternatif makanan bagi penderita diabetes.
Pengembangan beras dari laut tidak hanya memanfaatkan sumber daya yang melimpah tetapi juga menghadirkan peluang besar untuk diversifikasi pangan secara berkelanjutan. Indonesia, sebagai produsen rumput laut Gracilaria terbesar kedua di dunia, memiliki kapasitas untuk mengembangkan industri ini secara lebih luas. Rumput laut Gracilaria, yang biasanya digunakan untuk memproduksi agar-agar, dapat dibudidayakan secara monokultur maupun polikultur bersama udang dan bandeng, menjadikannya solusi inovatif bagi ketahanan pangan sekaligus keberlanjutan ekonomi pesisir. Dengan mendorong inovasi ini, Indonesia dapat mengubah tantangan kelautannya menjadi peluang, memperkuat diversifikasi pangan, dan mengurangi ketergantungan pada beras konvensional yang rentan terhadap perubahan iklim dan ketersediaan lahan.
Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan laut yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan ketahanan pangan yang lebih beragam dan berkelanjutan.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan perubahan paradigma dalam melihat dan memanfaatkan sumber daya laut.
Dengan mengoptimalkan sektor perikanan secara bertanggung jawab, serta mengeksplorasi potensi pangan laut lainnya seperti rumput laut dan padi salin, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada beras dan menghadapi tantangan ketahanan pangan yang semakin kompleks. Diversifikasi pangan berbasis laut bukan hanya solusi untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga membuka peluang bagi ekonomi pesisir yang berkelanjutan, sekaligus menjaga keberagaman ekosistem laut yang sangat vital bagi masa depan bangsa. Melalui kebijakan yang lebih cerdas dan inovatif, Indonesia bisa meraih potensi maritimnya secara maksimal, mewujudkan kemandirian pangan, dan menghadapi tantangan global dengan lebih tangguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H