Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengatasi Ancaman Sengketa di Laut Natuna Utara: Tinjauan Historis dan Strategi Konkret Indonesia

31 Mei 2024   14:56 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:35 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengulik polemik perairan Natuna. CNN Indonesia.

Pesisir barat Indonesia kembali memanas. Klaim pemerintah seberang mengenai nine-dash line di wilayah Laut China Selatan yang telah menjadi sengketa sejak tahun 1947 bukannya semakin mereda, melainkan meluas.

Pertengahan 2023 lalu, tepatnya pada 28 Agustus, Kementerian Sumber Daya Alam China resmi merilis peta standar China edisi 2023. Sembilan garis putus-putus kini bertambah menjadi sepuluh garis (ten-dash line) dengan masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan dan perluasan klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina. Dengan kata lain, China telah mengklaim 90 persen dari Laut China Selatan sebagai hak maritim historisnya.[1]

Peta Standar China 2023 (Kementerian Sumber Daya Alam China, 2023)
Peta Standar China 2023 (Kementerian Sumber Daya Alam China, 2023)

Indonesia memang tidak memiliki klaim wilayah di Laut Cina Selatan dan bisa saja terhindar dari konflik antara China dengan negara ASEAN lainnya (Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam) yang klaim wilayah teritorial lautnya saling tumpang tindih. Namun, konflik laut mulai "menyeret" Indonesia sejak tahun 2010, karena pada setiap versi peta yang dibuat China, salah satu dari garis putus-putus tersebut selalu saling beririsan dengan wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.

Klaim sepihak China atas perairan Natuna mengantarkan Indonesia pada situasi waspada. Sepanjang 14 tahun belakangan, tercatat sejumlah kapal-kapal nelayan China berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dengan berani dan melakukan sejumlah kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). Akibat kapal-kapal nelayan yang terlibat senantiasa didampingi oleh coast guard China, maka bukan hanya sekali dua kali terjadi bentrok antara kapal patroli Indonesia dengan pihak seberang. Misalnya, pada Juni 2010, ketika kapal nelayan China yang diduga telah mencuri ikan di dekat pulau Natuna ditangkap, kapal coast guard China bernama Yuzheng 311 turun tangan memaksa kapal patroli Indonesia untuk melepaskan kapal nelayan yang ditahan tersebut dengan mengarahkan senapan mesin kaliber besar. Kejadian serupa terjadi pada Maret 2013, 105 kilometer dari timur laut Pulau Natuna. Saat itu, kapal Hiu Macan 001 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia dipaksa oleh Yuzheng 310 yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap untuk membebaskan kapal-kapal nelayan China yang ditahan akibat illegal fishing. Hal serupa lagi-lagi terjadi pada bulan yang sama di tahun 2016, ketika kapal coast guard China menabrak kapal Indonesia yang sedang menarik kapal nelayan China.[2]

Teritorial Natuna yang menjadi titik tegang antar dua negara (BBC News Indonesia, 2023)
Teritorial Natuna yang menjadi titik tegang antar dua negara (BBC News Indonesia, 2023)

Mengapa Natuna?

Sudah bukan rahasia negara bahwa Kepulauan Natuna dan lautnya menyimpan kekayaan melimpah.

Menyandang gelar sebagai wilayah dengan cadangan gas alam terbesar di Asia Pasifik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Blok East Natuna memiliki kandungan potensi minyak mencapai 36 juta barel minyak dan volume gas alam di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan gas alam sebesar 46 tcf. Namun, yang menjadi dalih China untuk menggapai Laut Natuna Utara dan wilayah Laut China Selatan lain ke dalam ten-dash line adalah potensi perikanannya.

Shutterstock
Shutterstock

Meskipun berjarak 2.000 kilometer jauhnya dari teritorial daratan, pemerintah China menggunakan landasan historis bahwa cakupan wilayah Laut China Selatan yang diklaim termasuk ke dalam traditional fishing ground negaranya sejak zaman Dinasti Zhou Timur dan Han Timur pada abad ke-2 SM. Kedaulatan China berdasar pada okupasi nelayan-nelayan tradisional mereka yang telah berlayar, mengarungi, dan menangkap ikan di wilayah Laut China Selatan sejak berabad-abad lamanya.[3] Sementara Indonesia dan negara ASEAN lainnya, cenderung melawan klaim tersebut dengan landasan yang berpatok pada pasal-pasal UNCLOS 1982.

Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi Indonesia bila ingin mendongkrak hukum laut internasional atas Laut Natuna Utara dengan landasan historis yang sama kuatnya dengan China.

Natuna dapat diidentifikasi sebagai bagian dari wilayah Indonesia bahkan sejak zaman Sriwijaya pada tahun 671 M, ketika pendeta terkenal China I Tsing singgah di salah satu gugusan pulau yang disebutnya sebagai "Nan Toa" (Pulau Besar). Dalam perkembangannya, Nan Toa ini pun berubah sebutan menjadi "Natuna" hingga sekarang.[4] Meski tidak benar-benar dapat dinyatakan sebagai bagian dari kekuasaan Sriwijaya, situs Batu Sindu di semenanjung pantai timur Bunguran pun turut menyiratkan bahwa sejak 5.000 tahun yang lalu, penduduk wilayah tersebut bercorak Melayu dan menuturkan bahasa Austronesia.[5] 

Setelah Sriwijaya, Majapahit menggenggam seluruh nusantara (termasuk Pulau Besar yang kemudian berganti nama menjadi Pulau Serindit) di dalam wilayah taklukannya. Barulah setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Pulau Serindit berganti nama menjadi Pulau Bunguran pada masa Kesultanan Johor (1528-1824 M). Bunguran diyakini berasal dari nama kayu bungur, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sejenis kayu yang bunganya berwarna ungu. Pulau Bunguran menjadi nama yang permanen hingga kini dan merupakan pulau terbesar di antara gugusan pulau lainnya yang kemudian disebut Pulau Tujuh. Mengapa disebut Pulau Tujuh? Berdasarkan sumber yang ditulis A.J. Vleer, pada tahun 1920, pada awalnya hanya ada tujuh pulau berpenghuni di kepulauan Natuna, yaitu Jemaja, Siantan, Bunguran, Pulau Laut, Subi, Serasan, dan Tambelan. Hal itu diperkuat oleh catatan tahun 1933 yang menyebutkan bahwa tujuh pulau tersebut memiliki ciri khas yang sama.

Peta Pulau Bunguran (Direktorat Sejarah, 2019)
Peta Pulau Bunguran (Direktorat Sejarah, 2019)

Beranjak pada tahun-tahun awal kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, Natuna termasuk ke dalam wilayah yang menjadi perebutan sengit antara dua kekuatan besar saat itu: Belanda dan Inggris. Belanda menguasai pusat pertahanan dan pelabuhan di Malaka setelah sebelumnya berhasil menyingkirkan Portugis dari wilayah tersebut. Sementara Inggris, lebih memilih Bengkulu di pantai timur Sumatera sebagai basisnya. Namun, Inggris juga membangun kantor dagang di Tanjungpinang untuk mengontrol perdagangan di kawasan Selat Malaka yang berujung pada bentrok dengan Belanda. Konflik yang terus terjadi antara Inggris dan Belanda akhirnya mendorong kedua negara membentangkan perjanjian Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824 untuk membagi batas wilayah kekuasaan kolonial masing-masing di Asia Tenggara. Inggris mendapat wilayah di utara dan timur Selat Malaka yang meliputi Semenanjung Malaya dan Singapura. Sementara bagian selatan dan barat selat jatuh ke tangan Belanda, mencakup seluruh pulau Sumatera, kepulauan Lingga, dan Riau, termasuk Natuna di dalamnya.[6] Lebih jelasnya lagi dituangkan dalam Traktat Sumatra yang ditandatangai pada 1871, berupa penyerahan hampir sebanyak 300 pulau dari Raja Johor kepada Raja Riau Lingga sebagai taktik diplomasi Belanda dalam melakukan negosiasi dengan Inggris.

Peta Riau, Singapura, dan Lingga (Direktorat Sejarah, 2019)
Peta Riau, Singapura, dan Lingga (Direktorat Sejarah, 2019)

Meski selama Perang Dunia II semua wilayah di Malaya dan Laut China Selatan dikuasai oleh militer Jepang, hal ini tidak mengubah nasionalisme Indonesia, termasuk kepulauan Natuna, yang terbentuk berdasarkan konsekuensi warisan wilayah Hindia Belanda. Pada 18 Mei 1956, Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya yang sebelumnya berada di bawah Kesultanan Riau akhirnya secara resmi didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai milik Indonesia.

Natuna Seharusnya Bukan Pulau "Terluar"

China melihat Natuna dari sudut pandang Laut China Selatan sehingga mereka bahkan memaksakan diri menarik ring pangkalannya untuk mencakup Natuna dari jarak ribuan kilometer. Sementara pemerintah pusat senantiasa melihat Natuna dari sudut pandang Jakarta, sehingga pulau ini selalu dianggap sebagai pulau terluar selama 70 tahun lebih, bukan pulau terdepan.

Di tengah polemik klaim wilayah Laut China Selatan dan sekitarnya, China sendiri secara cerdas menerapkan strategi wilayah abu-abu; sebuah taktik yang dijalankan oleh suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer (military forces), akan tetapi dalam batas tertentu tidak mengakibatkan perang secara terbuka. Tahap awal penjamahan Laut China Selatan dimulai dengan membangun pulau-pulau artifisial di wilayah Kepulauan Spratly guna mendukung aktivitas-aktivitas militer China. Center for Strategic and International Studies (CSIS) basis Amerika Serikat pernah merilis foto-foto dari citra satelit yang memperlihatkan pembangunan pangkalan militer dan pos penampungan rudal di Laut China Selatan. Kapal-kapal induk China pun acapkali berlayar dan menggelar latihan militer angkatan laut di perairan Laut China Selatan. Bukan hanya pendekatan militer, US Naval War College juga menerangkan bahwa China telah membangun kota dengan luas 800 ribu mil persegi yang diberi nama Shansa di Pulau Woody. Kota tersebut dinyatakan setara prefektur dan termasuk dalam provinsi Hainan pada bulan Juli 2012.[7] Daftar tindakan yang selama ini telah dilakukan oleh China tersebut adalah bagian dari langkah kebijakan politik ekspansionis yang pada akhirnya tentu mengancam kedaulatan Indonesia.

Foto Citra Satelit Pangkalan Militer China di Kawasan LCS (Muhamad, 2012)
Foto Citra Satelit Pangkalan Militer China di Kawasan LCS (Muhamad, 2012)

Sayangnya, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengelola Kepulauan Natuna dan lautnya selama ini dapat dikatakan masih kurang optimal. Pengerahan TNI sebagai respons terhadap pelanggaran kedaulatan yang dilakukan China lebih terlihat sebagai langkah reaktif-reaksioner yang sebenarnya tidak didasarkan pada perencanaan yang sistematis dan berjangka panjang. Mudahnya nelayan-nelayan tradisional China memasuki Laut Natuna Utara secara ilegal menunjukkan bahwa ada celah besar dalam pengelolaan wilayah ini, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun institusi terkait dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Tidak bisa dipungkiri, pemerintah tidak mempertimbangkan penting dan strategisnya letak Laut Natuna Utara sebelum berbagai tindakan koersif China.

Dilansir dari Natuna Today, Rabu (20/3/2024), wakil bupati Natuna, Rodhial Huda, menyatakan bahwa ada perbedaan cara melihat Natuna antara pemerintah Indonesia dengan China. China melihat Natuna dari sudut pandang Laut China Selatan sehingga mereka bahkan memaksakan diri menarik ring pangkalannya untuk mencakup Natuna dari jarak ribuan kilometer. Sementara pemerintah pusat senantiasa melihat Natuna dari sudut pandang Jakarta, sehingga pulau ini selalu dianggap sebagai pulau terluar selama 70 tahun lebih, bukan pulau terdepan. Tentunya, negara tidak ingin wilayah ini luput seperti halnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002. Ketika kedua pulau tersebut tidak diasuh Indonesia secara optimal, Malaysia justru dianggap mampu mengembangkan keduanya dengan baik.

Memajukan Kepulauan Natuna dan Laut Natuna Utara

Walaupun Natuna selalu dinyatakan sebagai kawasan strategis, tetapi hal tersebut rupanya belum selaras dengan pembangunan dan kesejahteraan wilayah setempat. Sampai saat ini, kabupaten beribukota Ranai ini masih terbatas baik secara pembangunan infrastruktur, khususnya konektivitas jalan, hingga jaringan telekomunikasinya. Padahal, membangun Natuna, baik dalam aspek ideologi, politik, sosial, budaya, ketahanan, dan ekonomi, merupakan salah satu upaya pertahanan dan kedaulatan di Laut China Selatan. Indonesia sepatutnya membangun Natuna seperti Amerika dalam membangun Hawai.

Selain pemerataan pembangunan bagi masyarakat di Natuna, upaya yang dapat dilakukan pemerintah dari sudut pertahanan adalah mempercepat pembangunan pangkalan militer di wilayah tersebut untuk mempertegas kedudukan dan kedaulatan Indonesia. Selanjutnya, perlu adanya peningkatan status pemerintah dan pemekaran Natuna menjadi provinsi agar koordinasi dan distribusi pembangunan juga lebih cepat, di tengah terbatasnya kewenangan kabupaten dalam pengelolaan sumber daya alam di bidang kelautan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Langkah berikutnya yang perlu diselesaikan secara konkret adalah pengakuan internasional terhadap nama "Laut Natuna Utara". Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan pada bulan Juli 2017 dan tindakan Badan Informasi Geospasial (BIG), pemerintah Indonesia memang telah mengganti nama bagian dari Laut Cina Selatan menjadi "Laut Natuna Utara" dalam lingkup nasional. Namun, Indonesia perlu secara resmi mempercepat pengajuan perubahan nama tersebut kepada International Hydrographic Organization (IHO), yang bertanggung jawab atas standar penamaan laut dan fitur geografi maritim, dan bekerja sama dengan badan-badan seperti Divisi Hukum Laut (DOALOS) dari Departemen Urusan Kelautan dan Hukum Laut PBB, agar nama "Laut Natuna Utara" bukan hanya sekedar tercantum dalam peta-peta Indonesia. Tidak lupa, pemerintah harus terus berupaya melakukan diplomasi intensif bersama negara-negara Asia Tenggara dengan perangkat ASEAN, yang hampir seluruhnya memiliki kepentingan di wilayah Laut Cina Selatan. Pada akhirnya, dukungan mitra internasional tetap dibutuhkan untuk memperkuat legitimasi dan posisi Indonesia di tengah ancaman sengketa Laut Natuna Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun