Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengatasi Ancaman Sengketa di Laut Natuna Utara: Tinjauan Historis dan Strategi Konkret Indonesia

31 Mei 2024   14:56 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:35 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengulik polemik perairan Natuna. CNN Indonesia.

Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi Indonesia bila ingin mendongkrak hukum laut internasional atas Laut Natuna Utara dengan landasan historis yang sama kuatnya dengan China.

Natuna dapat diidentifikasi sebagai bagian dari wilayah Indonesia bahkan sejak zaman Sriwijaya pada tahun 671 M, ketika pendeta terkenal China I Tsing singgah di salah satu gugusan pulau yang disebutnya sebagai "Nan Toa" (Pulau Besar). Dalam perkembangannya, Nan Toa ini pun berubah sebutan menjadi "Natuna" hingga sekarang.[4] Meski tidak benar-benar dapat dinyatakan sebagai bagian dari kekuasaan Sriwijaya, situs Batu Sindu di semenanjung pantai timur Bunguran pun turut menyiratkan bahwa sejak 5.000 tahun yang lalu, penduduk wilayah tersebut bercorak Melayu dan menuturkan bahasa Austronesia.[5] 

Setelah Sriwijaya, Majapahit menggenggam seluruh nusantara (termasuk Pulau Besar yang kemudian berganti nama menjadi Pulau Serindit) di dalam wilayah taklukannya. Barulah setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Pulau Serindit berganti nama menjadi Pulau Bunguran pada masa Kesultanan Johor (1528-1824 M). Bunguran diyakini berasal dari nama kayu bungur, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sejenis kayu yang bunganya berwarna ungu. Pulau Bunguran menjadi nama yang permanen hingga kini dan merupakan pulau terbesar di antara gugusan pulau lainnya yang kemudian disebut Pulau Tujuh. Mengapa disebut Pulau Tujuh? Berdasarkan sumber yang ditulis A.J. Vleer, pada tahun 1920, pada awalnya hanya ada tujuh pulau berpenghuni di kepulauan Natuna, yaitu Jemaja, Siantan, Bunguran, Pulau Laut, Subi, Serasan, dan Tambelan. Hal itu diperkuat oleh catatan tahun 1933 yang menyebutkan bahwa tujuh pulau tersebut memiliki ciri khas yang sama.

Peta Pulau Bunguran (Direktorat Sejarah, 2019)
Peta Pulau Bunguran (Direktorat Sejarah, 2019)

Beranjak pada tahun-tahun awal kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, Natuna termasuk ke dalam wilayah yang menjadi perebutan sengit antara dua kekuatan besar saat itu: Belanda dan Inggris. Belanda menguasai pusat pertahanan dan pelabuhan di Malaka setelah sebelumnya berhasil menyingkirkan Portugis dari wilayah tersebut. Sementara Inggris, lebih memilih Bengkulu di pantai timur Sumatera sebagai basisnya. Namun, Inggris juga membangun kantor dagang di Tanjungpinang untuk mengontrol perdagangan di kawasan Selat Malaka yang berujung pada bentrok dengan Belanda. Konflik yang terus terjadi antara Inggris dan Belanda akhirnya mendorong kedua negara membentangkan perjanjian Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824 untuk membagi batas wilayah kekuasaan kolonial masing-masing di Asia Tenggara. Inggris mendapat wilayah di utara dan timur Selat Malaka yang meliputi Semenanjung Malaya dan Singapura. Sementara bagian selatan dan barat selat jatuh ke tangan Belanda, mencakup seluruh pulau Sumatera, kepulauan Lingga, dan Riau, termasuk Natuna di dalamnya.[6] Lebih jelasnya lagi dituangkan dalam Traktat Sumatra yang ditandatangai pada 1871, berupa penyerahan hampir sebanyak 300 pulau dari Raja Johor kepada Raja Riau Lingga sebagai taktik diplomasi Belanda dalam melakukan negosiasi dengan Inggris.

Peta Riau, Singapura, dan Lingga (Direktorat Sejarah, 2019)
Peta Riau, Singapura, dan Lingga (Direktorat Sejarah, 2019)

Meski selama Perang Dunia II semua wilayah di Malaya dan Laut China Selatan dikuasai oleh militer Jepang, hal ini tidak mengubah nasionalisme Indonesia, termasuk kepulauan Natuna, yang terbentuk berdasarkan konsekuensi warisan wilayah Hindia Belanda. Pada 18 Mei 1956, Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya yang sebelumnya berada di bawah Kesultanan Riau akhirnya secara resmi didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai milik Indonesia.

Natuna Seharusnya Bukan Pulau "Terluar"

China melihat Natuna dari sudut pandang Laut China Selatan sehingga mereka bahkan memaksakan diri menarik ring pangkalannya untuk mencakup Natuna dari jarak ribuan kilometer. Sementara pemerintah pusat senantiasa melihat Natuna dari sudut pandang Jakarta, sehingga pulau ini selalu dianggap sebagai pulau terluar selama 70 tahun lebih, bukan pulau terdepan.

Di tengah polemik klaim wilayah Laut China Selatan dan sekitarnya, China sendiri secara cerdas menerapkan strategi wilayah abu-abu; sebuah taktik yang dijalankan oleh suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer (military forces), akan tetapi dalam batas tertentu tidak mengakibatkan perang secara terbuka. Tahap awal penjamahan Laut China Selatan dimulai dengan membangun pulau-pulau artifisial di wilayah Kepulauan Spratly guna mendukung aktivitas-aktivitas militer China. Center for Strategic and International Studies (CSIS) basis Amerika Serikat pernah merilis foto-foto dari citra satelit yang memperlihatkan pembangunan pangkalan militer dan pos penampungan rudal di Laut China Selatan. Kapal-kapal induk China pun acapkali berlayar dan menggelar latihan militer angkatan laut di perairan Laut China Selatan. Bukan hanya pendekatan militer, US Naval War College juga menerangkan bahwa China telah membangun kota dengan luas 800 ribu mil persegi yang diberi nama Shansa di Pulau Woody. Kota tersebut dinyatakan setara prefektur dan termasuk dalam provinsi Hainan pada bulan Juli 2012.[7] Daftar tindakan yang selama ini telah dilakukan oleh China tersebut adalah bagian dari langkah kebijakan politik ekspansionis yang pada akhirnya tentu mengancam kedaulatan Indonesia.

Foto Citra Satelit Pangkalan Militer China di Kawasan LCS (Muhamad, 2012)
Foto Citra Satelit Pangkalan Militer China di Kawasan LCS (Muhamad, 2012)

Sayangnya, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengelola Kepulauan Natuna dan lautnya selama ini dapat dikatakan masih kurang optimal. Pengerahan TNI sebagai respons terhadap pelanggaran kedaulatan yang dilakukan China lebih terlihat sebagai langkah reaktif-reaksioner yang sebenarnya tidak didasarkan pada perencanaan yang sistematis dan berjangka panjang. Mudahnya nelayan-nelayan tradisional China memasuki Laut Natuna Utara secara ilegal menunjukkan bahwa ada celah besar dalam pengelolaan wilayah ini, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun institusi terkait dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Tidak bisa dipungkiri, pemerintah tidak mempertimbangkan penting dan strategisnya letak Laut Natuna Utara sebelum berbagai tindakan koersif China.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun