Untuk Kali ini saya berkesempatan untuk membahas kabel listrik dan tiang kota yang sudah terlalu banyak yang semrawut dan membahayakan pengguna jalan dan masyarakat sekitar.
Pertumbuhan penduduk dan berkembangnya perekonomian berkelindan dengan kebutuhan konsumsi listrik dan telekomunikasi di suatu wilayah. Bertambahnya jumlah pelanggan listrik, telekomunikasi, dan internet kabel, membuat perusahaan penyedia jaringan (provider) terus memperluas pergelaran jaringan, melalui penambahan infrastruktur berupa tiang dan kabel transmisi maupun kabel fiber optik.
Namun, pemasangan kabel-kabel dan tiang-tiang provider internet/listrik tersebut sering dikeluhkan masyarakat karena semrawut dan belum tertata dengan baik. Merujuk penjelasan Fabby, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) bahwa tiang listrik di Indonesia memang sangat semrawut. Tetapi perlu disadari, yang membuat terlihat berantakan lebih banyak kabel fiber optik dari provider internet yang memasang asal-asalan. Belum lagi kabel dari provider yang mungkin sudah tidak digunakan lagi, jadi kabel itu tetap menempel ke tiang listrik tetapi sudah tidak ada fungsinya.
Kondisi kabel semrawut selain merusak keindahan kota juga membahayakan pengguna jalan atau masyarakat yang melintas di bawah jaringan kabel tersebut. Acapkali ditemukan kabel-kabel yang kendur dan menjuntai ke bawah ataupun pekerjaan galian buka tutup lubang untuk pemasangan kabel fiber optik, yang mengganggu akses lalu lintas bagi kendaraan dan pejalan kaki. Di Kota Tangerang Selatan misalnya, sepanjang 2021, Dinas Perhubungan Tangerang Selatan telah berulang kali merapikan kabel-kabel di Tangerang Selatan tapi masih tetap aja ada oknum-oknum yang masih memasang kabel sembarangan.
Ditambah lagi keberadaan tiang-tiang provider internet/ listrik di depan rumah warga. Sering kali pemasangan tiang-tiang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik lahan. Sebagian pemilik lahan kebingungan tiba-tiba sudah terpasang tiang di depan rumahnya. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, semestinya pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman berhak mendapatkan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi disebabkan pemasangan tiang tersebut.
Begitu juga halnya dengan pemasangan kabel/tiang yang memanfaatkan Ruang Milik Jalan. Dapat dibayangkan bila satu provider memasang satu tiang, maka bila lebih dari satu provider yang memasang, ruang milik jalan dipenuhi dengan tumpukan tiang.
Sudah saatnya pemerintah daerah berbenah dengan menata tiang dan kabel ini agar lebih tertata guna mewujudkan perkotaan yang nyaman bagi semua. Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat berperan sebagai fasilitator dan regulator. Di satu sisi harus memenuhi kebutuhan kelistrikan, informasi dan komunikasi bagi seluruh warga, di sisi lain harus mengendalikan pertumbuhan pemasangan tiang dan kabel agar tidak mengurangi ruang terbuka, keselamatan, perlindungan hukum serta estetika.
Dan menurut saya pemerintah juga harus mengawasi dalam pemasangan kabel fiber optic dari provider internet karena pihak yang memasang hanya memikirkan yang kabel punya pihaknya terpasang tidak melihat kalau kabel yang mereka sudah pasang itu membahayakan pengguna jalan atau masyarakat yang melintas di bawah jaringan kabel tersebut. Jadi untuk pihak pemerintah harus lebih tegas dan mengawasi dalam pemasangan kabel fiber optic dari provider internet yang asal-asalan.
Pengaturan Di Daerah
Kegamangan pemerintah daerah dalam mengurai benang kusut permasalahan kabel dan tiang provider internet yang semrawut saat ini, karena belum adanya instrumen hukum terkait tata kelola jaringan utilitas, khususnya di Bangka Belitung.
Kebutuhan akan pengaturan tata kelola jaringan utilitas dapat diatur dalam regulasi di daerah. Pengaturan ini paling sedikit ditinjau melalui lima aspek, yakni kaidah tata ruang, kemanfaatan keberlanjutan, keselamatan, keselarasan dan keserasian, dan estetik.
Dari sudut tata ruang, penataan jaringan transmisi dan telekomunikasi dapat dilakukan dengan pemindahan jaringan utilitas ke bawah tanah. Namun, pemerintah daerah terlebih dahulu menyiapkan masterplan agar penataan kabel dan tiang dapat dilakukan secara terpadu melalui Saluran Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT). Dengan harapan, ke depan tidak lagi ada kabel-kabel yang semrawut dan tiang-tiang yang menumpuk di satu titik.
Dalam penyusunan konsep perencanaan SJUT sektor telekomunikasi oleh pemerintah daerah dan penyelenggara telekomunikasi wajib memenuhi syarat ketentuan yang berlaku dalam Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kominfo Nomor 555/11560/SJ dan Nomor 03 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Infrastruktur Pasif Telekomunikasi, salah satunya dengan menetapkan konsep perencanaan awal penyediaan rumah kabel di bawah tanah (ducting bersama).
Penerapan penggunaan ducting bersama perlu pendekatan yang bijaksana, karena melibatkan badan usaha. Pemerintah daerah memberikan para provider waktu dan persiapan untuk segera memindahkan jaringan utilitasnya ke bawah tanah, mengingat biaya investasi untuk pemindahan tersebut tidak murah.
Penyediaan ducting bersama oleh pemerintah daerah dapat memberikan beberapa keuntungan bagi provider maupun pemerintah daerah. Bagi provider, penyediaan saluran untuk kabel bawah tanah atau ducting bisa menghemat investasi pembangunan infrastruktur telekomunikasi hingga 70 persen. Bagi pemerintah daerah merupakan potensi pendapatan asli daerah melalui pendapatan sewa kabel dari para provider, serta estetika kota yang lebih apik dan nyaman. Bagi masyarakat, keselamatan saat beraktivitas di jalan dan potensi konflik penggunaan lahan tanpa izin untuk pemasangan tiang oleh provider internet dapat dihindari.
Mengingat penataan tiang dan kabel ini melibatkan kepentingan banyak pihak, baik pemerintah daerah, masyarakat dan provider, maka harus dilandasi konsensus bersama yang pengaturannya melalui peraturan daerah. Peraturan perundang-undangan mengatur kriteria skala prioritas pembentukan peraturan daerah, antara lain, menjalankan otonomi daerah, menunjang rencana pembangunan daerah dan mengakomodasi aspirasi masyarakat. Kriteria tersebut merupakan kerangka dasar menuangkan kebijakan daerah dalam format peraturan daerah.
Peraturan daerah yang dibentuk guna menjalankan otonomi daerah (otda) mengandung arti bahwa raperda itu mengatur bagaimana menjalankan kewenangan konkuren daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urgensitas raperda ini bersifat alternatif dalam artian bahwa peraturan daerah tersebut hanya dibentuk apabila kewenangan tersebut memerlukan payung hukum lebih lanjut dan sulit dijalankan apabila tidak diatur lebih lanjut.( Abil H.M. Ali, 2022)
Urgensitas peraturan daerah tentang tata kelola jaringan utilitas membutuhkan dukungan publik agar kehadirannya dapat menjembatani dan mengurai permasalahan kesemrawutan kabel dan tiang kota. Dengan harapan bersama, agar kebutuhan peraturan daerah tidak hanya sekadar landasan hukum semata. Meminjam pemikiran Gustav Radbruch, pengaturan harus pula berorientasi pada tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Pertumbuhan penduduk dan berkembangnya perekonomian berkelindan dengan kebutuhan konsumsi listrik dan telekomunikasi di suatu wilayah. Bertambahnya jumlah pelanggan listrik, telekomunikasi, dan internet kabel, membuat perusahaan penyedia jaringan (provider) terus memperluas pergelaran jaringan, melalui penambahan infrastruktur berupa tiang dan kabel transmisi maupun kabel fiber optik.
Namun, pemasangan kabel-kabel dan tiang-tiang provider internet/listrik tersebut sering dikeluhkan masyarakat karena semrawut dan belum tertata dengan baik. Merujuk penjelasan Fabby, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) bahwa tiang listrik di Indonesia memang sangat semrawut. Tetapi perlu disadari, yang membuat terlihat berantakan lebih banyak kabel fiber optik dari provider internet yang memasang asal-asalan. Belum lagi kabel dari provider yang mungkin sudah tidak digunakan lagi, jadi kabel itu tetap menempel ke tiang listrik tetapi sudah tidak ada fungsinya.
Kondisi kabel semrawut selain merusak keindahan kota juga membahayakan pengguna jalan atau masyarakat yang melintas di bawah jaringan kabel tersebut. Acapkali ditemukan kabel-kabel yang kendur dan menjuntai ke bawah ataupun pekerjaan galian buka tutup lubang untuk pemasangan kabel fiber optik, yang mengganggu akses lalu lintas bagi kendaraan dan pejalan kaki. Di Kota Pangkalpinang misalnya, sepanjang 2021, Dinas Perhubungan Pangkalpinang telah berulang kali merapikan kabel-kabel di Pangkalpinang.
Ditambah lagi keberadaan tiang-tiang provider internet/ listrik di depan rumah warga. Sering kali pemasangan tiang-tiang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik lahan. Sebagian pemilik lahan kebingungan tiba-tiba sudah terpasang tiang di depan rumahnya. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, semestinya pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman berhak mendapatkan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi disebabkan pemasangan tiang tersebut.
Begitu juga halnya dengan pemasangan kabel/tiang yang memanfaatkan Ruang Milik Jalan. Dapat dibayangkan bila satu provider memasang satu tiang, maka bila lebih dari satu provider yang memasang, ruang milik jalan dipenuhi dengan tumpukan tiang.
Sudah saatnya pemerintah daerah berbenah dengan menata tiang dan kabel ini agar lebih tertata guna mewujudkan perkotaan yang nyaman bagi semua. Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat berperan sebagai fasilitator dan regulator. Di satu sisi harus memenuhi kebutuhan kelistrikan, informasi dan komunikasi bagi seluruh warga, di sisi lain harus mengendalikan pertumbuhan pemasangan tiang dan kabel agar tidak mengurangi ruang terbuka, keselamatan, perlindungan hukum serta estetika.
Dan menurut saya pemerintah juga harus mengawasi dalam pemasangan kabel fiber optic dari provider internet karena pihak yang memasang hanya memikirkan yang kabel punya pihaknya terpasang tidak melihat kalau kabel yang mereka sudah pasang itu membahayakan pengguna jalan atau masyarakat yang melintas di bawah jaringan kabel tersebut. Jadi untuk pihak pemerintah harus lebih tegas dan mengawasi dalam pemasangan kabel fiber optic dari provider internet yang asal-asalan.
Pengaturan Di Daerah
Kegamangan pemerintah daerah dalam mengurai benang kusut permasalahan kabel dan tiang provider internet yang semrawut saat ini, karena belum adanya instrumen hukum terkait tata kelola jaringan utilitas, khususnya di Bangka Belitung.
Kebutuhan akan pengaturan tata kelola jaringan utilitas dapat diatur dalam regulasi di daerah. Pengaturan ini paling sedikit ditinjau melalui lima aspek, yakni kaidah tata ruang, kemanfaatan keberlanjutan, keselamatan, keselarasan dan keserasian, dan estetik.
Dari sudut tata ruang, penataan jaringan transmisi dan telekomunikasi dapat dilakukan dengan pemindahan jaringan utilitas ke bawah tanah. Namun, pemerintah daerah terlebih dahulu menyiapkan masterplan agar penataan kabel dan tiang dapat dilakukan secara terpadu melalui Saluran Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT). Dengan harapan, ke depan tidak lagi ada kabel-kabel yang semrawut dan tiang-tiang yang menumpuk di satu titik.
Dalam penyusunan konsep perencanaan SJUT sektor telekomunikasi oleh pemerintah daerah dan penyelenggara telekomunikasi wajib memenuhi syarat ketentuan yang berlaku dalam Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kominfo Nomor 555/11560/SJ dan Nomor 03 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Infrastruktur Pasif Telekomunikasi, salah satunya dengan menetapkan konsep perencanaan awal penyediaan rumah kabel di bawah tanah (ducting bersama).
Penerapan penggunaan ducting bersama perlu pendekatan yang bijaksana, karena melibatkan badan usaha. Pemerintah daerah memberikan para provider waktu dan persiapan untuk segera memindahkan jaringan utilitasnya ke bawah tanah, mengingat biaya investasi untuk pemindahan tersebut tidak murah.
Penyediaan ducting bersama oleh pemerintah daerah dapat memberikan beberapa keuntungan bagi provider maupun pemerintah daerah. Bagi provider, penyediaan saluran untuk kabel bawah tanah atau ducting bisa menghemat investasi pembangunan infrastruktur telekomunikasi hingga 70 persen. Bagi pemerintah daerah merupakan potensi pendapatan asli daerah melalui pendapatan sewa kabel dari para provider, serta estetika kota yang lebih apik dan nyaman. Bagi masyarakat, keselamatan saat beraktivitas di jalan dan potensi konflik penggunaan lahan tanpa izin untuk pemasangan tiang oleh provider internet dapat dihindari.
Mengingat penataan tiang dan kabel ini melibatkan kepentingan banyak pihak, baik pemerintah daerah, masyarakat dan provider, maka harus dilandasi konsensus bersama yang pengaturannya melalui peraturan daerah. Peraturan perundang-undangan mengatur kriteria skala prioritas pembentukan peraturan daerah, antara lain, menjalankan otonomi daerah, menunjang rencana pembangunan daerah dan mengakomodasi aspirasi masyarakat. Kriteria tersebut merupakan kerangka dasar menuangkan kebijakan daerah dalam format peraturan daerah.
Peraturan daerah yang dibentuk guna menjalankan otonomi daerah (otda) mengandung arti bahwa raperda itu mengatur bagaimana menjalankan kewenangan konkuren daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urgensitas raperda ini bersifat alternatif dalam artian bahwa peraturan daerah tersebut hanya dibentuk apabila kewenangan tersebut memerlukan payung hukum lebih lanjut dan sulit dijalankan apabila tidak diatur lebih lanjut.( Abil H.M. Ali, 2022)
Urgensitas peraturan daerah tentang tata kelola jaringan utilitas membutuhkan dukungan publik agar kehadirannya dapat menjembatani dan mengurai permasalahan kesemrawutan kabel dan tiang kota. Dengan harapan bersama, agar kebutuhan peraturan daerah tidak hanya sekadar landasan hukum semata. Meminjam pemikiran Gustav Radbruch, pengaturan harus pula berorientasi pada tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H