“Seat belt, Doben.”
Suara itu tepat berasal dari belakangnya. Jen menoleh, dan dia mendapati seorang lelaki memasang sabuk pengaman untuk gadis di sampingnya. Jen ingat, dulu, Boa juga mengatakan seperti itu, ketika pertama kali mereka naik pesawat.
Jen memasang sabuk pengamannya, kemudian matanya terpejam. Begitu pesawat mengangkasa meninggalkan Dili, dia berucap dalam hati. “Selamat tinggal Lorosae, tanah yang menumbuhkan kata-kata.”
Sepanjang penerbangan, pikiran Jen dihinggapi berbagai pertanyaan. Apakah setelah ini Jen masih akan menulis tentang Boa? Dia tidak tahu. Jen justru merasa, dialah penulis yang terluka oleh tokohnya sendiri.
***
Gerimis menyambut ketika pesawat tiba di Jakarta. Musim di Indonesia dan Timor Leste memang nyaris sama. Jen mendorong troli, berjalan di antara orang-orang berbahasa Indonesia. Tiba-tiba dia menyadari bahwa tak ada yang menjemputnya. Ayah, mama, adiknya, tak ada satupun dari mereka yang tahu dia akan pulang. Untuk pertama kalinya, Jen merasa sendiri dan kesepian di tengah keramaian.
“Doben!”
Langkah Jen terhenti. Suara itu, membuat matanya tiba-tiba memanas.
“Aku memang sibuk akhir-akhir ini Doben. Tapi janji untuk terus menjagamu hingga ke ujung dunia itu, sudah seperti udara. Tanpanya, aku tak bisa hidup.” Boa berdiri di samping Jen. Mengambil alih troli dan menatap ke dalam mata Jen yang berkaca-kaca.[]
Sidoarjo, penghujung Januari yang penuh hujan
*cerpen ini dimuat di Majalah Femina no 36 September 2015