Mohon tunggu...
Shabrina Ws
Shabrina Ws Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pagi dan puisi. Novel yang sudah terbit diantaranya: Always Be in Your Heart, Betang, Lesus, Ping, Pelari Cilik, Rahasia Pelangi, Karena Hidup Hanyalah Sebuah Persinggahan, Sauh, dan Kisah dari Padang Rumput.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

BOA* [Femina No 36]

28 September 2015   14:46 Diperbarui: 28 September 2015   14:49 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kau menjauh satu langkah dariku,
Aku juga akan menjauh satu langkah darimu

“Aku tidak mau lagi melihat kata-kata seperti ini!” Boa langsung menanggapi status media sosial Jen yang hanya disetting untuk mereka berdua. “Kamu semakin aneh akhir-akhir ini!”
“Kau tidak tahu ya, kekhawatiranku padamu seakan mencekikku?”
“Berpikir positif, ok.”

Jen bukan tak pernah mencoba. Tapi seringkali kekhawatiran akan keselamatan Boa justru berubah menjadi kecurigaan, apakah hati Boa baik-baik saja?

Hati? Sesungguhnya itulah yang menghantui Jen akhir-akhir ini. Ketika Boa seringkali terlambat pulang dan mengatakan keluar bersama teman. Atau mendadak ada pekerjaan. Atau ada urusan sangat penting yang harus diselesaikan.

“Jadi aku ini tidak penting ya?”
“Ya Tuhan. Jen, kenapa kau begitu aneh? Kenapa kau tidak mengerti juga?”

Tahukah Boa, bahwa Jen sudah setengah mati mencoba mengerti? Jen bahkan mengambil kesimpulan, sebenarnya dia yang tak bisa memahami atau Boa yang tak mau dipahami?

Jen juga tak menampik, lima belas tahun menikah dan mereka masih saja berdua, barangkali membuat perubahan hubungan diantara mereka. Boa barangkali sama dengan dirinya merindukan hadirnya tangis dan tawa kecil di rumah mereka, meski Boa sering mengatakan tak mempermasalahkan itu.
“Anak itu hak Tuhan, Jen. Seperti hidup dan mati, bukan kita yang menentukan.”
Dulu, Jen percaya kata-kata itu, tapi semakin ke sini, Jen sudah tak percaya lagi. Barangkali Boa juga sudah tidak ingat pernah mengucakan kalimat itu.

Jen menghela napas panjang. Taksi telah jauh berjalan. Kini menyusuri ruas Praia dos Coqueiros di sepanjang pantai Kelapa. Dia melongok ke kafe Ermera, kafe sahabatnya. Jen lupa, kapan terakhir ke sana bersama Boa. Dulu mereka sering sarapan di sana. Jen menyukai obrolan pagi bersama Boa sambil menghabiskan secangkir teh panas dan paun isi sarikaya. Biasanya Boa langsung berangkat ke kantor. Sementara Jen, mengetik di sana hingga hari menjelang siang.

Jen kembali menghela napas panjang begitu taksi memasuki bandara. Pesawat masih satu jam lagi. Jen mengambil ponsel, memasang headset dan memilih saluran radio. Mendengar penyiar dengan bahasa Tetun dan Porto seperti itu,entah mengapa dia justru teringat bagaimana RRI terakhir kali mengudara di Dili. Saat itu air matanya meleleh. Bahkan masih seseunggukan ketika saluran radio di hadapannya hanya mendesis.

Ketika itu Boa membawa ke pelukannya, dan mengatakan kalau semua akan baik-baik. Tapi barangkali Boa memang telah lupa, setelah sekian tahun berlalu, justru mereka berdua yang tak baik-baik saja.

Beberapa menit kemudian, Jen berjalan menuju pesawat sambil memandang ujung sepatunya. Sekuat tenaga dia bertahan agar tak menoleh ke belakang. Keputusannya sudah bulat. Dia yakin ini yang terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun