Mohon tunggu...
shabrina firdausy
shabrina firdausy Mohon Tunggu... Penulis - Writer - @firdsyshabrina

Hai, aku shabrina, sosok yang menyukai hal baru, traveling dan memanjakan lidah dengan mencoba berbagai kuliner. Melalui traveling dan kuliner, membuat diri ini menjadi tau dan ngerti akan berbagai ciri khas dari tempat yang kita kunjungi dan budaya masyarakat yang pernah kita temui. Welcome to the 'Discover with Shabrina!'

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Perludem: Gen Z dan Milenial pada Pemilu 2024 Mampu Dorong Pemilu yang Lebih Demokratis

8 Agustus 2023   16:37 Diperbarui: 15 Februari 2024   10:45 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Titi Anggraini, Pembina Perludem (Sumber: Kemenko Polhukam)


Dalam forum diskusi Sentra Gakkumdu bertajuk "Wujudkan Pemilu Bersih" yang digelar oleh Kemenko Polhukam pada Selasa (8/7), pada sesinya, Titi Anggraini memaparkan materi penting terkait partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemilu bersih dan berkeadilan. Sebagaimana yang kita ketahui, tahun 2023 ini merupakan tahun politik yang menjadi langkah pembuka dan persiapan terslenggaranya Pemilu 2024. 

Dalam perhelatan pemilu yang akan datang, perwakilan dari Perludem memaparkan bahwa dengan banyaknya calon pemilih yang berasal dari kaum muda dapat mendatangkan keuntungan untuk perubahan pemilu yang lebih demokrasi. Namun disisi lain, hingga saat ini juga masih terdapat beberapa tantangan dalam pemilu Indonesia yang menjadi pr untuk segera dituntaskan. Berikut ulasannya.

Keuntungan mayoritas pemilih dari kaum muda
Pemilu 2024 merupakan salah satu pemilu serentak terbesar di dunia. Tercatat 60 persen pemilih berusia dibawah 40 tahun yang terdiri dari para Gen Z dan Milenial. Dalam hal ini terdapat sebuah keuntungan karena mayoritas pemilih yang berasala dari kaum muda dinilai memiliki peluang untuk menciptakan pemilu yang lebih demokratis.

Dalam adanya partisipasi pemuda sebagai mayoritas dalam pemilu, diharapkan mampu menerapkan sistem gagasan yang dipaparkan oleh Titi yaitu, "satu orang, satu suara, satu nilai itu bermakna". Dalam hal ini tersirat sebuah harapan bahwa pemilih harus cerdas. Pemilih yang mayoritas merupakan pemuda yang sangat melek akan teknologi ini harus memiliki pengetahuan soal pemilu yang valid, bukan hoaks, dan mengetahui prosedur pemilu yang benar sehingga nantinya bisa mengawal proses Pemilu yang demokrasi.

Pemilik suara juga harus lebih berdaya dan memiliki peran sehingga nantinya dapat meminimalisir tantangan-tantangan terkini sehingga penegakkan hukum pemilu dapat berlangsung transparan dan akuntabel. Diharapkan para pemuda juga harus turut andil dalam pengawalan pemilu hingga selesai dengan datang dan langsung memantau TPS setempat guna memastikan bahwa pemilu 2024 dapat terselenggarakan secara transparan. 

Selain itu, jika nantinya terjadi suatu sengketa dalam pemilu, diharapkan lembaga-lembaga yang berkicumpung dalam pemilu juga harus mempermudah pelaporan  hingga pemrosesan terhadap suatu kasus pemilu yang terjadi tanpa mengedepankan kepentingan lain apapun sehingga penegakkan hukum pemilu berlangsung dengan penerapan asas demokrasi.


Tantangan Pemilu di Indonesia saat ini
Sebagaimana yang kita ketahui, pemilu merupakan sebuah ajang pesta demokrasi. Dalam pemilu, sudah seharusnya Indonesia menampakkan wajah demokrasinya. Namun, berdasarkan uraian yang disampaikan Titi Anggraini, dalam penegakkan demokrasi yang sesungguhnya pada pemilu, hingga saat ini Indonesia masih memiliki banyak tantangan. Salah satunya yaitu adanya vote-buying atau jual beli suara.

Berdasarkan informasi yang dikutip penulis melalui kanal YouTube Kemenko Polhukam, Titi menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara ketiga di Asia Tenggara yang paling terpapar vote buying. Uang mampu menggerakkan hak pilih masyarakat.

Bahkan, jika menengok ke belakang, pada pemilu 2019, selain adanya pemilu transaksional, tantangan lain yaitu masih adanya masyarakat yang kebingungan dengan cara memilih, sehingga menyebabkan adanya suara tidak sah dalam pemilu dan dapat mempengaruhi kualitas calon pemimpin yang akan terpilih.

Jika dibilang Pemilu adalah suatu trasnaksional, maka memang benar Pemilu itu transaksional, tapi bukan soal uang. Transkasional disini berarti pemilih punya suara, dan yang dipilih punya harga untuk menawarkan kebijakan untuk kemajuan bangsa. Jadi jangan biarkan suara yang kita miliki itu tidak berharga, pemilih dapat menagih akuntabilitas yang ditawarkan oleh para calon pemimpin dengan adanya keterbukaan serta transparansi.

Lebih lanjut, tidak bisa dipungkiri bahwa vote-buying ini masih sangat meroket di Indonesia. Banyaknya uang kertas yang bertebaran di masa-masa kampanye dapat mencederai demokrasi Indonesia karena pemilu tidak berjalan secara bebas. Bebas dalam asas pemilu tersebut berarti bahwa setiap warga negara berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.

Selain itu, sebagai informasi, vote-buying juga merupakan bentuk perenggutan hak asasi warga negara sebagaimana yang telah tercantum dalam UU dan Konstitusi 1945. Dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sudah dinyatakan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Rakyat memiliki kewajiban yang bertanggung jawab dalam memilih pemimpin yang hendak mengatur dan mengurusi kehidupan mereka.

Sumber: Kanal YouTube Kemenko Polhukam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun