Mohon tunggu...
Fadli A
Fadli A Mohon Tunggu... Freelancer - pencatat arloji

Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruang Berbeda Itu Bernama Pancasila

3 Juni 2022   17:11 Diperbarui: 3 Juni 2022   17:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tepat 1 Juni 1945 tercatat sebagai hari bersejarah bagi Indonesia, bermula dari tanggal 29 Mei 1945, muncul pertanyaan dari ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyoningrat pada Bung Karno, M. Yamin, Dr. Supomo, pertanyaan itu adalah "apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?"

Bukan tanpa alasan dan sebab, pertanyaan filosofis dan visioner tersebut dilontarkan, pertanyaan yang kelak melahirkan dasar negara Indonesia, mengingat kondisi Indonesia masih dibawah penjajahan Jepang. Terbentuknya BPUPKI sendiri pada tanggal 1 Maret 1945 merupakan bukti konkret PM Jepang Koiso yang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, hal itu terjadi setelah Letnan Jenderal Kumakici Harada, terdesak, karena jatuhnya Saipan dan dipukul mundurnya tentara angkatan Jepang oleh sekutu disejumlah wilayah Papua Nugini, Kep. Solomon dan Kep Marshall.

 Kembali pada pertanyaan ketua BPUPKI diatas, setelah dua hari berturut turut melakukan rapat tentang dasar negara, Muh Yamin dan Dr. Supomo mengemukakan pendapatnya pada bung Karno, tanggal 1 Juni 1945, dalam pidatonya yang terkenal "Lahirnya Pancasila" Bung Karno berkata ... namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas, atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan bangsa Indonesia, kekal dan abadi.

 Proses lahirnya Pancasila tidak serta merta berjalan mulus tanpa ada pertentangan, berbagai dinamika antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis saling silang berbeda pendapat. Salah satunya penempatan sila ketuhanan pada urutan kelima sampai penggunaan kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

 Adalah KH Wahid Hasyim yang mewakili Nahdalatul ulama, Abdoel Kahar Muzakir mewakili Muhammadiyah, dan Agus Salim mewakili Sarekat Islam, Bung Karno, Bung Hatta, Achmad Subarjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, dan A.A. Maramis dari kelompok nasionalis (Panitia Sembilan) mencapai kompromis sepakat menghasilkan rumusan tepatnya tanggal 22 Juni 1945 yang kita kenal dengan Piagam Jakarta, salah satu sila yang disepakati dan menuai perdebatan setelah proklamasi adalah Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  

Sehari setelah kemerdekaan, ketika mulai masuk pada perumusan dasar ideologi bangsa dan negara, Bung Hatta mendapatkan laporan, bahwa kelompok Non muslim dikawasan Timur Indonesia, merasa diperlakukan diskriminatif dengan adanya piagam Jakarta dan mengusulkan menghilangkan tujuh kata tersebut. 

Dipimpin oleh Bung Hatta kemudian diadakanlah pertemuan kecil antara KH. Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hassan, sehingga dapat mempermudah menemukan titik temu menghilangkan tujuh kata sila pertama, proses pertemuan tersebut tidaklah mudah, setelah KH. Wahid Hasyim melunak, Ki Bagoes masih bersikukuh dengan pendapatnya, bahwa kata menjalankan Syariat tidak perlu dihilangkan, terbayang betapa peliknya kondisi saat para pendiri bangsa memikirkan ideologi negara untuk tegaknya bangsa ini. 

Tak henti disitu melalui pendekatan lebih mendalam, bersumber dari Buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara Jilid ke 2, menceritakan Mr. Kasman Singodimedjo mencoba merayu Ki Bagoes Hadikusumo dengan Bahasa Jawa yang halus ia berkata "... Kyai, kemarin proklamasi kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan undang-undang dasar... kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpinnya cekcok bagaimana?" 

 Akhinya pendekatan tersebut membuahkan hasil, Ki Bagoes Hadikoesomo pun luluh dengan syarat kata Ketuhanan ditambahkan dengan "yang Maha Esa". Sekelumit peristiwa sejarah yang terjadi tersebut, merupakan bagian dari  lahirnya Dasar Negara yakni Pancasila dan Undang -- Undang dasar 1945, sehari setelah proklamasi tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, 10 Ramadhan 1945.

 Pasca Merdeka, tidak serta merta Indonesia bisa segera menjalankan pemerintahan yang mulus, sejarah menguji bahwa Ideologi Pancasila tetap kokoh sesuai dengan yang digaungkan bung Karno, berbagai macam situasi politik dan ancaman dari dalam maupuh luar negeri,  mengingat sebagian besar wilayah Indonesia masih dikuasai Jepang dan Belanda, berbagai peristiwa terjadi diantaranya Bandung Lautan Api, 

10 November di Surabaya, aksi PKI, DI TI, RIS dan masih banyak peristiwa bersejarah lainnya yang seharusnya membuat bangsa ini semakin dewasa dan matang menyikapi perubahan zaman. Sampai masuk era Orde Baru, era reformasi dan sekarang era kerja Kabinet Jokowi, Pancasila tetap kokoh tidak tergoyahkan.

 Menilik dari sekilas sejarah diatas, diseputar lahirnya Pancasila dan Proklamasi kemerdekaan sampai dengan saat ini, ada pelajaran penting yang kita petik dengan konteks kekinian, sepatutnya rakyat Indonesia sadar dan paham bahwa bangsa ini lahir dari perbedaan, dasar negara ini pun dimulai dengan pemikiran serta perdebatan panjang seluruh komponen bangsa yang memang berbeda, baik agama, 

budaya dan, sukunya akan tetapi mempunyai visi yang sama, yakni bersatu membangun negeri, berdaulat, adil dan makmur.

 Sehingga, kita sebagai warga negara tidak perlu aneh, istilah kekinian baper, jika selalu terdapat perbedaan dalam menghadapi berbagai macam masalah kebangsaan yang terjadi pada saat ini. Ruang perbedaan itu seharusnya menjadikan para pemimpin negeri ini semakin bijaksana dalam mencari solusi terbaik bagi bangsa, sebagaimana yang pernah dilakukan para founding father kita. 

Karena memang Pancasila sendiri adalah ruang perbedaan, Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu jua. 

 

Sumber Bacaan :

Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6, Zaman Jepang dan Republik, tim nasionaal penulisan sejarah Indonesia, Balai Pustaka

Api Sejarah Jilid 2, Ahmad Mansur Suryanegara

Capita Selecta Jilid 2, M. Natsir

Negara Pancasila Vis a Vis Negara Islam, Pemikiran Politik M. Natsir dan M. Isa Anshary, Penulis : Pepen Irfan Fauzan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun