Mohon tunggu...
Fadli A
Fadli A Mohon Tunggu... Freelancer - pencatat arloji

Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara dari Kotak Suara

11 April 2017   17:53 Diperbarui: 12 April 2017   02:30 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit teriak 

hujan membuncah

angin berputar menari kencang

malam kelam dijahit sudah

raungan tanah zig-zag,

siap melahap rumah, jembatan layang dan gedung pencakar langit

laut muntahkan air asinnya

lava turun gunung - lahar banjiri kota

menjelma makhluk

mendobrak pintu rumah warga

mencari suara dalam

kamar terang

mencari suara suara alam

yang dibungkam

Sugeni tak pernah tahu bahwa suara yang ia berikan saat pencoblosan pilkada menjadi bumerang bagi dirinya dan seluruh warganya. Ia tak sadar bahwa paku yang ia tusukan pada mata salah satu calon pujaannya ternyata tidak merubah nasib warga manusia dan alam sama sekali. Pemimpin yang ia pilih kini menjadi serigala kota yang cakarnya siap menyergap alam dan rakyat jelata. Aumannya melolong panjang memekan telinga.

Awal mula kejadian ini terjadi dipelosok sebuah perkampungan ditengah kota Javata. Kampung Siluman namanya. Kampung ini memang sudah terkenal menghadirkan suara siluman. Suara yang dapat medongkrak paslon saat musim pilkada, pilpres mapun pemilu. Saat musim pilkada kali ini, penduduk didaerah tersebut menjadi kantong suara para pasangan calon yang berduit.

Sugeni yang baru saja satu tahun menjabat sebagai ketua RT tak mensia-siakan kesempatan tersebut. Ia ditunjuk menjadi koordinator warga dan menjamin pada salah satu calon bahwa di kampung siluman akan memberikan suara terbanyak. Ya tentu ada syaratnya. Syaratnya bukan puasa mutih atau senin kamis. Bukan pula ziarah ke gunung, bertapa di gua dekat makam leluhur lalu komat kamit. Syaratnya mudah saja, yaitu “blitzkrieg” bahasa kerennya, begitu kata Sugeni di WA pada salah satu timses paslonnya. Istilah gak kerennya itu bagi bagi amplop saat gerimis menjelang fajar. Harus gerimis, kalo gak gerimis atau hujan deres gak jadi bagi bagi amplopnya, karena sudah banyak orang keluar. Begitu strategi Sugeni.

Pertemuaan demi pertemuaan digagas Sugeni, ia mengumpulkan warga dan berusaha meyakini warga bahwa paslon yang menjadi idolanya kelak membawa angin surga. Sugeni berdiri paling depan sementara warga melongo memperhatikan.

“Begini para warga yang saya hormati dan saya banggakan”, ucap Sugeni.

“Jadi paslon kemeja kelabu dasi kupu kupu yang pakai peci miring ini kelak akan membawa perubahan di kota kita. Paslon ini akan membagikan para warga sekalian sejuta kartu sakti. Kartu gas, kartu listrik, kartu kontrakan, kartu beras, kartu warteg, kartu pintar, kartu sakit,  kartu wisata, kartu bensin, kartu kuburan dan banyak kartu canggih lainnya yang kelak akan membawa warga menjadi sejahtera kaya raya dan bahagia.”

“kartu gaple ada gak pak RT?” celetuk juman, yang memang tugasnya ronda setiap hari.

“Kamu ini.” Sergah Sugeni, “pertanyaanmu itu tidak relevan.”

 Juman terlihat semakin bingung, tengok kanan kiri cari si leman. “Gak ada pak RT. Yang ada kakaknya, mpok iyem”.  kata juman.

“Haduh kamu ini, kartu warteg aja ada, apalagi cuma kartu gaple, tapi nanti biar saya usul dilengkapi kartu kopi sama rokoknya.” Jawab Sugeni. Seisi ruangan pun tertawa.

Kampanye kali ini sugeni haqul yakin akan berhasil, RT 100 RW 200 kelurahan tigaratus kecamatan empat ratus akan memenangkan paslon kemeja kelabu berdasi kupu – kupu yang memang sudah diusung partai kelas kakap dan hiu. Sugeni pun sudah merencanakan dengan matang kapan blitzkrieg dilaksanakan. Memilah-milah mana warga yang bisa digoyang dikit pake amplop dan mana warga yang memang lurus-lurus aja. Caranya sugeni cukup jitu, ia memasang istrinya sebagai cepunya ibu-ibu. Setiap pagi Istrinya bertugas pura pura belanja di tukang sayur keliling dari gang ke gang.

Seperti biasa, ibu-ibu itu kalo udah belanja pasti sambil curhat. Inilah, itulah, si A lah si B lah, memble. Cabe naik aja ramenya kedengeran sampe istana. Gimana kalo rok yang naik. Hasil laporan dari di gang satu, istrinya beli tahu sambil cari tahu, mana ibu-ibu yang kurang belanja cabe. Yang kurang beli beras atau maupun yang celetak celetuk pulsa listrik abis. Masuk ke gang dua istrinya beli ikan peda sambil dengerin keluhan ibu-ibu yang anaknya belom bayar spp. Yang suaminya sepi ngojeknya. Yang belom bayar kontrakan. Yang anaknya minta hp si omi terbaru. 

Tugas istri sugeni mengingat nama-nama ibu-ibu tersebut untuk kemudian dicatat oleh sugeni dan diundang kepertemuan puncak. Tiga hari setengah menjelang pencoblosan, tepatnya hari sabtu kliwon saat daun jati bertanggalan Sugeni menyebarkan undangan, terutama pada ibu ibu yang memang sudah tercatat keluhan keluhannya.

“Salam sepuluh jari.” Dengan lantang Sugeni tanpa mikrofon “ibu ibu dan bapak – bapak yang saya hormati, saat ini adalah pertemuan puncak. Ingat nanti hari senin wage ibu ibu dan bapak – bapak jangan lupa jangan sampe salah coblosnya. Ingat kemeja abu – abu, dasi kupu – kupu peci miring. Nanti saat malam ibu ibu boleh berdoa, siapa tahu besok menjelang pemilihan ada rezeki nomplok. Pintu jangan dikunci ibu ibu. Lumayan buat nambah – nambah. Bayar listrik.  Beli daging. Kan udah lama gak makan daging nih.  Intinya ibu ibu diem – diem aja ya“ begitu kata sugeni.

Ibu ibu yang memang lagi butuh uang pada melongo, dalam hati bergumam, koq bisa ini Sugeni tahu kalo listrik dirumah sudah bunyi. Mau beli cabe buat dagang gorengan kagak kebeli. Hebat juga nih. Yang lainnya pun memikirkan hal yang sama.  Sampai tiba pada sesi tanya  jawab. Ibu ibu pada bungkam, karena diatas kepala ada bunga – bunga seperti film kartun disney sudah menghipnotis pikiran mereka. Pasti nanti itu ada amplop cap sepuluh jari.

Tiba satu hari menjelang pencooblosan, hujan mengguyur deras kota Javata. Termasuk di RT 100 RW 200 kelurahan tigaratus kecamatan empat ratus. Diperkirakan hujan akan sampe pagi hari. Sugeni dan istri sudah menyiapkan amplop –amplop yang akan dibagikan menjelang pukul tiga.

Di ruang tamu, sambil minum teh buatan istrinya Sugeni berkata “Ini namanya Bliztkrieg bu.” Kata sugeni.

 “Apa itu pak?, jangkrik?” kata istrinya.

“Ah ibu ini, koq jangkrik. Blitzkrieg itu serangan fajar bu. Itu bapak tahu waktu kuliah sejarah, strategi serangan yang dilakukan tentara jerman bu. Serang pagi pagi. Kan kalo kata orang dulu, kalo baru bangun nyawa belum ngumpul. Nah kalo dikasih duit jadinya iya iya aja kan bu.”

“ooooooo... ibu kira jangkrik pak”  kata istrinya sambil menerawang kekampungnya.

Menjelang jam tiga, Sugeni datang pos menemui Juman. Ia meminta bantuan Juman untuk bagi tugas membagikan amplopnya. Tak lupa dalam amplop tersebut ada kertas coblos salam sepuluh jari. Bisa dipastikan blitzkrieg berjalan dengan lancar. Hujan rintik-rintik di RT 100 membuat penduduk masih banyak yang tertidur pules. Saat mengetuk rumah ibu iyem, Juman tertegun melihat ibu iyem yang hitam manis rambutnya kusut masih pake daster.  

“ini mpok iyem dari salam sepuluh jari”  kata Juman.

"mmm.. ada pak mang juman”

“ini rezeki buat ibu, jangan lupa ya” Juman  segera pergi takut ketahuan tetangganya mpok iyem.

 Begitu pun ke rumah yang lainnya, rumah mereka tidak ada yang dikunci. Mereka seperti ingat pesan Sugeni. Kalo sekarang bakalan dapat rezeki. Ada yang diselipin di bawah pintu kamar. Ada yang diatas tipi. Ada yang di atas kulkas. Ada yang diterima langsung. Macem-macem deh ditaronya intinya diam. Begitu pesan sugeni saat kampanye.

Hari pencoblosan tiba, Jam 12.30 saat perhitungan suara. Semua mata tertuju pada papan tulis. Paslon baju abu – abu dasi kupu kupu menang mutlak mendapatkan suara 666 dari 700 warga. Sisanya dari pesaing. Sugeni gembira. Warga bahagia sementara.

***

Satu tahun setelah pencoblosan, kampung RT 100 dilanda masalah air keruh, setelah sungai dikerok, pohon kiri kanannya dibabat, dibangun beton penghalang. Bau sampah yang diangkat dari sungai menyengat .  Pagi itu Sugeni dan istri dijemput pake mercy, dibawa ke hotel bintang lima dapat bonus lagi diinapkan dikamar paling suite. Sugeni tak bertemu siapa – siapa, tapi diberi penginapan gratis plus bonus uang dari tim suksesnya.

Tiga hari berlalu, sugeni kembali kekampungnya. Sebelumnya mampir belanja kesana kemari di GI. Belanja banyak sekali. Sesampainya di kampunya, dengan percaya diri ia turun dari Mercy, masuk wilayah gang, ia kaget bukan main dan tercengang melihat rumahnya sudah roboh. Kampungnya rata dengan tanah tapi bukan digusur. Pohon roboh tapi tidak ada yang tebang. Genangan air didalam gang tapi tidak ada saluran yang mampet. Bau menyengat dari Air yang mengggenang. Seluruh penduduk mengungsi ke tempat ibadah. Ke sekolah. Ke rumah sakit.

Sugeni dan istri kebingunan. Ada apa ini gerangan. Sugeni bergegas lari kerumah Mang Juman. Terlihat ia lagi merenung di atas runtuhan, tatapannya kosong melihat rumahnya dtelan tanah.

“Ada apa nih mang juman,  apa yang terjadi?”

 Sugeni mengguncangkan badan juman.

“suara pak sugeni, gara-gara suara, tadi malam ada suara gemuruh, tiba-tiba semua rumah tertelan”

Sugeni diam sejuta bahasa melihat Juman, ditangan Juman terlihat kartu – kartu sakti yang katanya konon dapat digunakan untuk apa saja. Sugeni merenung, terbesit dihatinya, kartu-kartu itu hanya untuk manusia sementara untuk alam dan lingkungan tak kebagian. 

jakarta - sore gerimis 11/04/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun