"Hilya!" panggilan seorang wanita yang membuatku menoleh cepat.
Tapi hanya beberapa detik saja aku berbalik, setelah itu aku kembali menoleh ke arah Kak Arsyad. Namun, ia hilang sekejap mata. Ia hilang bersama angin.
"Ya', kok diem di sini? Dipanggilin juga malah dikacangin," Â ucap Bu Nia si penjaga perpustakaan yang sudah berdiri di sampingku.
"Cepetan pinjem bukunya, ibu mau tutup nih," ujarnya kemudian.
Aku mengangguk pelan. Tak terasa ada setitik air membasahi pipiku. Kenapa kehadiran Kak Arsyad begitu nyata di sini. Apakah karena perpustakaan ini adalah tempat kami setiap hari menghabiskan waktu? Setiap sudut ruangan ini adalah kenangan milikku dengannya.
Hatiku perih. Sungguh, aku merindukannya. Merindukan saat ia menegurku tatkala aku terdengar bising saat membaca buku, membantuku memungut buku saat aku tak sengaja menjatuhkannya dari rak, juga ikut tertawa pelan bersama kala penjaga perpustakaan menegur akibat bosan melihat wajah kami berdua.
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar lalu perlahan memejamkan mata. Membiarkan hal-hal indah melayang dan meng-hipnotis pikiranku.
Dering ponsel memekik hebat, kuraih teleponku lalu menempelkannya ke telinga.
"Hilya, kamu di mana? Kerjaanku udah selesai. Jalan, yuk!" ucap seorang pria dari ujung lain telepon.
"Tapi ... Kak Arsyad yang traktir, kan?" tanyaku sembari menahan tawa.
"Emang kapan kakak suruh kamu bayar?" cetusnya.