Mohon tunggu...
shafira adlina
shafira adlina Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Mamah Blogger, Asesor dan Fasilitator.

Jadilah pengubah keadaan dan bukan menjadi korban dari perubahan. Temui aku juga di https://www.ceritamamah.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kue untuk Ayah

22 Juni 2022   19:26 Diperbarui: 22 Juni 2022   19:28 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jendela hujan (freepik.com)

Pagi itu menjadi pagi yang tidak biasa untuk Okina. Okina gadis yang baru saja menyelesaikan tugas akhirnya dan dinyatakan lulus sebagai sarjana teknik kini mengambil margarin dengan sendok untuk dioles pada roti tawar yang ia pegang dengan tangan kiri. Hampir 5 tahun Ia tinggal di Ibu Kota, Ia tinggal di sebuah asrama pendidikan yang ia dapati hasil dari beasiswa berprestasinya. Pagi itu setelah cukup mengisi logistik perut anak ketiga dari 6 bersaudara ini, Ia melangkah beberapa ratus meter dari perumahan. 

"Aku harus segera berangkat" batinnya 

Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh Okina sudah membuka pintu toko kue itu, toko kue yang dikenalkan oleh teman sekampusnya. Kamis lalu, Rana, teman satu jurusan Okina mengajak Okina untuk menemaninya membeli kue. Saat itu Rana ingin membelikan kue untuk ulang tahun Ibunya. Lalu sekotak kue ia beli untuk seseorang yang sudah lama ia ingin lupakan. 

"Mudah-mudahan kue ini tidak meleleh" batin Okina sambil memangku sekotak kue.

Blueberry cheesecake yang berdiameter 18 cm dibawanya sambil menaiki bus. Bus dalam kota yang ber-AC itu nampaknya tidak cukup dingin untuk mendinginkan kue manis tersebut. Perjalanan dari Ibukota ke kota hujan banyak ditempuh dengan armada bis dalam kota. Maklum kala itu masih tahun 2006 belum banyak transportasi seperti kini. 

Sepanjang jalan Okina melamun teringat dengan kejadian 8 tahun silam. Di masa-masa ia mengenakan rok abu-abu dengan seragam baju putihnya merajut cerita tanpa batas. Ia harus setiap hari menengok kantor tempat para guru. Bukan karena Ia seorang ketua kelas yang memanggil guru hadir ke kelas, ataupun seorang sekertaris yang mengambil map presensi siswa kelas. Okina harus melihat kehadiran ada Ayahnya atau tidak di meja kerjanya sebagai guru matematika. 

Hari itu hari yang paling diingat Okina, Ia pulang sekolah menggunakan sepeda motor pada pukul 14.30 WIB. Setelah selesai merapihkan diri juga menunaikan sholat ashar, tak kuasa Ia menangis tersedu-sedu sampai-sampai wajah sembabnya tak bisa Ia sembunyikan di depan Ibu dan Kakak perempuannya saat makan malam. Setelah didesak berkali-kali, Ia mulai menguraikan kesedihannya lantaran salah satu gurunya memberikan ucapan yang dirasa tidak pantas di depan kawan-kawannya. 

"Kamu kan punya Ibu tiri, sudah minta uang Ibu Tiri kamu belum?" sindir Ibu yang mengajar mata pelajaran kimia itu. Saat mendengarnya Okina pura-pura merapihkan rambutku yang tidak berantakan. Di depan ke-10 temannya saat mereka sedang dipanggil di kantor untuk mendengar arahan untuk mengikuti lomba cerdas cermat sekota Bogor. Saat kembali ke kelas, Ia tak kuasa menahan kesedihan,  Ia hanya bisa menangis. Beberapa teman yang mengetahuinya membantu menemaninya sambil mengelus punggungnya. Tentu ini tidak mudah bagi Okina yang baru beberapa bulan yang harus menelan pil pahit ini.

"Bodohnya kenapa Aku tidak membalas ucapannya." batin Okina.

Walaupun Okina tahu, rasa sedih, sakit dan kecewa yang dirasakannya tak seberapa yang dengan yang dialami Ibunya. Bagaimana tidak selama hamper 25 tahun menikah, suaminya pergi dengan wanita lain begitu saja.

Awal yang sulit bagi Okina karena ia selalu bertemu dengan ayahnya di sekolah tetapi tidak pernah bertemu di rumah. Ayahnya pun mengajar matematika di kelas Okina, oh malangnya! Rasanya setiap melihat paras ayahnya ada rasa marah dan kecewa berat. Mengapa ia tega meninggalkan tanpa kabar dan nafkah kepada Ibu, dirinya dan 5 saudara lainnya. 

Okina harus melipat hatinya ke dalam, apa sebabnya? Karena dengan penghasilan Ibunya yang kala itu hanya pegawai perpustakaan daerah tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan keluarganya. Setiap hari Ia harus menagih setidaknya uang jajan untuk dirinya kepada ayahnya. Beruntungnya Okina dan saudara-saudaranya terkenal cerdas, jadi mereka masih bisa melanjutkan sekolah dengan bantuan beasiswa prestasi. Belum lagi gadis yang dikenal dengan jilbab panjangnya punya hobi menulis, seperti goresan kisah yang ia tuangkan dalam lomba cerpen IndiHome yang bisa membiayai perjalanan umrohnya dengan ibundanya.  

Memang sedari kecil kehidupan Okina dan saudara-saudaranya terlihat biasa, dibilang penuh cinta pun tidak. Baik ayah maupun ibunya cukup mencintai dirinya dan kelima saudaranya. Sampai suatu ketika Okina duduk di bangku SMP, ia merasa kehilangan sosok ayahnya. Ayahnya yang jarang menyapa, ayahnya yang sering keluar kota tanpa pamit. Ibunya hanya selalu berujar itu karena pekerjaan.

"Ya persiapan terminal Bogor!!" Ujar kondektur bus seketika membuyarkan lamunan Okina yang sedang menatap jendela bus.

ilustrasi jendela hujan (freepik.com)
ilustrasi jendela hujan (freepik.com)

Kakinya perlahan turun dari bus yang berwarna merah itu. Ia berjalan dari terminal bus ke sisi terminal angkutan umum yang letaknya tidak jauh. Ia memilih duduk di depan karena harus memangku kue yang ia bawa. Sudah bukan hal aneh lagi jika angkutan umum sering berhenti dan menunggu penuh sebelum berangkat, alasannya karena biaya sewa.

Tujuh hari yang lalu ia beranikan diri untuk menelepon dan menanyakan kabar kepada ayahnya yang telah meninggalkannya setelah hari kelulusannya. Bak ditelan bumi, ia sulit menghubungi ayahnya. Penuh harap ia menanti suara yang terdengar di ujung telepon genggam. Dengan internetnya Indonesia dari Telkom Group , dengan mudahnya menemukan seseorang yang hilang di media sosial. 

"Apa yang aku ucapkan pertama kali saat bertemunya? Apa ekspresiku jika melihat wanita itu? Apalagi anaknya?" batin Okina. Namun kembali ia membulatkan tekad demi pesan terakhir Ibunya untuk menyambung ikatan silahturahim dengan ayah kandungnya. 

Waktu berjalan memberikan banyak Okina kesempatan untuk belajar dengan memberi doa kepada orang yang sering meyakitinya membuat hatinya lebih ringan. Ringan dalam menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang rasa marah atau kesal. Kerelaannya terhadap rasa sakit yang diberikan oleh orang lain diterimanya bahwa rasa sakit tersebut memang harus datang. Rasa sakit yang membuatnya belajar dewasa, rasa sakit yang akhirnya membuat ia sukses seperti sekarang, menjadi mahasiswa jurusan teknik perminyakan. Seperti besi yang ditempa besi panas, semakin ditempa bentuk semakin bagus. Begitu juga manusia, Tuhan kan sudah berucap orang beriman pasti diujikan?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun