Awal yang sulit bagi Okina karena ia selalu bertemu dengan ayahnya di sekolah tetapi tidak pernah bertemu di rumah. Ayahnya pun mengajar matematika di kelas Okina, oh malangnya! Rasanya setiap melihat paras ayahnya ada rasa marah dan kecewa berat. Mengapa ia tega meninggalkan tanpa kabar dan nafkah kepada Ibu, dirinya dan 5 saudara lainnya.Â
Okina harus melipat hatinya ke dalam, apa sebabnya? Karena dengan penghasilan Ibunya yang kala itu hanya pegawai perpustakaan daerah tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan keluarganya. Setiap hari Ia harus menagih setidaknya uang jajan untuk dirinya kepada ayahnya. Beruntungnya Okina dan saudara-saudaranya terkenal cerdas, jadi mereka masih bisa melanjutkan sekolah dengan bantuan beasiswa prestasi. Belum lagi gadis yang dikenal dengan jilbab panjangnya punya hobi menulis, seperti goresan kisah yang ia tuangkan dalam lomba cerpen IndiHome yang bisa membiayai perjalanan umrohnya dengan ibundanya. Â
Memang sedari kecil kehidupan Okina dan saudara-saudaranya terlihat biasa, dibilang penuh cinta pun tidak. Baik ayah maupun ibunya cukup mencintai dirinya dan kelima saudaranya. Sampai suatu ketika Okina duduk di bangku SMP, ia merasa kehilangan sosok ayahnya. Ayahnya yang jarang menyapa, ayahnya yang sering keluar kota tanpa pamit. Ibunya hanya selalu berujar itu karena pekerjaan.
"Ya persiapan terminal Bogor!!" Ujar kondektur bus seketika membuyarkan lamunan Okina yang sedang menatap jendela bus.
Kakinya perlahan turun dari bus yang berwarna merah itu. Ia berjalan dari terminal bus ke sisi terminal angkutan umum yang letaknya tidak jauh. Ia memilih duduk di depan karena harus memangku kue yang ia bawa. Sudah bukan hal aneh lagi jika angkutan umum sering berhenti dan menunggu penuh sebelum berangkat, alasannya karena biaya sewa.
Tujuh hari yang lalu ia beranikan diri untuk menelepon dan menanyakan kabar kepada ayahnya yang telah meninggalkannya setelah hari kelulusannya. Bak ditelan bumi, ia sulit menghubungi ayahnya. Penuh harap ia menanti suara yang terdengar di ujung telepon genggam. Dengan internetnya Indonesia dari Telkom Group , dengan mudahnya menemukan seseorang yang hilang di media sosial.Â
"Apa yang aku ucapkan pertama kali saat bertemunya? Apa ekspresiku jika melihat wanita itu? Apalagi anaknya?" batin Okina. Namun kembali ia membulatkan tekad demi pesan terakhir Ibunya untuk menyambung ikatan silahturahim dengan ayah kandungnya.Â
Waktu berjalan memberikan banyak Okina kesempatan untuk belajar dengan memberi doa kepada orang yang sering meyakitinya membuat hatinya lebih ringan. Ringan dalam menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang rasa marah atau kesal. Kerelaannya terhadap rasa sakit yang diberikan oleh orang lain diterimanya bahwa rasa sakit tersebut memang harus datang. Rasa sakit yang membuatnya belajar dewasa, rasa sakit yang akhirnya membuat ia sukses seperti sekarang, menjadi mahasiswa jurusan teknik perminyakan. Seperti besi yang ditempa besi panas, semakin ditempa bentuk semakin bagus. Begitu juga manusia, Tuhan kan sudah berucap orang beriman pasti diujikan?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H