Mohon tunggu...
Mesha Christina
Mesha Christina Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengumpul kepingan momen.

Menulis juga di blog pribadi www.shalluvia.com || Kadang jalan-jalan, kadang baca buku, kadang menulis, dan yang pasti doyan makan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mengintip Dapur Jamu Ginggang, Kedai Jamu Legendaris di Jogja

7 Agustus 2024   19:25 Diperbarui: 8 Agustus 2024   06:44 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhir Juni 2024 lalu, bersama Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta dan Komunitas Malam Museum, saya berkesempatan mengintip dapur Jamu Ginggang dan sekilas melihat proses pembuatan jamunya.

Kunjungan tersebut merupakan bagian dari event Fun Walk Museum Tour yang mengangkat tema tentang flora atau tumbuhan dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, khususnya kebudayaan Jawa. Hal wajar kalau kemudian jamu menjadi salah satu yang dibahas.

Oh iya, bagi yang belum tahu, Jamu Ginggang merupakan kedai jamu tradisional di Jogja yang berkonsep kafe. Desain bangunannya masih asli sejak awal berdiri, sehingga saat menikmati jamu di sana serasa sedang bertandang ke rumah simbah. Kedai ini tak hanya kondang di kalangan warga Jogja, tetapi wisatawan dari dalam dan luar negeri pun sering kali menyempatkan singgah.

(dok. Disbud Kota Jogja)
(dok. Disbud Kota Jogja)

Berdasarkan penjelasan Mas Dono dari Komunitas Malam Museum, keberadaan jamu atau jampi husada (usaha kesehatan) di masyarakat Jawa merupakan hal yang penting dan terdokumentasi dengan baik sejak zaman nenek moyang. Contohnya saja, dalam relief Borobudur (abad 9-10 M), terdapat prasasti yang menceritakan nama-nama tabib. Di Prasasti Balawi yang berada di Pare Kediri, ada cerita yang mengisahkan tentang tuha nambi atau juru pengobatan. Dalam prasasti lainnya, ada juga yang menggambarkan tentang padadah (tukang pijat). 

Kembali ke Jamu Ginggang, warung jamu legendaris ini usianya hampir seabad, lho. Pak Rudy Supriyadi sebagai pengelola sekarang dan merupakan generasi ke-5 bercerita, awalnya eyang buyut beliau yang bernama Mbah Joyo merupakan abdi dalem peracik jamu di Pura Pakualaman (sekitar tahun 1925-1927). Pada masa Sri Paduka Pakualam VI tersebut, racikan jamunya khusus untuk keluarga dan kerabat kadipaten saja.

Tiga tahun kemudian, tepatnya di tahun 1930, atas anjuran K.G.P.A.A. Paku Alam VII, keturunan Mbah Joyo (generasi ke-3) akhirnya boleh meracik jamu untuk masyarakat umum. Usaha pembuatan jamunya bernama "Joyo tan Genggang" yang berarti selalu akrab. Penamaan tersebut diberikan oleh Sri Paduka Pakualam berdasarkan hubungan baik dan akrab antara Mbah Joyo dengan keluarga Pakualaman. Kala itu belum berdiri kedainya, masih berjualan di emperan jalan.

Foto bersama Pak Rudy Supriyadi (dok. Disbud Kota Jogja)
Foto bersama Pak Rudy Supriyadi (dok. Disbud Kota Jogja)

Baru pada tahun 1950, berdirilah warung atau kedai jamu berkonsep kafe seperti saat ini, dan namanya berubah menjadi "Jamu Ginggang". Masih menurut Pak Rudy, konsep tersebut mengambil contoh dari Kanada. Pada awalnya, para orang Tionghoa yang menjadi pelanggan Jamu Ginggang. 

Pengelola kala itu ialah ayah Pak Rudy yang sebelumnya bekerja di pelayaran. Dalam meracik jamu, beliau menggunakan teknik jumputan saat proses penakaran bahan. Sempat menggunakan teknik penimbangan dengan mesin, tetapi beberapa konsumen komplain karena cita rasanya berbeda. Alhasil, cara lama kembali digunakan, dan akhirnya resep yang masih asli dari zaman generasi pertama tersebut dicatat dalam buku oleh ayah Pak Rudy dan digunakan hingga sekarang.


Setelah berkisah mengenai sejarah singkat Jamu Ginggang, Pak Rudy mengajak kami mengintip ke dapurnya untuk melihat proses pembuatan jamu. Mulai dari penggerusan bahan, sewaktu ditumbuk lanjut dipipis, proses memasak, hingga akhirnya siap disajikan pada pelanggan.

Pembuatan jamu yang dibanderol 7 ribu s.d. 20 ribuan per gelas itu rupanya butuh proses yang tak bisa dikatakan singkat. Beberapa di antara kami, ada yang sempat mencoba proses penumbukan dan pemipisan. Dua hal yang tampak mudah, tetapi setelah dipraktikkan ternyata butuh ketelatenan dan tak asal bergerak saja.

Es beras kencur favorit saya (dok. pribadi)
Es beras kencur favorit saya (dok. pribadi)

Bagi saya, jamu merupakan sebuah keajaiban. Sedari kecil saya sudah gemar meminumnya, entah sebagai alternatif pengobatan ataupun sekadar omben-omben penyegar tenggorokan. Daripada rempong meracik sendiri, saya lebih suka beli dan langsung meminumnya. Karenanya, keberadaan kedai jamu seperti Jamu Ginggang yang beralamatkan di Jl. Masjid No. 32 Pakualaman Jogja ini sangat menyenangkan, apalagi harga yang ditawarkan juga murah-meriah, padahal khasiatnya jos!

Kalau teman-teman, tim yang suka meracik jamu sendiri, membelinya dan langsung teguk, atau malah tak suka minum jamu karena belum terbiasa dengan rasanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun