Tak begitu ingat, kapan terakhir kali ikut dolan bareng teman-teman Kompasianers Jogja (KJOG). Beberapa waktu lalu, saat ada penawaran event wisata budaya ke Keraton Yogyakarta, ingin mendaftar tapi masih maju-mundur, takut bentrok dengan acara lain yang diperkirakan jatuh di tanggal yang sama. Beruntung, ternyata acara lainnya berbeda hari, masih kebagian kuota dolan pula. Yeay, bisa reunian.
Dolan Bareng Sekaligus Reuni
Event kali ini terasa lebih spesial bagi saya. Selain sebagai ajang reuni dengan teman-teman yang lama tak berjumpa, juga kedatangan teman-teman dari Komunitas Traveler Kompasiana atau sering disebut KOTEKA, termasuk Mbak Gana Stegmann sebagai ketuanya yang selama ini tinggal di Jerman. Siapa kompasianer yang tak kenal KOTEKA? Setidaknya, pasti pernah mengikuti KotekaTalk sekali, yaitu bincang-bincang tentang traveling via Zoom yang rutin diadakan setiap minggu.
Tibalah hari yang dinanti, Rabu pekan lalu (23/8), pagi-pagi saya sudah berada di Plataran Keben, bagian depan dari Area Kedhaton atau yang lebih sering dikenal sebagai Museum Keraton, lokasi pertama yang akan kami kunjungi. Oh iya, mau memperjelas kalau dolan kali ini juga merupakan KotekaTrip #8, kolaborasi KOTEKA dengan KJOG yang diinisiasi oleh Faircle Coop, sebuah koperasi masa kini yang menaungi beberapa UMKM potensial di Jogja.
Menjelajahi Istana yang Berdiri Sejak Ratusan Tahun LaluÂ
Setelah semua peserta berkumpul, sekitar jam 09.00 kami memasuki Area Kedhaton melalui Regol Kamandungan atau Regol Srimanganti. Dengan dipandu seorang guide, kami menjelajahi segala yang ada di dalam kompleks istana yang dibangun mulai 1755 hingga 1756 tersebut.
Ibu Eni sebagai pemandu, menjelaskan tentang bangunan-bangunan yang kami lewati. Mulai dari Bangsal Srimanganti dan Bangsal Trajumas yang berada di Plataran Srimanganti. Kemudian, melewati Regol Danapratapa berarti sudah berada di area inti Kedhaton. Di sini dijumpai lebih banyak bangunan. Ada Bangsal Mandhalasana, Bangsal Kencana, Bangsal Manis, Gedhong Prabayeksa, Gedhong Jene, Gedhong Purwaretna, Gedhong Patehan, dan sebagainya.
Setiap bangsal dan gedhong (gedung) tersebut memiliki fungsi masing-masing. Misalnya Bangsal Srimanganti, saat ini berfungsi sebagai tempat pentas kesenian yang dihadirkan setiap harinya sebagai paket wisata. Dari Selasa hingga Minggu bergantian diadakan pentas uyon-uyon, wayang golek, wayang kulit, macapat, serta fragmen wayang wong yang baru-baru ini saya saksikan dan sudah ditulis juga di artikel sebelumnya. Saat kami berkunjung, yang sedang berlangsung adalah pentas wayang golek. Kami pun sempat menikmatinya meski hanya sejenak.
Dari sekian banyak bangunan, saya paling penasaran dengan Gedhong Prabayeksa. Bangunan yang tertutup untuk umum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan pusaka-pusaka milik keraton. Salah satunya, sepasang pelita atau lampu bernama Kiai dan Nyai Wiji yang selalu dijaga agar tidak pernah padam sedetik pun semenjak era Sri Sultan Hamengku Buwono I. Gedhong Patehan juga sangat unik dengan momen yang masih berlangsung setiap hari. Apa uniknya? Nanti, akan saya sebutkan dalam cerita saat mengunjungi lokasi ketiga.
Sekilas Mengenal Peradaban Jawa Era Kasultanan Lewat Ruang Daur Hidup dan Pameran Narawandira
Dari tahun 2021, Keraton Yogyakarta melakukan revitalisasi besar-besaran dalam museumnya, termasuk yang dulunya menjadi Ruang Batik. Saat kami kunjungi kemarin, sudah berupa bangunan baru dan beralih fungsi sebagai Ruang Daur Hidup. Dalam ruangan ini berisi berbagai jenis kain tekstil, seperti batik dan lurik, juga makna dari penggunaan motif-motif batik dalam perjalanan hidup masyarakat Jawa dari lahir hingga dewasa.
Beralih ke bangunan baru lainnya, kebetulan sedang ada pameran temporer yang bertajuk "Narawandira: Keraton, Alam, dan Kontinuitas". Secara garis besar, pameran ini bermaksud menyampaikan esensi manusia dan kontinuitas pelestarian alam. Masyarakat Jawa dalam budayanya, melihat alam dengan begitu kompleks.
Keraton pun sebelum berdiri, pada awalnya berupa hutan beringin yang kemudian diubah menjadi lahan perkebunan dan pertanian, juga sebagai tempat tinggal dengan tetap menyertakan penanaman vegetasi yang beraneka ragam serta memiliki banyak manfaat. Pameran ini tak sekadar membicarakan jenis-jenis vegetasi, tetapi juga melihatnya dari berbagai sudut pandang, seperti dari sisi filosofis serta keterkaitannya dengan peradaban manusia, khususnya masyarakat Jawa.
Perkenalan dengan Museum Wahanarata yang Baru
Puas berkeliling Museum Keraton, jam 10.45 kami mulai beranjak menuju lokasi berikutnya, yaitu Museum Wahanarata yang diresmikan kembali pada Juli lalu. Museum ini dulunya dikenal sebagai Museum Kereta Keraton yang uzur dan singup, kini menjelma cantik dan jauh lebih modern dengan berbagai sentuhan teknologi yang tentunya akan semakin menarik pengunjung dari kalangan muda.
Meski tujuan utama ke Wahanarata bukan untuk tur museum, tetapi kami sempat berkeliling sebentar dan menjajal AR photo booth yang disediakan. Seru sekali, serasa jadi orang gaptek karena merupakan pengalaman baru. Kapan-kapan mau ke sana lagi, penasaran dengan teknologi lainnya yang disediakan untuk pengunjung.
Bincang-Bincang Menyenangkan dengan GKR Bendara
Tepat jam 11.00, kami memasuki ruang rapat dalam kompleks museum. Iya, jadi kami di Wahanarata akan melakukan audiensi bersama GKR Bendara selaku Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nityabudaya, sebuah divisi yang memiliki fungsi utama mendukung kebudayaan di keraton, seperti bidang pariwisata, kesenian, museum, upacara adat, kearsipan, dan lain-lain.
Pada sesi ini sangat menyenangkan. Ngobrol bermacam-macam, dari pengalaman pribadi beliau kala menempuh pendidikan di luar negeri, aktivitas menjadi juri desa-desa wisata di seluruh provinsi, tradisi ngeteh (menikmati teh) di lingkungan keraton, pasang-surut dunia pariwisata di Jogja, pengelolaan arsip-arsip kuno milik keraton, hingga isu pengembalian barang jarahan kolonial ke NKRI. Sebenarnya, masih banyak lagi yang dibahas siang itu, teman-teman bisa menyimaknya dalam rekaman video di sini.
Saking serunya diskusi yang juga diikuti secara daring oleh teman-teman KOTEKA dari berbagai penjuru Indonesia dan bahkan ada yang di luar negeri itu, waktu jadi seolah bergerak lebih cepat, yang awalnya dijadwalkan hanya satu jam, lantas menjadi hampir dua jam. Saya, sih, senang-senang saja, yang dibahas menambah berbagai wawasan serta pandangan baru.
Berkunjung ke nDalem Benawan untuk Berkenalan dengan UMKM Jogja serta Paket Eduwisata
Sekitar jam 13.00, di bawah sinar matahari yang kian terik, dengan sedikit terburu kami berpindah ke destinasi selanjutnya yang juga merupakan lokasi terakhir, yaitu di nDalem Benawan. Alamatnya berada di sebelah barat Museum Keraton, masih di Jalan Rotowijayan juga, cuma tiga menit dijangkau dengan berjalan kaki.Â
Rupanya, di ndalem yang menjadi kediaman RM Kukuh Hertriasning atau akrab disapa Gusti Aning itu tak sekadar tempat tinggal. Di sana juga sebagai galeri oleh-oleh dan kerajinan khas Jogja. Tak heran kalau kemudian kami beraudiensi dengan beliau selaku Dewan Pembina Faircle Coop membahas mengenai perkembangan UMKM.
Faircle Coop hadir karena keprihatinan akan kondisi UMKM di Jogja kala pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan perekonomian, tak terkecuali para pengusaha kecil. Di bawah pembinaan Gusti Aning, perlahan-lahan UMKM yang ada dalam naungan Faircle kembali bangkit dan mampu menjangkau pasar yang lebih luas.
Produk-produk yang ingin bergabung dalam naungan Faircle akan dikurasi terlebih dahulu. Jika belum lolos kurasi pun tidak serta-merta ditolak, tetapi akan dibina hingga produk tersebut layak dipajang.
nDalem Benawan bersama Faircle juga menawarkan paket eduwisata berupa rangkaian trip yang akan membawa wisatawan menyusuri lorong waktu, kembali ke masa kasultanan pada awal 1900an. Wisatawan bisa belajar sejarah Mataram Islam via heritage tour di kawasan keraton. Kemudian, kembali ke nDalem Benawan disambut oleh bregada prajurit untuk menyaksikan atraksi seni serta menikmati jamuan menu-menu khas keraton. Wisatawan juga dapat mencoba pakaian adat Jawa yang sesuai tata cara dari keraton, mengikuti berbagai workshop kerajinan, serta ada dolanan bocah jika memang diinginkan.
Intinya, eduwisata yang ditawarkan boleh diikuti oleh berbagai usia, termasuk anak-anak. Dengan demikian, kita tak berwisata saja, namun juga turut mengenal serta melestarikan budaya leluhur. Untuk informasi lebih lengkap, akan segera diluncurkan di website faircle.com.
Sedikit Cerita tentang Tradisi Ngeteh di Keraton
Dalam kunjungan ke nDalem Benawan, kami diperkenalkan dengan berbagai pelaku serta produk UMKM. Salah satu di antaranya adalah artisan teh hijau dengan merek Samigiri yang berasal dari Kulonprogo. Tak sekadar melihat produknya, kami pun mencicipi teh bercita rasa unik dan tidak pahit tersebut. Saya yang biasanya minum teh hijau sembari nyengir, saat itu bisa menikmatinya dengan senyum.
Dalam kesempatan yang sama, Gusti Aning yang merupakan cucu dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga bercerita mengenai tradisi ngeteh di keraton yang dilakukan oleh Sultan bersama para abdi dalem-nya setiap jam 6 pagi dan 11 siang. Itulah yang saya maksud tadi akan diceritakan di lokasi terakhir, tentang uniknya Gedhong Patehan yang menjadi tempat penyajian teh untuk Sultan. Kalau kita berada di Kedhaton saat jam 11 siang, maka akan menjumpai momen iring-iringan abdi dalem keparak menuju gedhong dengan membawa rampadan (nampan) berisi perlengkapan ngeteh berupa teko berisi teh, air panas, serta gula.
Menikmati Jamuan ala Keraton sebagai Penutup Dolan
Selesai berbincang, kami diajak menikmati menu-menu khas keraton yang sebenarnya telah disajikan sejak awal. Sangga buwana menjadi makanan pembuka. Berbentuk seperti kue sus berisi daging cincang dan telur rebus yang dihidangkan dengan mayones.
Lantas, ada gecok ganem sebagai menu utama. Berupa bola-bola daging dengan kuah santan yang segar karena terdapat irisan tomat hijau dan belimbing wuluh. Untuk penutupnya, telah tersaji manuk nom, puding ala keraton berbentuk burung yang terbuat dari tape ketan serta susu atau santan, dengan rasa yang legit, dilengkapi emping melinjo sebagai penyeimbang rasa agar tidak eneg.
Jamuan tiga menu yang merupakan kesukaan beberapa Sultan terdahulu tersebut menjadi penutup dolan bersama teman-teman KJOG dan KOTEKA hari itu.
Sungguh, sebuah pengalaman berharga bagi saya. Tinggal di Jogja sedari lahir, bukan berarti benar-benar tahu segala hal tentang Jogja. Karenanya, berwisata budaya seperti ini menjadi hal yang sangat menarik dan menyenangkan untuk lebih mengenal kota yang ditinggali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H