Sudah sepekan berlalu, tetapi rasanya tak ingin move-on alias gamon dari momen kembali mengunjungi Keraton Yogyakarta, tepatnya di Area Kedhaton yang kawasan ini bisa disebut sebagai living museum.
Memang, belum lama dari jeda terakhir kali saya mengunjungi Kedhaton sebagai "turis". Kalau tak keliru, pada November 2022 manakala ada Konser Musikan. Namun, saat itu tidak terlalu mengeksplorasi areanya. Selepas menyaksikan konser, hanya memasuki Museum Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menurut saya bangunannya sangat indah.
Rindu Menikmati Pagelaran Wayang Wong
Beberapa kali ke Bangsal Srimanganti untuk menikmati pagelaran wayang wong dalam rangka pembukaan atau penutupan pameran temporer, membuat saya berkeinginan menyaksikan pentas wayang wong pada siang hari, dalam Pentas Paket Wisata Srimanganti yang dihadirkan Keraton Yogyakarta setiap harinya (kecuali Senin, museum tutup).
Sebenarnya, Juli kemarin saya sempat menyaksikan wayang wong di nDalem Kaneman yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta bersama Sanggar Tari Yayasan Siswa Among Beksa (YSAB), dengan lakon "Jabang Tetuka". Sayangnya hanya sekejap, tak sampai tamat. Kawan-kawan saya keburu mengantuk dan bosan. Bagi yang tidak terbiasa, menonton wayang wong memang dapat menimbulkan kejemuan. Tak mengapa. Lagipula, saya inginnya menonton di Bangsal Srimanganti, pada siang hari. Jadilah, rindu ini masih terus berlanjut.
Niat berbulan-bulan, baru kesampaian hari Minggu lalu (20/8). Senang sekali, bisa menikmati wayang wong lagi di Bangsal Srimanganti. Pentas ini hanya ada setiap Sabtu dan Minggu, bergantian dengan dengan pentas lainnya yang berupa uyon-uyon dan tari klasik, wayang kulit, wayang golek, serta macapat.
Jalan Cerita Lakon Kikis Tunggarana
Karena durasinya tak terlalu lama, maka wayang wong yang dipentaskan adalah sebuah fragmen. Kalau pagelaran wayang wong utuh biasanya berlangsung sekitar tiga jam atau lebih, fragmen ini semacam potongannya, hanya sekitar 60 hingga 90 menit.
Pekan lalu, fragmen yang ditampilkan berjudul (lakon) "Kikis Tunggarana". Mungkin, lakon ini memiliki beberapa versi cerita, tetapi yang dipentaskan di keraton mengisahkan perebutan sebuah kadipaten kecil bernama Tunggarana yang terletak di antara Kerajaan Trajutrisna yang dipimpin Prabu Boma Narakasura atau Raden Sitija dan Kerajaan Pringgadani milik Prabu Kacanegara atau Raden Gatotkaca. Masing-masing kerajaan merasa berhak memiliki wilayah tersebut.