4. Benteng Vredeburg
Pada awalnya, benteng ini dibangun oleh Sri Sultan HB I di tahun 1760 atas bujukan pihak Belanda dengan alasan sebagai benteng untuk menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Padahal maksud Belanda sesungguhnya agar lebih memudahkan memantau dan mengontrol perkembangan yang terjadi di dalam keraton.Â
Saat itu dinamakan Rustenberg dan bentuknya masih sangat sederhana karena hanya memanfaatkan apa saja yang ada di sekeliling.
Temboknya dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon aren dan kelapa, sementara bangunan di dalamnya terdiri dari bambu serta kayu, dan atapnya berupa ilalang.Â
Benteng dibangun dalam bentuk persegi dengan bastion di empat sudutnya sebagai tempat untuk penjagaan. Oleh Sultan, masing-masing sudut diberi nama Jaya Wisesa di sebelah barat laut, Jaya Purusa di timur laut, Naya Prakosaningprang di barat daya, dan di sudut tenggara Jaya Prayitna.
Dulunya di sekeliling benteng terdapat parit atau kanal sebagai bentuk pertahanan agar tak mudah dijangkau musuh.Â
Jembatan menuju gerbang benteng pun dulu berupa jembatan kayu jungkat-jungkit yang bisa dinaikkan menjadi posisi berdiri ketika tidak digunakan.
Museum ini juga sering digunakan sebagai tempat festival seni dan semacamnya. Sedangkan kanal yang dulu mengelilinginya, kini tersisa di bagian depan saja yang lebih mirip kolam ketimbang kanal. Jembatan kayu pun sudah lama berganti sejak tahun 1930-an.
5. Gedung Agung
Dulu merupakan kediaman kepala residen di bawah kepemimpinan Hindia Belanda, lebih dikenal dengan nama Djokjakarta Residentie atau Kantor Karesidenan Yogyakarta.Â
Gedung kompleks istana ini mulai dibangun pada Mei 1824 atas prakarsa Anthony Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta ke-18 (1823-1825) dan diarsiteki oleh A. Payen. Kala itu Smissaert menginginkan adanya "istana" yang luas agar menambah kesan wibawa bagi residen-residen Belanda.