Mohon tunggu...
F. Sugeng Mujiono
F. Sugeng Mujiono Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Lansia dan Seorang Perawan Tua (Kasih Tak Sampai 2)

5 Juni 2021   23:31 Diperbarui: 6 Juni 2021   00:15 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak bisa memahami mengapa kasih harus dipatahkan atas nama sebuah keyakinan. Katanya kasih itu sabar, yang kuhadapi adalah kemarahan penuh emosi. Katanya kasih itu murah hati, yang kudapati adalah pemaksaan kehendak. Katanya kasih itu tidak cemburu, yang kutemui adalah sikap iri hati. Katanya kasih itu tidak memegahkan diri, yang kuhadapi kecongkakan seakan kebenaran hanya milik pribadi.

Ya,. kasih yang semakin subur harus dikorbankan demi Ayah. Aku tak mengerti, mengapa tali kasih itu dulu bersemi. Bukan aku tak menyadari akan rintangan yang akan kuhadapi, namun aku pun tak kuasa menghambat bertumbuhnya kasih itu hingga keadaannya saat ini.

M. Ichsan kukenal sejak di bangku kuliah. Ia mahasiswa rantauan yang tekun. Ia tidak sombong dengan kepandaiannya dan kekayaan orangtuanya. Perkenalan pertama berkembang, hingga tumbuh benih kasih di antara aku dan dia. Sampai saatnya ia menyatakan I love you, dan kemudian ingin meminangku. Beda keyakinan baginya tidak masalah. Kasih lebih utama daripada masalah perbedaan. Menurut dia, substansi sebuah keyakinan adalah kasih. Keyakinan tanpa kasih adalah munafik. Hakikat dan perwujudan keyakinan itu adalah kasih. Itulah sebabnya, ia tak mau menumpas kasih yang telah bersemi sekian lama dalam dua keyakinan yang berbeda.

 "Jadi, Watik tetap ingin meneruskan hubunganmu dengan Ichsan?"  tanya ibuku suatu malam.

"Watik tak bisa mengingkari hatiku sendiri, Bu,"  jawabku. "Dalam waktu dekat, Mas Ichsan akan meminangku. Mas Ichsan orangnya baik, tidak fanatik, tekun beribadah sesuai keyakinannya. Jujur, rendah hati, dan sabar. Secara ekonomi juga sudah mapan."

"Ibu tahu, nak," potong Ibu. "Tapi bagaimana dengan ayahmu? Ibu tak bisa membayangkan sikap ayahmu bila Ichsan datang nanti. Ayahmu itu keras, tak mau dipermalukan."

"Aduh Bu, apakah aku mempermalukan Ayah?"  tanyaku..

"Ayahmu akan merasa gagal mendidik anak bila punya menantu tidak seiman," jawab Ibu. "Ayah adalah orang yang disegani di paroki[1]. Ayah termasuk sebagai katekis[2] lama, katekis senior. Sampai menjelang pensiun ini ayahmu masih bersemangat mengajar ke kring-kring[3], bahkan ke paroki lain. Kalau ternyata anaknya ..."

 "Ternyata anaknya apa, Bu?" aku memotong. "Jadi, Ibu sependapat dengan ayah? Ibu tak bisa memahami, bagaimana kasih itu tumbuh dengan sendirinya? Apakah demi sebuah keyakinan, kasih harus dikorbankan? Jadi, apabila kita berkata kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan tidak sombong, apakah itu hanya omong kosong, Bu?"

 "Cinta kasih tidak terbatas pada hubungan pria wanita saja, nak," kata Ibu lagi. "Kasih kepada sesama, kepada semua manusia, bahkan kepada seluruh alam ciptaan."

 "Juga kepada Mas Ichsan, Bu?" aku menyela. "Bila aku memutuskan kasihku kepada Mas Ichsan, bukankah itu tidak adil? Dan aku harus mengingkari suara hatiku sendiri?"

 "Watik, jangan sok pintar kamu," suara ayah begitu mengagetkan. "Kamu berani menggurui ibumu, juga ayahmu ya."

 Aku dan Ibu tidak menyangka, diam-diam Ayah telah mengikuti pembicaraan kami. Mukanya merah padam. Bibirnya bergetar.

 "Jangan bikin malu keluarga," Ayah melanjutkan. "Ayah sudah katakan, jangan teruskan hubunganmu dengan Ichsan. Tapi kamu memang keras kepala. Kamu korbankan keluarga demi cintamu yang sombong itu. Kamu mengandalkan perasaanmu sendiri, terlalu congkak dengan ilmumu, sehingga harus mengorbankan keyakinan. Sebagai anak sulung, seharusnya kamu menjadi contoh bagi adik-adikmu."

 "Sabar Ayah," Ibu menyela.

 "Sabar bagaimana?" sahut Ayah lagi. "Ini salah Ibu juga, terlalu sabar. Terlalu memberi hati kepada Watik dan Ichsan. Begini jadinya. Saya katakana, jangan lagi Ichsan ke rumah ini, apalagi untuk melamarmu. Ayah tidak mau. Sekarang Watik tinggal pilih, ikut Ichsan atau menuruti kata Ayah. Kalau ikut Ichsan, tinggalkan ayah!"

 "Ayah ...!!!" pekik Ibu. Aku dan Ibu tak bisa membendung emosi. Kami saling berpelukan sambil menangis sejadi-jadinya. Sementara Ayah meninggalkan kami berdua.

 Sejak peristiwa itu, kepalaku pusing tak berkesudahan. Aku tak lagi bergairah melakukan kegiatan. Ke kantor pun enggan. Aku tak tahu, sudah berapa hari tidak masuk kantor.

 "Watik, janganlah larut dalam kesedihan," Ibu menghibur. "Jangan putus asa. Berangkatlah ke kantor, bekerja seperti bisa. Kuatkan hatimu, jangan hancurkan masa depanmu."

 Aku tak menjawab. Ibu membujuk untuk mempertimbangkan kembali pilihanku. Tak sepatah pun aku berucap. Aku merasa, masa depanku sudah hancur dengan vonis Ayah itu. Sebenarnya Ibu bisa memahami, tapi tak mampu memberikan pemahaman kepada Ayah. Tak ada kata-kata yang bisa mewakili maksud hati Ibu.

 Aku pun tak punya pilihan. Cinta yang telah lama bersemi, tak mungkin kukhianati. Tetapi tak mungkin pula melawan kehendak Ayah. Tak ada kata-kata yang bisa kuungkapkan agar Ayah bisa memahami keadaan ini.

 Aku pusing lagi. Tak kusadari, air mata mengucur deras membasahi tangan Ibu.

 "Bu ..." kataku dalam pelukan Ibu. Ibu juga hanya bisa menanggapi dengan cucuran air mata. Dan ketika itu, terdengar pintu diketuk.

 Ibu melepas pelukanku, mengusap air mata untuk menyambut tamu.

 "Selamat pagi. Silakan masuk," terdengar Ibu mempersilakan. Hatiku kecut, aku mengenal suara tamu itu, teman sekantorku. Aku semakin pusing. Tanpa niat yang kusadari, aku bergegas mendapatkan tamu itu.

 "Hei, kenapa kamu kesini?" aku mendamprat tamu itu. "Jangan ganggu aku, jangan hina aku. Pergi kamu! Pergi....."

 "Watik ...'" Ibu melerai. "Jangan begitu, Watik."

 "Pergi ..., pergi...!" aku memekik sekuatku. Dan aku tak ingat apa yang terjadi. Hingga akhirnya aku sudah kembali ke kamarku semula.

 Tak tahu, sudah berapa lama aku mengurung diri. Terpikir olehku, bagaimana sikap Ichsan. Mungkin dia marah kena damprat Ayah. Mungkin dia sabar menantiku. Mungkin dia putus asa. Namun aku yakin, Ichsan sangat bijaksana. Dia tidak cengeng, tidak emosional, dan ia pasti berani mengambil keputusan terbaik baginya, bagi aku, bagi semuanya. Hingga suatu saat kuterima sepucuk surat.

  

Maafkan aku Watik, untuk mengambil keputusan ini. Berulang kali kukatakan, substansi sebuah keyakinan adalah kasih. Kasih adalah wujud amal bakti kita sebagai orang beriman. Keyakinan  tanpa kasih adalah omong kosong. Dan kasih bukan terbatas pada kita berdua. Kasih harus kita berikan kepada semua orang, kepadamu dan kepadaku,  juga kepada ayahmu. Kasih itu tidak sombong, tidak egois, namun berani berkorban. Oleh sebab itu, baiklah kita korbankan tali kasih kita berdua, demi kepentingan yang lebih mulia. Memang terasa pahit dan berat. Untuk mengambil keputusan ini, sangatlah berat, kulakukan dengan cucuran air mata yang tertumpah. Tapi, itulah kasih sejati, kita berusaha memahami. Kita rela memutus tali kasih kita demi ayahmu, keluargamu, juga keluargaku,  dan demi kebaikan semuanya. Jangan larut dalam kesedihan. Kita semai harapan baru dalam kasih yang sejati...

  

Aku tak kuasa membaca tuntas. Aku memekik sekuatku. Dan apa yang terjadi kemudian, tak lagi masuk dalam ingatan.

 Sejak saat itu, suasana keluargaku semakin murung. Tak ada canda. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri.

 Aku semakin takut menampakkan diri, larut dalam permenungan yang diliputi berbagai pertanyaan tanpa pernah terjawab. Tak ingat lagi sudah berapa lama aku berdiam.  Ibu nampak semakin keriput. Ayah tak lagi ada kegiatan di luar rumah. Adik-adik bekerja di luar daerah. Masing-masing sudah berkeluarga, punya kesibukan sendiri-sendiri, tidak ada kesempatan untuk saling memperhatikan. Tak pernah ada canda dan sukacita. Tinggallah sepassang lansia yang semakin renta dan seorang perawan tua yang semakin kehabisan asa.

 

Aku larut dalam permenungan dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab tentang kasih, tentang keyakinan, tentang iman, dan juga tentang Ichsan.

 

                                                              

Jambi, 01 Juni 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun