Apakah kamu pernah merasakannya? Â
Pikiran Menderita.
Kucoba mengartikan makna menderita sebagai sesuatu yang menjauhkanku dari segala perasaan damai. Keliatannya sesederhana itu di tulisan tapi ternyata apapun yang menjauhkan kita dari perasaan damai perlu kita sembuhkan dengan sungguh-sungguh.
Pagi itu aku duduk di halaman rumah. Langit berwarna abu-abu dan udara sedikit berkabut. Kucoba menikmati pagi dengan secangkir teh, musik yang menyala, dan buku yang belum selesai kubaca. Bisa dibilang ini adalah salah satu cara favoritku untuk mengisi pagi hari ketika libur.
Di tengah asyiknya membaca, aku terhenti sejenak dan menyadari ternyata segala yang ada di sekelilingku sangat indah. Awan dan langitnya yang mendung, cuaca yang sejuk, segerombolan burung yang lalu lalang, daun-daun berhambur dari pohon yang tumbuh di halaman samping rumahku.Â
Perasaan yang sangat damai dan cukup menyelimutiku kala itu. Aku merasa mampu melihat dengan jernih lalu tiba-tiba merasa segala ketergesaan, kecemasan, kepanikan, kesedihan yang aku rasakan terasa sebagai sesuatu yang konyol.
Semua tekanan bathin, bahkan kelas-kelas inner healing yang pernah aku ikuti menjadi tergantikan saat itu. Ketika menyadari bahwa kedamaian dan kebahagiaan nyatanya sangat dekat denganku.Â
Dan kesembuhan yang sempurna bisa aku dapatkan dari situ. Dari kehidupan yang jauh dari tekanan, dari senyum ibu yang sibuk bereksperimen memasak ini dan itu untuk dihidangkan tetapi tetap menerima dan bahagia melakukannya ditengah padatnya jam kerja, dari seseorang yang dengan keterbatasan tubuhnya tapi tetap memiliki prestasi meskipun beberapa kali gagal, dari pikiran yang menyadari ilusi-ilusi tuntutan hidup dan kemampuan melihat situasi dari berbagai sisi, dari pikiran yang menerima.
Kala itu beberapa malam di awal tahun baru, aku melontarkan berbagai pikiran dan pertanyaan random kepada kekasihku. Dengan amat begitu sabar ia membalas segalanya rinci. Kubaca kata demi kata jawaban darinya.
Aku mengambil buku catatan dan meneruskan menuangkan isi pikiranku yang ramai secara visual. Pikiran yang sering muncul dari beberapa malam sebelumnya. Tanganku bergerak menyelesaikan peta mengenai apa yang terjadi di kehidupanku bulan demi bulan di tahun sebelumnya? Lalu melihatnya menyeluruh, apa yang terjadi dalam hidupku selama setahun lalu?
Aku kembali memindai kapan dan dimana aku merasa berada di titik paling rendah dan dimana titik balik terjadi dalam hidupku di tahun lalu. Apa terobosan terbaru yang aku jalankan di tahun itu dan apa yang tidak aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Emosi apa yang mendominasiku, pemahaman baru apa yang signifikan yang aku peroleh mengenai diriku sendiri, kehidupan, dan sepanjang tahun lalu.
Dalam waktu beberapa jam aku khusyuk mencoret, menggambar, menulis hingga akhirnya menyelesaikan suatu "peta diri" singkat yang menggambarkan perjalanan hidupku setahun sebelumnya. Dalam waktu beberapa jam itu aku mendedikasikan diri untuk mendengarkan hidup, mendengarkan dan mengamati kembali.Â
Dan ketika melakukannya aku menyadari bahwa ternyata hidup selalu mengirimkan pesan kepada kita setiap detik, namun mungkin saja kita yang jarang berinteraksi dengannya, jarang memperhatikan sapaannya, dan jarang secara ramah mendengarkan suaranya yang mungkin terlalu lembut, karena pikiran kita ramai dan sibuk memutar musik mengenai ilusi kehidupan yang membuat kita tenggelam dalam depresi, putus asa, kecemasan, atau apa-apa yang harus dikejar dan diselesaikan melalui suara dalam volume maksimal.
Malam itu, waktu dimana aku menyadari bahwa segala perasaan  menderita, perasaan tidak cukup, kecemasan, prasangka buruk akan kehidupan, dan kekhawatiran akan masa depan hanyalah sesuatu yang dapat diamati layaknya kereta yang melaju cepat ketika kita berdiri di depan pintu penghalang di tepian rel kereta api.
Semua kebisingan yang membuat kita menderita tersebut hanyalan konser band dadakan dari soundsistem yang diputar terlalu keras di kepala kita sehingga kita merasa itu semua sesuatu yang nyata.Â
Padahal semuanya hanya drama yang diputar dalam mind di dalam kepala kita. Drama dari masa lalu dan masa depan yang sesungguhnya tidak nyata. Karena masa lalu telah terjadi dan kita lewati, sedangkan masa depan yang belum terjadi, sesungguhnya hanya bayangan di dalam kepala kita.
Kita duduk di dalam gedung teater di dalam kepala kita percaya bahwa semua drama yang diputar oleh pikiran kita sendiri adalah sesuatu yang nyata, kita berfikir bahwa peran setan di drama itu nyata hingga kita benar-benar merasakan ketakutan. Padahal jika kita keluar dari gedung teater, segala sesuatunya baik-baik saja, matahari masih bersinar terang, setan yang kita lihat tidak ada, dan nyatanya kehidupan sama sekali tidak sama dengan drama yang barusan kita tonton.
Selanjutnya bisa kamu baca di part 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H