Kerusuhan Mei 1998 bukan hanya menyebabkan kematian yang sadis dan luka-luka yang berdarah, namun lebih dari itu ada terselubung tindakan kekerasan seksual secara masal terhadap perempuan etnis Tionghoa yang dilakukan oleh para perusuh. Berdasarkan temuan dari TGPF Peristiwa 13-15 Mei 1998, bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut yakni adalah perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan, serta pelecehan seksual. Para perusuh juga menyekap perempuan etnis Tionghoa yang mereka temui baik yang di jalan, rumah, hingga transportasi seperti taksi, angkot, maupun bus. Korban bukan hanya diperkosa, tapi ada juga yang disiksa, dilecehkan, dianiaya, bahkan dibunuh.
Kekerasan seksual yang terjadi secara massal dalam sepanjang kerusuhan Mei 1998 tersebut, menyisahkan traumatis psike yang begitu berat bagi korban yang masih hidup. Traumatis itu membuat kesehatan mental korban menjadi menurun hingga menyebabkan beberapa korban menjadi sakit jiwa (gila), ada yang diusir oleh keluarga karena dianggap aib (hal ini ada keterhubungan dengan tradisi Tionghoa), dan ada juga yang memilih untuk menghilangkan diri ke luar negeri.
Selama kerusuhan Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998 menemukan adanya Tindakan kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, serta Medan dan Surabaya. Diketahui dalam hasil investigasi TGPF tersebut, total korban yang mengalami kekerasan seksual adalah 85 orang. Dengan cakupan 52 orang korban perkosaan, 14 orang perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. Data kasus laporan perkosaan juga seiring bertambah hingga tercatat ada 168 korban yang mengalami kekerasan seksual per 3 Juli 1998.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) juga membeberkan bahwa sebagian besar kasus perkosaan yang terjadi pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang dengan bergiliran atau bergantian dengan kurun waktu yang sama. Selain itu, kekerasan seksual yang dilakukan terjadi di dalam rumah, jalan, tempat-tempat umum, bahkan tidak peduli di depan orang lain. (tempo.co).
Salah seorang Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita F. Nadia, menganalisis bahwa perkosaan Mei 1998 adalah sebuah perkosaan politik yang mana menjadikan tubuh atau seksualitas perempuan sebagai alat teror di dalam situasi politik negara yang sedang kacau.
Ita Fatia Nadia, mantan direktur Kalyanamitra, organisasi nonpemerintah bagi kerja-kerja dan kesetaraan perempuan itu, juga mengatakan bahwa ada perbedaan data dengan temuan dari TGPF. Karena menurutnya, pada saat serangkaian peristiwa kerusuhan terjadi dari 12 hingga 15 Mei 1998, Ita bersama relawan lainnya menerima hampir 200 laporan pengaduan kasus perkosaan dalam 4 hari tersebut. Dan dari 200 kasus tersebut diketahui 189 kasus terverifikasi.
“Tapi waktu Tim Gabungan Pencari Fakta masuk, banyak korban yang ditanyain, kemudian tidak mau mengaku. Karena itu, ada perbedaan data dengan TGPF,” ujar Ita menjawab polemik perkosaaan massal kerusuhan Mei 1998, dalam wawancara bersama tirto.id.
Selain itu juga, menurut Ita, alasan korban tidak mau mengaku karena ada rasa takut yang besar. Hal ini menunjukan bahwa ada intimidasi dan teror dari para pelaku kepada para korban. Apalagi, salah satu korban perkosaan, Ita Marthadinata Haryono, yang waktu itu dengan berani memutuskan untuk akan bersuara dan bersaksi di Sidang PBB terkait pemerkosaan masal yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa di Indonesia pada kerusuhan Mei 1998 tersebut, justru dengan senyap nyawanya pun dihabisi secara sadis. Sehingga, dari itulah para korban pun semakin tidak berani untuk bersuara, karena merasa dirinya bisa terancam dan lebih memilih untuk diam, agar aman dan bisa selamat.