Tak disangka, bahwa dahulu dalam perjalanan negeri Indonesia yang kita cintai bersama ini, pernah ada sebuah peristiwa kemanusiaan yang begitu pilu menyayat hati, dan menjadi awan hitam dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Negeri yang katanya pluralisme dan menjunjung tinggi akan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda Tetap Satu), justru pernah mengalami pergolakan rasial yang begitu akut hingga berujung pada krisis kemanusiaan.
Kerusuhan Mei 1998 adalah tragedi kelam dalam catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, yang tak bisa dilupakan oleh mereka yang pernah menyaksikan, merasakan, dan menjadi bagian dari potret keadaan bangsa Indonesia di masa-masa krisis 1998 itu. Tragedi yang terjadi pada 12-15 Mei 1998 yang terkonsentrasi gejolaknya di Jakarta, Medan, dan Surakarta tersebut, mulai berawal dari krisis finansial Asia 1997 (krisis moneter), yang kemudian merambah pada krisis ekonomi Indonesia 1998 dan menimbulkan banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, sebagian bank dilikuidasi, penghentian berbagai proyek besar, dan lain sebagainya. (Kompas.com).
KERUSUHAN MEI 1998 (Kabung Mahasiswa Trisakti hingga Rasial Etnis Tionghoa)
Keadaan negara dengan krisis ekonomi yang kolaps tersebut, pada akhirnya memicu aksi protes dari masyarakat terutama mahasiswa yang turun ke jalan dengan beberapa tuntutan reformasi, salah satunya adalah menuntut agar Soeharto segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden RI yang telah menjabat selama 31 tahun lamanya. Gerakan unjuk rasa ini kemudian memakan korban, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak oleh peluru panas dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Keempat mahasiswa pejuang reformasi yang tewas tertembak tersebut yakni adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Pasca penembakan tersebut, keadaan pun dalam suasana kabung yang penuh tegang dan mencekam.
Kerusuhan ini kemudian mulai merambah pada isu rasial khususnya pada sentiment anti-Tionghoa. Apalagi diketahui sentiment anti Tionghoa pada saat itu memang sudah lama bergaung. Sehingga, hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang berkepentingan di dalam pemerintahan kala itu dengan menebarkan tuduhan bahwa etnis Tionghoa adalah penyebab krisis moneter di Indonesia. Hal ini pun dilakukan dengan cara menyebarkan informasi palsu bahwa etnis Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri dan sengaja menimbun sembako, sehingga membuat rakyat pribumi menjadi kelaparan dan sengsara dalam ekonomi. Apalagi pada saat itu jika dilihat secara materi, perekonomi etnis Tionghoa bisa dikatakan cukup stabil dan strategis serta dinilai lebih sukses. Sehingga, membuat masyarakat pribumi semakin dalam kebenciannya terhadap keberadaan etnis Tionghoa. (Tempo.co).
Hal ini kemudian mengalihkan kemarahan masyarakat. Warga yang beretnis atau berketurunan Tionghoa, mulai menjadi target sasaran pelampiasan kemarahan dan dijadikan sebagai kambing hitam oleh para perusuh. Penjarahan harta benda, pembakaran properti, perusakan, pembunuhan, hingga kekerasan seksual secara masal, menjadi musibah tragis bagi warga etnis Tionghoa kala itu. Ditambah lagi adanya desas-desus yang beredar bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari rezim Soekarno yang menganut paham komunis, dimana paham ini merupakan paham yang bertentangan dengan masyarakat mayoritas. Sehingga, hal tersebut semakin menambah akan kebencian dari masyarakat pribumi dan membuat warga etnis Tionghoa semakin diposisikan sebagai kaum yang tidak disukai serta disisihkan atau dislike minority. (Tempo.co).
KEKERASAN SEKSUAL MASSAL TERHADAP PEREMPUAN ETNIS TIONGHOA
Kerusuhan Mei 1998 bukan hanya menyebabkan kematian yang sadis dan luka-luka yang berdarah, namun lebih dari itu ada terselubung tindakan kekerasan seksual secara masal terhadap perempuan etnis Tionghoa yang dilakukan oleh para perusuh. Berdasarkan temuan dari TGPF Peristiwa 13-15 Mei 1998, bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut yakni adalah perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan, serta pelecehan seksual. Para perusuh juga menyekap perempuan etnis Tionghoa yang mereka temui baik yang di jalan, rumah, hingga transportasi seperti taksi, angkot, maupun bus. Korban bukan hanya diperkosa, tapi ada juga yang disiksa, dilecehkan, dianiaya, bahkan dibunuh.
Kekerasan seksual yang terjadi secara massal dalam sepanjang kerusuhan Mei 1998 tersebut, menyisahkan traumatis psike yang begitu berat bagi korban yang masih hidup. Traumatis itu membuat kesehatan mental korban menjadi menurun hingga menyebabkan beberapa korban menjadi sakit jiwa (gila), ada yang diusir oleh keluarga karena dianggap aib (hal ini ada keterhubungan dengan tradisi Tionghoa), dan ada juga yang memilih untuk menghilangkan diri ke luar negeri.
Selama kerusuhan Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998 menemukan adanya Tindakan kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, serta Medan dan Surabaya. Diketahui dalam hasil investigasi TGPF tersebut, total korban yang mengalami kekerasan seksual adalah 85 orang. Dengan cakupan 52 orang korban perkosaan, 14 orang perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. Data kasus laporan perkosaan juga seiring bertambah hingga tercatat ada 168 korban yang mengalami kekerasan seksual per 3 Juli 1998.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) juga membeberkan bahwa sebagian besar kasus perkosaan yang terjadi pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang dengan bergiliran atau bergantian dengan kurun waktu yang sama. Selain itu, kekerasan seksual yang dilakukan terjadi di dalam rumah, jalan, tempat-tempat umum, bahkan tidak peduli di depan orang lain. (tempo.co).
Salah seorang Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita F. Nadia, menganalisis bahwa perkosaan Mei 1998 adalah sebuah perkosaan politik yang mana menjadikan tubuh atau seksualitas perempuan sebagai alat teror di dalam situasi politik negara yang sedang kacau.
Ita Fatia Nadia, mantan direktur Kalyanamitra, organisasi nonpemerintah bagi kerja-kerja dan kesetaraan perempuan itu, juga mengatakan bahwa ada perbedaan data dengan temuan dari TGPF. Karena menurutnya, pada saat serangkaian peristiwa kerusuhan terjadi dari 12 hingga 15 Mei 1998, Ita bersama relawan lainnya menerima hampir 200 laporan pengaduan kasus perkosaan dalam 4 hari tersebut. Dan dari 200 kasus tersebut diketahui 189 kasus terverifikasi.
“Tapi waktu Tim Gabungan Pencari Fakta masuk, banyak korban yang ditanyain, kemudian tidak mau mengaku. Karena itu, ada perbedaan data dengan TGPF,” ujar Ita menjawab polemik perkosaaan massal kerusuhan Mei 1998, dalam wawancara bersama tirto.id.
Selain itu juga, menurut Ita, alasan korban tidak mau mengaku karena ada rasa takut yang besar. Hal ini menunjukan bahwa ada intimidasi dan teror dari para pelaku kepada para korban. Apalagi, salah satu korban perkosaan, Ita Marthadinata Haryono, yang waktu itu dengan berani memutuskan untuk akan bersuara dan bersaksi di Sidang PBB terkait pemerkosaan masal yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa di Indonesia pada kerusuhan Mei 1998 tersebut, justru dengan senyap nyawanya pun dihabisi secara sadis. Sehingga, dari itulah para korban pun semakin tidak berani untuk bersuara, karena merasa dirinya bisa terancam dan lebih memilih untuk diam, agar aman dan bisa selamat.
Hingga kini, laporan kekerasan seksual yang terjadi pada sepanjang kerusuhan Mei 1998 tersebut, tidak ada yang pernah terungkap kasusnya. Sedangkan para pelaku berlalu-lalang dengan begitu bebas tanpa dirundung rasa bersalah. Hukum yang diharapkan sebagai panglima tertinggi dalam memberikan keadilan, justru terlihat bagai keburaman yang tak tampak dengan jelas.
ITA MARTHADINATA HARYONO: SAKSI & KORBAN KEKERASAN SEKSUAL YANG DILENYAPKAN
Ita Marthadinata Haryono, siswi kelas III SMA Paskalis, seorang anak perempuan berusia 18 tahun yang berasal dari keluarga etnis Tionghoa dan beragama Buddha. Ita, merupakan salah satu korban pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998, dan menjadi satu-satunya korban yang berani untuk bersuara dan mau memberikan testimoni di Sidang PBB terkait dengan pemerkosaan massal yang terjadi di Indonesia pada sepanjang kerusuhan Mei 1998.
Namun nahasnya, keberanian Ita untuk bersuara menjadikannya berada dalam ancaman yang besar. Dan benar saja, sehari sebelum menjelang keberangkatannya ke Markas PBB di New York, AS, Ita Marthadinata Haryono sang aktivis HAM itu, tewas dibunuh secara bengis.
Kematian Ita Marthadinata Haryono, bukan hanya meninggalkan kesedihan dan duka yang mendalam bagi keluarga, namun lebih dari itu, ada kebenaran yang dimatikan untuk membungkam para korban kekerasan seksual dan menutupi kejahatan rasial pada kerusuhan Mei 1998.***
.
.
.
SUMBER REFERENSI:
Wikipedia. (2022). Krisis finansial Asia 1997. Diakses pada 12 Mei 2022, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_finansial_Asia_1997
Nurul Qomariyah, P. (2020). Serial Krisis Ekonomi Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia. Diakses pada 12 Mei 2022, dari https://tirto.id/krisis-moneter-1997-1998-adalah-periode-terkelam-ekonomi-indonesia-f6YV
Verelladevanka, A. (2021). Kronologi Kerusuhan Mei 1998. Diakses pada 14 Mei 2022, dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/15/150000579/kronologi-kerusuhan-mei-1998?page=all
Kepustakaan Presiden-Presiden RI. (2021). Soeharto Masa Bakti 1966-1998. Diakses pada 14 Mei 2022, dari https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/biography/?box=detail&presiden_id=2&presiden=suharto
Hendrik khoirul, M. (2021). Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia. Diakses pada 16 Mei 2022, dari https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-pelanggaran-ham-di-indonesia/full&view=ok
Dwi Hadya, J. (2019). Tim Gabungan Pencari Fakta Menemukan Tindak Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998-Jumlah Korban Kekerasan Seksual Tragedi Mei 1998. Diakses pada 16 Mei 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/13/tim-gabungan-pencari-fakta-menemukan-tindak-kekerasan-seksual-pada-tragedi-mei-1998
Mawa, K. (2017). Ita F. Nadia: "Perkosaan Massal 1998 itu Terjadi". Diakses pada 20 Mei 2022, dari https://tirto.id/perkosaan-massal-1998-itu-terjadi-cpa2
Wikipedia. (2022). Ita Martadinata Haryono. Diakses pada 12 Mei 2022, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Ita_Martadinata_Haryono
Maria, F & Hand, W. (2018). Kerusuhan Mei, Ita Martadinata Diperkosa, Dibunuh Sebelum ke PBB. Diakses pada 22 Mei 2022, dari https://video.tempo.co/read/10529/kerusuhan-mei-ita-martadinata-diperkosa-dibunuh-sebelum-ke-pbb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H