Kematian adalah hukuman atas dosa yang diberikan oleh Tuhan di Taman Eden, dan berlaku bagi kita semua. Bahkan bagi orang yang tidak mempercayai Tuhan, tidak mungkin baginya untuk menghindari kematian. Kita semua akan mati dan kita tahu itu. Namun, jarang sekali kita menemukan seseorang yang khawatir tentang nasibnya itu, termasuk mereka yang memasuki usia tua.
Saya adalah seorang pria tua, 77 tahun. Saya tahu bahwa kematian sudah dekat, namun saya tidak merasakan kematian itu di dalam diri saya. Saya merasakan kehidupan, bahkan ketika saya menyadari bahwa saya tidak memiliki lagi kekuatan untuk melakukan banyak hal. Fenomena internal ini disebabkan oleh jiwa dan keabadiannya. Setiap dari kita memiliki jiwa yang abadi, dan dengan demikian, jiwa itu selalu muda.
Mungkin pernah kamu sadari, Â bahwa dalam diri terdapat semacam kepribadian ganda: ketika kita berpikir tentang diri kita, kita melihat wajah dan tubuh yang sangat berbeda pada usia tua kita. Saat melihat diri kita di cermin atau di gambar, kita terkejut melihat penurunan dan kerentaan tubuh kita yang tak terelakkan. Inilah aspek diri kita yang sangat berbeda dari yang kita rasakan dalam diri. Dan ini juga merupakan bukti dari realitas jiwa kita yang abadi.
Tubuh adalah instrumen bagi jiwa. Sama seperti alat kerja yang kita gunakan adalah instrumen bagi tangan kita yang menggunakannya, demikian yang jiwa yang mengarahkan tubuh kita untuk bertindak. Ketika instrumen tersebut rusak dan tidak berfungsi lagi dengan baik, maka kita akan mencoba memperbaikinya. Dan ketika instrumen tersebut tidak berfungsi lagi sama sekali, kita lalu membuangnya. Misalnya, dulu kita biasa menulis dengan pena kayu berujung baja. Ujung pena terdiri dari dua bagian yang digabungkan.Â
Kita mencelupkan ujung pena ke dalam tinta dan kemudian menulis di atas kertas. Semuanya baik-baik saja selama pena masih berfungsi. Tetapi pada saatnya ujung pena menjadi tua, menggores kertas, dan dua bagiannya mulai terpisah. Upaya dilakukan untuk tetap menyatukan mereka agar pena itu tetap bisa menulis. Tetapi setelah beberapa waktu dan banyak usaha untuk memperbaikinya, ujung pena tidak lagi akan bisa menahan tinta atau bahkan patah.Â
Pada titik ini, apa lagi yang bisa dilakukan? Pena itu akan dibuang ke tempat sampah dan menjadi berkarat. Tetapi mungkin juga bisa menjadi ujung pena yang baik lagi, jika dimasukkan ke dalam tungku bersama dengan potongan baja lainnya. Seperti itulah kira-kira kebangkitan setelah kematian.
Analogi di atas menjelaskan seperti apa kematian alami kita. Tubuh, sebagai sarana jiwa, kehilangan kekuatannya dan mulai membusuk. Kita mencoba menyembuhkan tubuh, agar berfungsi seperti sediakala, tetapi tidak akan sebaik sebelumnya. Setelah beberapa waktu, tubuh semakin rusak hingga akhirnya semua organ terpengaruh. Akibatnya, jiwa tidak dapat lagi menggunakan tubuh, dan kemudian ia pun harus meninggalkan tubuh. Di sinilah kematian terjadi. Iman Katolik mengajarkan bahwa kebangkitan tubuh akan datang, dan harapan kita adalah bahwa Daya Ilahi akan memulihkan bahkan sisa terkecil tubuh kita. Seperti biji tumbuhan mati dan melahirkan tunas baru, demikian kehidupan akan bersemi kembali.
Setiap usaha untuk menghindari kematian, dengan bantuan dokter dan obat-obatan, seringkali hanya mempercepat kematian. Sama seperti terlalu banyak usaha untuk memperbaiki ujung pena akhirnya akan mengakibatkannya patah. Tubuh menjadi semakin tidak mampu melakukan aktivitas jiwa. Ia mulai mati, bagian demi bagian, karena organ-organ internal tidak lagi berfungsi dan mulai membusuk. Jantung mulai melemah, peredaran darah melambat, dan pernapasan menjadi sulit, karena paru-paru kehilangan kekuatan dan menjadi terhambat. Akibatnya, terjadi penumpukan asam karbonat, tubuh semakin lemah, dan akhirnya mengalami kematian yang tak terelakkan.
Lalu apa yang terjadi pada jiwa? Karena jiwa adalah mitra bagi tubuh, bagi setiap bagiannya, maka jiwa akan tetap berada dalam tubuh, bahkan selama masih ada satu sel kecil yang masih hidup dan dapat diaktifkan oleh jiwa. Kemudian, ketika sel terakhir ini gagal dan tubuh mulai membusuk secara total, jiwa akhirnya terpisah dari tubuh.
Setiap rasa sakit yang dialami tubuh, tidak saja sebagai akibat dari sensitivitas organ, yang mengalir ke otak melalui sistem saraf, tetapi juga adalah hasil dari kurangnya aksi jiwa, ketika ia tidak dapat bergerak sepenuhnya melalui organ-organ tubuh. Rasa sakit ini seperti kematian sebagian, yang dapat berubah dari rasa sakit menjadi kejang, seperti ketika kita harus mencabut gigi busuk.
Kematian, karenanya merupakan rasa sakit total, dan pemisahan jiwa dari tubuh adalah kejang yang mengerikan, yang hanya bisa reda dengan adanya kesakitan.
Mungkin terdengar paradoks, tetapi itu benar: kekurangan udara meningkat di dalam paru-paru dan oleh karena itu di dalam tubuh. Asam karbonat memiliki fungsi pembius, yang meredakan rasa sakit.
Adalah kesalahan besar memberikan suntikan stimulan kepada seseorang yang sekarat, misalnya suntikan kamper. Ini dapat menyebabkan kejang yang mengerikan bagi orang yang sedang sekarat, dengan membangkitkan sensitivitas yang bisa membawa mereka ke dalam keputusasaan.
Seperti ulat sutra keluar dari kepompongnya
Jiwa adalah roh, dan ia keluar dari tubuh dalam kepenuhan hidup sebagai Roh. Seperti ulat sutra keluar dari kepompongnya dan kemudian meninggalkannya. Jiwa memasuki keabadian. Intelek dan kehendak menyatu dan mengejar satu tujuan yang sama: Kebenaran  abadi dan Kebaikan  abadi. Jiwa berada di luar dunia ini, dan seperti roket, ia meluncur ke atas dan hanya tertuju kepada Tuhan, yang adalah satu-satunya tujuan.
Namun, keadaan jiwa tersebut bukan seperti yang diciptakan Tuhan ketika Dia mencurahkannya ke dalam tubuh kita. Bukan juga seperti yang telah ditebus Yesus. Jiwa yang baru meninggalkan tubuh itu memiliki inisiatifnya sendiri. Ia menuju padanya seketika ia meninggalkan tubuh. Bukan pada cahaya samar-samar yang lahir dari kesadaran kita, tetapi pada cahaya gemilang Kebenaran Abadi.
Kesadaran kita itu bersifat fleksibel dan cenderung membuat alasan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan kita selalu mencoba, akibat kesombongan diri, untuk membenarkan diri kita sendiri, untuk tampak jujur, dan bahkan suci. Di kota kelahiran saya di Italia, Napoli, kami memiliki pepatah: kesadaran itu "comme 'a pellecchia, cumma 'a tira accuss se stennecchia". Bila diiterjemahkan, artinya: "Kesadaran itu seperti kulit: sebagaimana diregangkan, seperti itulah dia." Namun, di hadapan cahaya Kebenaran Abadi, jiwa mengenali dirinya sendiri sebagaiamana apa adanya, dengan kejelasan yang tidak lagi mencari alasan atau pembenaran.
Adalah suatu kejutan yang tak terelakkan melihat jiwa dalam keadaan dosa berat akibat dosa yang membuatnya sangat tercela. Juga suatu kejutan yang memalukan bahwa jiwa dicemari oleh dosa-dosa ringan dan cacat oleh ketidaksempurnaan.
Jiwa yang tersesat adalah seperti sesuatu yang menceburkan dirinya sendiri ke jurang yang dalam, meskipun ia memiliki dorongan alami ke arah Tuhan. Jiwa tersesat tersebut seperti roket yang ditembakkan ke atas tetapi dengan dorongan yang tidak dapat membawanya kepada Tuhan, karena ia telah rusak. Ia terhambat dan tidak meledak. Namun, jiwa tidak cenderung ke jurang, yang merupakan kebalikan dari kemuliaan, tetapi cenderung untuk membersihkan dirinya sendiri dan melihat ini sebagai pembersihan, sebuah hadiah, bahkan dengan rasa sakit yang pedih.
Jiwa dengan dosa berat begitu jauh dari Tuhan yang dibiarkan dalam keadaan kematian rohani. Kejatuhannya ke dalam jurang seperti dalam kehidupan baru yang menakutkan. Dalam kehidupan seperti itu, ia hanya menemukan kotoran dari kesalahan-kesalahannya sendiri yang melingkupi dan menyiksanya. Karena itu, kebencian lahir di dalam jiwa dan ketujuh dosa maut membuatnya merasa ditolak sepenuhnya karena dosa-dosa tersebut mengejar jiwa seolah-olah ia berpakaian dengan tubuh baru, penuh dengan segala penyakit.Â
Namun, jiwa tetap mempertahankan dorongan alaminya untuk selalu menuju kepada Tuhan, tetapi karena dorongan alami ini tidak bisa mencapai tujuannya, jiwa tersesat menjadi frustrasi dan terganggu. Ia merasa ditinggalkan dengan keputusasaan dan berada dalam horor abadi. Hal itu seperti suatu zat yang membusuk, yang mengubah kondisinya bukan lagi sebagai krim yang manis tetapi sebagai benda yang dikerubungi ribuan ulat.
Jiwa dalam keadaan rahmat, bagaimanapun, masih dicemari oleh dosa-dosa yang telah ia lakukan. Ia seperti burung merpati dengan sayap patah yang tidak bisa terbang, tetapi tetap mencari Tuhan dengan cinta. Karena kodrat jiwa tertarik kepada-Nya, maka jiwa melakukan yang terbaik untuk membersihkan dirinya sendiri, memohon rahmat-Nya.
Jiwa yang tersesat adalah pelancong malang yang telah mencapai tujuannya yang abadi. Sementara jiwa dalam keadaan rahmat adalah pelancong yang telah mencapai akhir hidupnya di bumi, tetapi karena kebutuhan pembersihan, jiwa itu diberi kesempatan untuk tetap menjadi pelancong, untuk sekali lagi membersihkan dirinya dalam perjalanan cinta yang menyakitkan.
Jiwa yang tersesat berada dalam rasa sakit abadi; jiwa di Purgatorium (api penyucian) masih dalam perjalanannya, masih dalam waktu, dan ia menunggu hari yang diberkati ketika ia akan mencapai sukacita yang kekal, dalam kemuliaan Tuhan dan penyatuan sepenuhnya dengan Tuhan. Oleh karena itu, Purgatorium masih dalam waktu, dan penyucian tersebut hanyalah sementara.
***
Catatan: Tulisan di atas merupakan terjemahan penulis dari Bab. I dari buku "Who dies shall see ......", karya Don Dolindo Ruotolo (1882-1970), seorang imam dan mistikus Katolik berkebangsaan Italia. Bab II dan seterusnya akan penulis tampilkan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H