Mungkin terdengar paradoks, tetapi itu benar: kekurangan udara meningkat di dalam paru-paru dan oleh karena itu di dalam tubuh. Asam karbonat memiliki fungsi pembius, yang meredakan rasa sakit.
Adalah kesalahan besar memberikan suntikan stimulan kepada seseorang yang sekarat, misalnya suntikan kamper. Ini dapat menyebabkan kejang yang mengerikan bagi orang yang sedang sekarat, dengan membangkitkan sensitivitas yang bisa membawa mereka ke dalam keputusasaan.
Seperti ulat sutra keluar dari kepompongnya
Jiwa adalah roh, dan ia keluar dari tubuh dalam kepenuhan hidup sebagai Roh. Seperti ulat sutra keluar dari kepompongnya dan kemudian meninggalkannya. Jiwa memasuki keabadian. Intelek dan kehendak menyatu dan mengejar satu tujuan yang sama: Kebenaran  abadi dan Kebaikan  abadi. Jiwa berada di luar dunia ini, dan seperti roket, ia meluncur ke atas dan hanya tertuju kepada Tuhan, yang adalah satu-satunya tujuan.
Namun, keadaan jiwa tersebut bukan seperti yang diciptakan Tuhan ketika Dia mencurahkannya ke dalam tubuh kita. Bukan juga seperti yang telah ditebus Yesus. Jiwa yang baru meninggalkan tubuh itu memiliki inisiatifnya sendiri. Ia menuju padanya seketika ia meninggalkan tubuh. Bukan pada cahaya samar-samar yang lahir dari kesadaran kita, tetapi pada cahaya gemilang Kebenaran Abadi.
Kesadaran kita itu bersifat fleksibel dan cenderung membuat alasan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan kita selalu mencoba, akibat kesombongan diri, untuk membenarkan diri kita sendiri, untuk tampak jujur, dan bahkan suci. Di kota kelahiran saya di Italia, Napoli, kami memiliki pepatah: kesadaran itu "comme 'a pellecchia, cumma 'a tira accuss se stennecchia". Bila diiterjemahkan, artinya: "Kesadaran itu seperti kulit: sebagaimana diregangkan, seperti itulah dia." Namun, di hadapan cahaya Kebenaran Abadi, jiwa mengenali dirinya sendiri sebagaiamana apa adanya, dengan kejelasan yang tidak lagi mencari alasan atau pembenaran.
Adalah suatu kejutan yang tak terelakkan melihat jiwa dalam keadaan dosa berat akibat dosa yang membuatnya sangat tercela. Juga suatu kejutan yang memalukan bahwa jiwa dicemari oleh dosa-dosa ringan dan cacat oleh ketidaksempurnaan.
Jiwa yang tersesat adalah seperti sesuatu yang menceburkan dirinya sendiri ke jurang yang dalam, meskipun ia memiliki dorongan alami ke arah Tuhan. Jiwa tersesat tersebut seperti roket yang ditembakkan ke atas tetapi dengan dorongan yang tidak dapat membawanya kepada Tuhan, karena ia telah rusak. Ia terhambat dan tidak meledak. Namun, jiwa tidak cenderung ke jurang, yang merupakan kebalikan dari kemuliaan, tetapi cenderung untuk membersihkan dirinya sendiri dan melihat ini sebagai pembersihan, sebuah hadiah, bahkan dengan rasa sakit yang pedih.
Jiwa dengan dosa berat begitu jauh dari Tuhan yang dibiarkan dalam keadaan kematian rohani. Kejatuhannya ke dalam jurang seperti dalam kehidupan baru yang menakutkan. Dalam kehidupan seperti itu, ia hanya menemukan kotoran dari kesalahan-kesalahannya sendiri yang melingkupi dan menyiksanya. Karena itu, kebencian lahir di dalam jiwa dan ketujuh dosa maut membuatnya merasa ditolak sepenuhnya karena dosa-dosa tersebut mengejar jiwa seolah-olah ia berpakaian dengan tubuh baru, penuh dengan segala penyakit.Â
Namun, jiwa tetap mempertahankan dorongan alaminya untuk selalu menuju kepada Tuhan, tetapi karena dorongan alami ini tidak bisa mencapai tujuannya, jiwa tersesat menjadi frustrasi dan terganggu. Ia merasa ditinggalkan dengan keputusasaan dan berada dalam horor abadi. Hal itu seperti suatu zat yang membusuk, yang mengubah kondisinya bukan lagi sebagai krim yang manis tetapi sebagai benda yang dikerubungi ribuan ulat.
Jiwa dalam keadaan rahmat, bagaimanapun, masih dicemari oleh dosa-dosa yang telah ia lakukan. Ia seperti burung merpati dengan sayap patah yang tidak bisa terbang, tetapi tetap mencari Tuhan dengan cinta. Karena kodrat jiwa tertarik kepada-Nya, maka jiwa melakukan yang terbaik untuk membersihkan dirinya sendiri, memohon rahmat-Nya.