Beberapa terakhir, hati rakyat Indonesia sedang gundah gulana. Bagaimana tidak, setelah kasus Novanto yang tidak jelas keputusan atau sanksi etiknya, kini dengan begitu vulgar, rakyat dihadapi dengan upaya pembunuhan KPK. Sayangnya, upaya pembunuhan tidak saja datang dari pihak luar, seperti kepolisian dan DPR, tetapi justru dari dalam KPK sendiri, dari calon pimpinan KPK yang sebentar lagi akan dilantik Presiden Joko Widodo. Apa jadinya KPK nanti?
Para koruptor sedang mendapat momentum emasnya. Dua peluru sekaligus ditembak pada KPK. Peluru pertama tepat di jantung KPK, berupa revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi yang telah masuk agenda Prolegnas. Dan peluru kedua, diarahkan tepat di otak KPK, dengan terpilihnya calon pimpinan KPK yang kelihatan tidak punya komitmen memberantas korupsi di tanah air. Aneh, kalau kita masih berharap KPK akan masih punya nyawa ke depannya.
Revisi Undang-Undang KPK sudah jelas-jelas akan melucuti sebagian besar kewenangan KPK, seperti keharusan ijin penyadapan dari Ketua Pengadilan Negeri dan kewenangan mengeluarkan SP3, yang berarti sebuah kasus bisa dipetieskan kapan saja bila ada pengaruh kuat dari luar KPK. Revisi Undang-Undang berupaya memandulkan keperkasaan KPK untuk lebih fokus pada upaya pencegahan daripada pemberantasan. Bisa dipastikan bahwa ke depan kita akan jarang sekali mendengar KPK membongkar kasus korupsi. Yang akan sering terdengar adalah seminar, sosialisasi, atau iklan anti korupsi yang bertebaran di mana-mana.
Calon pimpinan KPK yang sebentar lagi akan dilantik pun, dari rekam jejak dan pernyataan-pernyataan mereka saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan dan dalam wawancara atau diskusi, tidak menunjukkan komitmen untuk menindak tegas para koruptor di tanah air.
Dari rekam jejak, para calon pimpinan KPK tidak ada yang berlatar belakang penyidikan dan penuntutan, yaitu dari unsur kejaksaan. Tidak adanya unsur yang berlatar belakang jaksa ini dapat diibaratkan seperti seorang tenaga pemasaran (marketing) disuruh untuk mengurusi audit dan pembukuan (accounting). Yang berlatar belakang polisi dan hakim pun sangat diragukan integritas dan rekam jejaknya. Yang satu merupakan kader dan orang dekat seorang pimpinan Polri pemilik rekening gendut. Yang lain merupakan hakim tipikor yang cukup sering membebaskan koruptor.
Mengharapkan para calon pimpinan KPK yang baru nantinya akan sama seperti pimpinan KPK edisi sebelumnya rasanya berlebihan. Bisa jadi anggapan tersebut muncul dari pesimisme yang sama ketika Abraham Samad cs terpilih. Namun, kurang tepat rasanya menumbuhkan optimisme yang sama kepada para calon pimpinan KPK tersebut dengan berkaca pada pengalaman Samad cs. Saya katakan kurang tepat membandingkan dengan sebelumnya, sebab belum dilantik saja, para calon pimpinan KPK ini sudah memunculkan pernyataan-pernyataan yang melemahkan kerja KPK, seperti mendukung revisi UU KPK dan mengalihkan kerja KPK 80 persen kepada upaya pencegahan. Samad, cs meski rekam jejak sebelum menjadi pimpinan KPK tidak terlalu menonjol, namun didukung oleh latar belakang profesi dan idealisme jiwa-jiwa muda yang ingin agar negeri ini bersih dari korupsi.
Membandingkan pesimisme dan optimisme terhadap para calon pimpinan KPK dengan pimpinan KPK sebelumnya tidak lain merupakan upaya pengecohan terhadap masyarakat. Rakyat diberi janji manis dan diajak untuk menunggu, membiarkan para pimpinan KPK yang baru untuk bekerja lebih dahulu dan membuktikan kemampuannya. Padahal tidak ada ukuran jelas sampai kapan rakyat harus menunggu dan dapat memberikan evaluasinya. Sementara, di sisi lain korupsi yang sudah semakin merajalela pasca penonaktifan Abraham Samad, akan semakin menjadi tak terkendali. Seperti kuburan, dari luar terlihat baik-baik saja, tetapi di dalamnya penuh ulat.
Pernyataan salah seorang pimpinan KPK yang menolak hukuman mati terhadap koruptor dan mengatakan delapan puluh kerja KPK pada upaya pencegahan mestinya tidak membuat rakyat menunggu, berharap, apalagi meyakini bahwa para calon pimpinan KPK tersebut nantinya akan sama dengan sebelumnya. Korupsi di negeri ini sudah seperti tumor dan kanker tingkat kronis. Jika ada dokter yang menyatakan akan mencegah tumor dan kanker pada pasien yang sudah jelas menderita tumor dan kanker kronis, maka pernyataan itu merupakan sebuah sinisme dan penghinaan luar biasa.
Rakyat mestinya sudah harus bertindak sekarang, sebelum para calon pimpinan tersebut dilantik. Presiden perlu didesak untuk menolak pelantikan para calon yang diragukan komitmennya tersebut, sebagaimana juga didesak untuk menolak revisi UU KPK. Para capim KPK terkesan jelas jauh dari nawacita Jokowi, yang salah satunya adalah pemberantasan korupsi. Terhadap Setya Novanto seorang, rakyat Indonesia kelihatan begitu kompak dan satu suara, mengapa terhadap pembunuhan KPK rakyat seolah mendiamkannya?
Tidak cukup bila saat ini kita hanya duduk menyalahkan Komisi III DPR yang telah menjatuhkan pilihannya pada capim KPK yang baru. Andil terbesar justru datang dari pemerintah, dalam hal ini panitia seleksi pimpinan KPK, yang telah meloloskan nama-nama tersebut. Rakyat sudah kecolongan sebab tidak mendesak Komisi III untuk menolak para calon yang diajukan pansel pimpinan KPK. Padahal sebelum uji kelayakan, ada indikasi DPR menolak sepuluh capim yang diajukan para srikandi pansel, yang cocoknya mengurusi kegiatan ibu-ibu PKK. Namun, karena kurang desakan dan dukungan masyarakat, akhirnya sepuluh orang tersebut menjalani uji kelayakan dan dipilih lima oleh DPR.
Rakyat sudah kecolongan, dan apakah rakyat perlu kecolongan lagi dengan membiarkan para calon tersebut dilantik dan UU KPK direvisi? Atau lagi-lagi harus terkecoh dengan retorika biarkan waktu yang akan membuktikan kerja pimpinan baru tersebut? Jangan pernah harapkan UU KPK hasil revisi nanti akan direvisi lagi untuk memuaskan syahwat pemberantasan korupsi di tanah air. Sebejat-bejatnya DPR, mereka bukanlah sekumpulan keledai bodoh yang mau jatuh lagi di lubang yang sama dengan merevisi UU KPK hasil revisi tersebut.
Bila dulu KPK hanya berhadapan dengan upaya pelemahan, maka jelas sekarang KPK berhadapan dengan upaya pembunuhan. KPK bagaikan seorang penjahat yang pada saat bersamaan hendak dibunuh dan ingin bunuh diri. Bahkan bila salah satu dari dua kemungkinan tersebut dilenyapkan, toh ia akan tetap mati. Bila tidak dibunuh dengan revisi UU KPK, ia akan tetap melakukan aksi bunuh diri. Berlawanan dengan nalar bila mengharapkan KPK tetap hidup dan ganas seperti dulu bila roh atau spiritnya dicabut. Kalaupun tetap ada ia hanyalah sesosok mumi, yang seolah-olah hidup tetapi sesungguhnya mati.
Sekedar usulan sebelum mengakhiri tulisan ini. Sudah banyak hari peringatan yang digalakkan di negeri ini, namun belum ada satu hari khusus untuk didedikasikan bagi mereka yang telah berjasa memiskinkan dan menghancurkan negeri ini. Saya usulkan agar hari pengesahan revisi UU KPK nanti dijadikan Hari Koruptor. Dengan demikian, prestasi pemerintah dan anggota DPR saat ini dapat terus dikenang sepanjang masa. Sekian, dan turut berdukacita atas berpulangnya KPK.
Â
Berita kompas.com Hari ini:
Dukung Revisi UU, Saut Situmorang Tak Mau KPK Jadi Luar Biasa
ICW Khawatir KPK jadi Komisi Pelindung Koruptor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H