Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indonesia, Jangan Jadi Bangsa Pemarah!

29 April 2015   21:36 Diperbarui: 22 November 2015   20:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada sedikit rasa gembira karena Mery Jane yang direncanakan akan dieksekusi dini hari tadi ternyata kemudian ditangguhkan. Ternyata, masih ada sedikit jejak rasa kemanusiaan dalam diri pemimpin kita, Presiden RI Joko Widodo. Ketegasan dan kedaulatan hukum bukanlah sebuah harga mati sehingga nilai hidup pun harus dikorbankan. Ternyata, masih ada ruang bagi keadilan di tengah peradilan sesat di negeri ini.

 

Namun, rasa gembira saya mungkin tidak akan bertambah besar andai pun pada akhirnya Mery Jane dibatalkan hukuman matinya, atau bahkan dibebaskan dari hukuman penjara apapun. Rasa gembira saya hanya akan bertambah besar bila hukuman mati dilenyapkan dari negeri ini. Pada saat itulah kegembiraan saya akan meluap-luap, karena bangsa Indonesia menunjukan kelasnya sebagai bangsa beradab.

 

Adanya hukuman mati dalam perundangan di negeri ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemarah. Dan bukan saja karena masih termuat dalam undang-undang (KUHP), pro kontra di media sosial tentang hukuman mati bagi para terpidana narkoba, sependek pengamatan saya, menunjukkan lebih banyak pihak yang pro (mendukung) dibanding yang kontra (menentang) pelaksanaan eksekusi mati. Di forum Kompasiana ini saja sebagai sampelnya: banyak sekali yang mendukung dan mendesak segera dilaksanakannya hukuman mati, dibanding yang menolak! Ini kenyataan yang menyayat hati.

 

Hukuman mati, bagi kejahatan apapun, merupakan sebuah perlawanan terhadap nilai yang mestinya menjadi nilai tertinggi, yaitu nilai hidup. Sudah sering, bahkan sampai berbusa-busa, kita berwacana bahwa hidup matinya setiap mahluk manusia di bumi ini berada di tangan Tuhan. Namun, ketika kita mendukung pelaksanaan eksekusi mati, di situ sebenarnya kita sedang merampas hak menentukan hidup itu dari tangan Tuhan dengan mencari rasionalisasi sebagai bentuk kedaulatan dan penegakan hukum di negeri ini.

 

Bangsa Indonesia juga menjadi bangsa pemarah karena juga seolah kita menutup telinga bagi kemungkinan ketidakadilan yang lahir dari sebuah peradilan sesat. Pertimbangan hati nurani kalah dan dipermainkan oleh isu-isu kedaulatan hukum, dan bahkan SARA. Fakta lapangan yang menunjukan bahwa Mary Jane hanyalah seorang buruh migran, kurir yang tidak tahu apa yang dibawanya tidak cukup meluluhkan hati banyak orang Indonesia untuk sekedar berempati dengan dengannya. Demikian juga, banyak yang seolah menutup telinga dengan fakta peradilan, di mana Mery Jane yang tidak terlalu paham bahasa Inggris hanya didampingi oleh seorang penerjemah anak kuliahan. Intinya, Mery Jane harus dieksekusi mati!

 

Padahal seandainya Mery Jane dan terpidana mati lainnya terbukti benar-benar bersalah pun, hukuman mati tetap tidak layak. Dengan membunuh orang yang 'membunuh' orang, kita menunjukkan dan menampilkan sebuah citra negatif bahwa kita tidak lebih baik dari si 'pembunuh' itu. Bedanya, hanyalah bahwa tindakan membunuh kita dilegalkan oleh aturan yang dibuat oleh manusia. Dilihat dari sisi moral dan etika, kita sedikitpun tidak lebih baik dan bermartabat daripada orang yang membunuh tersebut. Insting kita masih berada pada level kebinatangan, yang secara naluriah membunuh dan mematikan apa yang ia rasa sebagai ancaman. Padahal sebagai manusia berbudaya, yang memiliki katanya budi, rasa, dan karsa, respons dan insting membunuh mestinya sudah terkikis dari kesadaran kita. Hukum dan kesadaran kita mestinya bergerak pada bentuk-betuk hukuman yang jauh lebih bermartabat dan menunjukkan penghargaan terhadap nilai hidup. Saya pikir, beradab tidaknya suatu bangsa amat ditentukan pada legal tidaknya penerapan hukum mati dalam undang-undang negara tersebut.

 

Membenarkan pembunuhan yang dilegalkan lewat tangan negara menunjukan jati diri kita sebagai bangsa yang pemarah. Yang selalu membalas setimpal apa yang kita alami. Membunuh harus dibalas juga dengan membunuh. Bila yang menyangkut nyawa manusia, kita sudah berpikir dan bertindak seperti itu, maka akan lebih pula dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan nyawa manusia. Kesan sebagai bangsa pemaaf, bangsa berbudaya, bangsa yang ramah nampaknya hanyalah sebuah slogan kosong. Bagaimana mau dibilang ramah, hospitable, sementara terhadap nilai hidup saja kita tidak ramah?

 

Argumentasi bahwa pelaksanaan eksekusi mati merupakan bentuk ketegasan hukum dan kedaulatan bangsa, adalah merupakan bentuk pembenaran dan pembelaan yang infantil, kekanak-kanakan, dan hanya menjadi bahan lelucon bagi bangsa-bangsa beradab. Ketegasan dan kedaulatan hukum negeri kita tidak bisa ditunjukkan dengan hanya menghukum mati warga negara asing. Banyak cara lain yang bisa kita tunjukkan kepada mata rakyat dan dunia bahwa kita adalah bangsa yang tegas dan berdaulat, pemimpin yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Terhadap nilai hidup, bangsa dan pemimpin kita mestinya mampu bersikap luwes, dan tidak perlu merasa malu untuk disebut tidak tegas ketika kita berpihak pada kehidupan. Adalah jauh lebih baik kita disebut tidak tegas karena tidak jadi membunuh orang, daripada menanggung dosa dan rasa bersalah karena membunuh orang (yang belum tentu bersalah).

 

Jokowi benar ketika mengatakan bangsa ini membutuhkan sebuah revolusi mental. Revolusi mental ini tentunya juga termasuk di dalamnya revolusi moral. Moral tahap pra konvensional dan konvensional harus sudah mulai direvolusi pada moral kesadaran. Moralitas yang dikendalikan oleh insting membunuh dan balas dendam, moralitas yang melihat benar salah semata-mata dari aspek yuridis, harus sudah bergerak kepada otonomi moral yang muncul dan lahir dari kesadaran dan refleksi kritis atas nilai-nilai, termasuk nilai yang tertinggi yaitu nilai hidup. Kasus (penundaan) eksekusi mati Mery Jane dan para tersangka narkoba akan menjadi studi kasus untuk menilai komitmen Jokowi dengan revolusi mentalnya itu, dan bagaimanakah mentalitas dan moralitas bangsa Indonesia sesungguhnya. Apakah kita (sudah menjadi) bangsa beradab dan berbudaya, ataukah  (masih) bangsa pemarah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun