Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Indonesia, Jangan Jadi Bangsa Pemarah!

29 April 2015   21:36 Diperbarui: 22 November 2015   20:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Membenarkan pembunuhan yang dilegalkan lewat tangan negara menunjukan jati diri kita sebagai bangsa yang pemarah. Yang selalu membalas setimpal apa yang kita alami. Membunuh harus dibalas juga dengan membunuh. Bila yang menyangkut nyawa manusia, kita sudah berpikir dan bertindak seperti itu, maka akan lebih pula dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan nyawa manusia. Kesan sebagai bangsa pemaaf, bangsa berbudaya, bangsa yang ramah nampaknya hanyalah sebuah slogan kosong. Bagaimana mau dibilang ramah, hospitable, sementara terhadap nilai hidup saja kita tidak ramah?

 

Argumentasi bahwa pelaksanaan eksekusi mati merupakan bentuk ketegasan hukum dan kedaulatan bangsa, adalah merupakan bentuk pembenaran dan pembelaan yang infantil, kekanak-kanakan, dan hanya menjadi bahan lelucon bagi bangsa-bangsa beradab. Ketegasan dan kedaulatan hukum negeri kita tidak bisa ditunjukkan dengan hanya menghukum mati warga negara asing. Banyak cara lain yang bisa kita tunjukkan kepada mata rakyat dan dunia bahwa kita adalah bangsa yang tegas dan berdaulat, pemimpin yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Terhadap nilai hidup, bangsa dan pemimpin kita mestinya mampu bersikap luwes, dan tidak perlu merasa malu untuk disebut tidak tegas ketika kita berpihak pada kehidupan. Adalah jauh lebih baik kita disebut tidak tegas karena tidak jadi membunuh orang, daripada menanggung dosa dan rasa bersalah karena membunuh orang (yang belum tentu bersalah).

 

Jokowi benar ketika mengatakan bangsa ini membutuhkan sebuah revolusi mental. Revolusi mental ini tentunya juga termasuk di dalamnya revolusi moral. Moral tahap pra konvensional dan konvensional harus sudah mulai direvolusi pada moral kesadaran. Moralitas yang dikendalikan oleh insting membunuh dan balas dendam, moralitas yang melihat benar salah semata-mata dari aspek yuridis, harus sudah bergerak kepada otonomi moral yang muncul dan lahir dari kesadaran dan refleksi kritis atas nilai-nilai, termasuk nilai yang tertinggi yaitu nilai hidup. Kasus (penundaan) eksekusi mati Mery Jane dan para tersangka narkoba akan menjadi studi kasus untuk menilai komitmen Jokowi dengan revolusi mentalnya itu, dan bagaimanakah mentalitas dan moralitas bangsa Indonesia sesungguhnya. Apakah kita (sudah menjadi) bangsa beradab dan berbudaya, ataukah  (masih) bangsa pemarah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun