Mohon tunggu...
Sevilla Maharani
Sevilla Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa pariwisata yang suka membahas mengenai kepariwisataan terutama yang terjadi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sejarah yang Hidup: Mengungkap Pesona Ullen Sentalu dan Tur Vorstenlanden

10 Oktober 2024   18:27 Diperbarui: 10 Oktober 2024   18:49 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vorstenlanden, yang berarti wilayah kepangeranan atau negeri berkerajaan. Apa jadinya jika kita berdiri di tengah-tengah sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, serta Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Menilik kembali ke belakang untuk melihat kebesaran budaya Jawa yang telah diabadikan dengan begitu elegan di Museum Ullen Sentalu.

Sudah 2 tahun lebih sejak aku tinggal di Yogyakarta, kota dengan sentuhan budaya di setiap sudutnya. Sudah banyak sekali tempat yang kukunjungi memamerkan kebudayaan Yogyakarta dalam berbagai bentuk yang tidak ada habisnya. Namun, Ullen Sentalu, sebuah museum yang diperbincangkan banyak orang karena keindahannya masih belum sempat aku kunjungi. Kali ini, di kamis pagi yang tenang aku mendapatkan dorongan tiba-tiba untuk datang berkunjung dan melihat apa yang selama ini orang perbincangkan hingga membuat tempat ini spesial.

Pagi itu aku mulai dengan rutinitas sederhana, mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, seolah memberi jeda bagi petualangan yang menanti. Kali ini aku mencoba sebuah hal baru, melakukan perjalanan sendiri agar bisa mendapat sebuah pengalaman perjalanan organik. Bahkan pada kesempatan ini, aku berpakaian berbeda dari biasanya yang lebih kasual. Untuk perjalanan ini aku memilih mengenakan kemeja putih yang ku beri dasi hitam, kulapisi jas semi-formal berwarna hitam juga, serta disempurnakan lagi dengan bawahan berkain hitam bermotif bunga dan aksen merah. Namun ku memilih untuk mengenakan sepatu boots kulit berwarna putih, agar bisa berkeliling dengan nyaman.

Siang menjelang, dengan motor Beat oranye kecilku, aku melaju, membelah jalanan menuju Ullen Sentalu. Jalan mulai menanjak, dan Kaliurang menyambutku dengan udara yang semakin dingin, segar. Pohon-pohon rindang berdiri kokoh di kiri kanan, seperti penanda bahwa aku tengah mendekati tempat yang penuh misteri dan cerita lama. Tanpa perlu penunjuk arah, aku sudah hafal setiap lekuk jalan, seakan mereka telah menyapa berkali-kali dalam perjalananku sebelumnya. Hanya 30 menit, tapi semangat yang kurasakan membuat waktu berlalu begitu cepat. Di kepalaku, berkecamuk pertanyaan tentang apa yang akan aku temukan, pengalaman macam apa yang menunggu di balik tur yang akan segera kuikuti.

Kemudian, papan petunjuk besar muncul, menuntunku masuk ke area museum. Lingkungannya dipenuhi oleh pepohonan tinggi, seolah menyimpan rahasia sejarah di setiap daunnya. Di depan, seorang ibu tersenyum ramah, menarik uang parkir sebesar dua ribu rupiah, seraya mengarahkan aku ke tempat parkir dan loket tiket. Pada gesture hospitalitas kecil itu, sudah kudapat pertanda baik akan perjalananku nantinya.

Setelah memarkir kendaraan di tempat yang teduh, aku melangkah menuju gedung yang tampak menyatu harmonis dengan alam sekitar, dikelilingi pepohonan yang menyejukkan. Di depan, seorang satpam menyambut dengan senyum ramah, mengarahkan pada papan daftar tur yang tersedia. Langkahku ringan saat memasuki gedung, dan sesaat kemudian resepsionis menyapaku. Dengan suara lembut, ia bertanya tur mana yang ingin kuambil. Aku sudah memutuskan sejak awal: Vorstenlanden. Meski tur ini adalah yang paling mahal--berkisar seratus ribu rupiah--gambaran sejarah yang akan ditampilkan terasa begitu memikat.

Transaksi pembayaran pun berjalan cepat dengan QRis, tiket diberikan padaku dan aku diarahkan untuk menuju lantai dua untuk proses check-in. Di sana, seorang perempuan muda menyambutku dengan hangat. Setelah mencatat namaku, asal, dan jumlah peserta, ia memastikan kembali tur yang kupilih. "Datang sendirian?" tanyanya. Aku mengangguk, kemudian ia menjelaskan bahwa setiap kelompok tur akan berisi maksimum dua puluh orang, berarti akan ada orang lain yang bisa berbagi pengalaman bersamaku.

Tur akan dimulai pukul 13.00, masih tersisa 30 menit. Aku diperkenankan menunggu di mana saja, tapi akhirnya aku memilih duduk di kursi-kursi yang tersedia di ruang tunggu. Ruang itu sederhana namun elegan, dengan dominasi warna hitam dan abu-abu, memperkuat nuansa tenang. Di sudut ruangan, dua patung besar Rama dan Shinta berdiri megah, seolah menyaksikan waktu yang berjalan perlahan. Setelah menanti dengan penuh antisipasi, akhirnya rombongan tur Vorstenlanden dipanggil. Tibalah saatnya perjalanan ini dimulai.

Berbeda seperti dari yang kubayangkan, tempat yang didominasi oleh arsitektur gothic Eropa dan dikeliling pepohonan dengan akar gantung yang menjuntai ini tidak terkesan mistis seperti yang kulihat di internet. Sebaliknya, kesan yang kudapat adalah tenang dan adem, tempat yang seakan membawa kita ke dunia yang berbeda, sunyi, jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Bagian pertama tur dimulai dengan perkenalan terhadap pemandu kami, yang di sini disebut sebagai edukator. Seorang perempuan berperawakan kecil namun penuh semangat bernama Mima memimpin kelompok kami yang berisi sekitar sepuluh orang, lebih banyak dari yang kuantisipasi. Sebelum tur dimulai, kami diminta menyimpan gawai, dengan larangan keras untuk mengambil foto selama tur berlangsung. Salah satu peserta bertanya tentang alasan di balik larangan tersebut. Dengan senyum lembut, Mima menjelaskan bahwa beberapa koleksi museum merupakan milik Keraton dan dilindungi hak ciptanya. Namun, ada alasan lain yang tak kalah penting--agar pengunjung bisa benar-benar tenggelam dalam pengalaman ini, fokus pada setiap cerita dan artefak yang dihadirkan, bukan pada layar ponsel mereka.

Setelah penjelasan singkat itu, kami melangkah keluar dari ruang tunggu, memasuki pintu kaca besar di belakang. Di sana, sebuah ruang lapang menyambut kami, dengan replika relief Candi Borobudur yang memukau. Ruang ini dikenal sebagai Pelataran Tawang Turgo, tempat di mana acara-acara seni sering kali dihelat. Atmosfer di ruangan itu penuh keheningan yang anggun, seolah-olah setiap relief dan batu menyimpan kisah panjang yang siap dihidupkan melalui penuturan Mima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun