Mohon tunggu...
Sevia maharani
Sevia maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi saya membaca dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Survival di Lahan Sawah: Strategi Petani Ciwidey di Tengah Dualisme Kebijakan Pertanian

9 Agustus 2024   22:19 Diperbarui: 9 Agustus 2024   22:21 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memajukan sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Kebijakan-kebijakan ini sering kali diterapkan dengan niat baik, namun sayangnya, mereka juga cenderung menciptakan dualisme yang menghasilkan tantangan baru bagi para petani. 

Studi kasus dari kawasan agropolitan Ciwidey menjadi contoh nyata dari bagaimana kebijakan nasional, seperti Agropolitan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), diimplementasikan untuk mempertahankan lahan pertanian sekaligus mendorong diversifikasi ekonomi lokal. 

Meskipun secara teoritis kebijakan-kebijakan ini tampak menjanjikan, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Petani yang memiliki lahan sempit berada dalam situasi yang sulit, di mana mereka harus memilih antara mempertahankan budidaya padi yang kurang menguntungkan atau beralih ke hortikultura yang mungkin lebih menguntungkan tetapi bertentangan dengan prinsip-prinsip LP2B.

  • Dampak Kebijakan pada Alih Fungsi Lahan dan Ancaman bagi Ketahanan Pangan

Salah satu dampak paling mencolok dari kebijakan nasional ini adalah alih fungsi lahan dari pertanian menjadi sektor lain, terutama pariwisata dan hortikultura. Di wilayah Jawa Barat, yang dikenal memiliki risiko konversi lahan tertinggi di Indonesia, kebijakan LP2B seharusnya menjadi penghalang bagi perubahan fungsi lahan sawah yang berkelanjutan.

Namun, kenyataannya, banyak petani terpaksa mengubah pola tanam mereka karena berbagai tekanan ekonomi. Akibatnya, identitas petani sebagai pengelola lahan sawah perlahan-lahan terkikis. 

Banyak dari mereka yang mulai meninggalkan pertanian padi, beralih ke tanaman hortikultura, atau bahkan menjadi buruh tani. Perubahan ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan nasional tetapi juga menghilangkan karakteristik dan warisan budaya pertanian yang telah lama ada di wilayah tersebut.

  • Kapitalisasi Lahan dan Dampak Akumulasi Primitif

Kebijakan agropolitan, yang pada awalnya dimaksudkan untuk membuka peluang investasi dan mengembangkan ekonomi wilayah, juga memiliki sisi gelap yang tidak bisa diabaikan. Fenomena kapitalisasi dan akumulasi primitif menjadi ancaman besar bagi para petani kecil. Ketika modal besar masuk ke wilayah pedesaan, banyak petani yang akhirnya kehilangan lahan mereka karena tidak mampu bersaing atau bertahan di bawah tekanan ekonomi yang semakin berat. 

Petani yang tadinya merupakan pemilik dan pengelola lahan, kini hanya menjadi pekerja di lahan yang sebelumnya mereka miliki. Kondisi ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar dan mengakibatkan hilangnya kendali petani atas sumber daya yang mereka miliki, yang pada akhirnya memengaruhi kesejahteraan mereka secara signifikan.

  • Ketidaksesuaian Antara Tujuan Kebijakan dan Realitas di Lapangan

Meskipun kebijakan nasional bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hasil yang berbeda. Petani yang tetap berpegang pada budidaya padi sering kali mendapati bahwa pendapatan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka. 

Sementara itu, mereka yang memilih untuk beralih ke hortikultura dihadapkan pada tantangan baru seperti ketidakstabilan harga pasar dan risiko kehilangan hak atas lahan mereka. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan kondisi spesifik dan kebutuhan lokal hanya akan memperburuk situasi ini. Sebagai contoh, kebijakan LP2B yang bertujuan untuk melindungi lahan sawah dari alih fungsi tidak mampu menghadapi tekanan ekonomi yang memaksa petani untuk mencari alternatif lain demi kelangsungan hidup mereka.

  • Dinamika Sosial-Ekonomi yang Terlupakan dalam Perumusan Kebijakan

Dalam perumusan kebijakan, pemerintah sering kali lebih fokus pada aspek teknis, seperti pengendalian alih fungsi lahan dan peningkatan produktivitas, namun mengabaikan dinamika sosial-ekonomi yang sangat penting. Petani tidak hanya memerlukan regulasi yang melindungi lahan mereka, tetapi juga dukungan dalam bentuk akses terhadap teknologi pertanian yang modern, pasar yang adil, dan perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan lahan. 

Tanpa dukungan ini, kebijakan yang ada hanya akan menjadi peraturan di atas kertas tanpa implementasi yang efektif di lapangan. Selain itu, kebijakan-kebijakan tersebut juga harus mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan lingkungan, mengingat bahwa pertanian bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal kelangsungan hidup komunitas dan ekosistem.

  • Kesenjangan Antara Kebijakan dan Kesejahteraan Petani

Kebijakan yang diterapkan di tingkat nasional sering kali tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, dan ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara tujuan kebijakan dan kesejahteraan petani. Meskipun ada upaya untuk memberikan subsidi atau bantuan lainnya kepada petani, hal ini sering kali tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang terus meningkat atau untuk mengatasi ketidakpastian pasar. 

Selain itu, tekanan dari kapitalisasi dan akumulasi primitif membuat petani semakin terpinggirkan. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan kebijakan yang lebih inklusif dan adaptif, yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi tetapi juga pada pemberdayaan petani sebagai aktor utama dalam sistem pertanian.

  • Rekomendasi Kebijakan: Menuju Pertanian yang Berkelanjutan dan Inklusif

Untuk mengatasi masalah-masalah ini, diperlukan perumusan kebijakan yang lebih holistik dan komprehensif. Pemerintah harus menciptakan kebijakan yang tidak hanya melindungi lahan pertanian tetapi juga memperkuat posisi tawar petani di pasar. Salah satu rekomendasi yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan program pelatihan dan edukasi yang fokus pada praktik pertanian berkelanjutan, yang dapat meningkatkan nilai tambah produk pertanian tanpa harus mengorbankan lahan sawah. 

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat sistem distribusi dan pemasaran yang mendukung petani kecil agar mereka dapat bersaing secara adil di pasar. Penting juga untuk memperhatikan hak-hak petani atas tanah, memastikan bahwa mereka memiliki akses yang adil terhadap sumber daya yang mereka perlukan untuk bertani.

Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor pertanian, namun potensi ini hanya dapat terealisasi jika kebijakan nasional benar-benar selaras dengan kebutuhan dan kondisi lokal petani. Kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan akan membawa lebih banyak masalah daripada solusi. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan harus diadopsi untuk memastikan bahwa petani tidak hanya menjadi objek dari kebijakan, tetapi juga subjek yang memiliki suara dalam perumusan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hanya dengan demikian, kesejahteraan petani dapat tercapai dan ketahanan pangan nasional dapat terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun