Mohon tunggu...
Sevanda Galuh Permana
Sevanda Galuh Permana Mohon Tunggu... Jurnalis - Cendekiawan Muslim

Belajarlah Menerima Gagasan Orang Lain, Karena Sejatinya Engkau Terlahir dengan Merdeka dan Tanpa Dominasi. (Sevanda G.P, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mereka yang Disebut "Kaum Intelektual"?

23 Maret 2021   02:26 Diperbarui: 23 Maret 2021   02:56 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Para kaum terpelajar yang sudah tamat studinya dalam tahun yang sudah dan sekarang akan kembali ke lingkup asalnya (masyarakat), sedikit banyak memiliki cerita dan kenangan indah terhadap upaya dan perjuangan selama di bangku kuliah.

Dunia yang penuh kebesaran dan keagungan, tinggalah gelagatnya sendiri perlahan mulai menghilang, kembali ke dalam dunia penghidupan sehari-hari dengan pandangan yang jauh berbeda dengan sebelumnya. 

Alam persiapan selama mengemban gelar "mahasiswa" ditinggalkan, alam bertugas mulai dimasuki. Diantara hal indah selama 5 tahun berakademisi, seakan lenyap didalam jiwa untuk selama-lamanya.

Wadah latihan bertanggungjawab yang dialami dengan bersusah payah. Asam, manis, pahitnya berjuang, memang dengan bersusah payah hidup akan menjadi lebih indah.

Tibalah saatnya, latihan bertanggungjawab sudah berlalu. Kini saatnya melaksanakan tanggungjawab itu kepada masyarakat di kehidupan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, kenangkanlah apa-apa yang pernah terjadi.

Dimana gelar yang diraih, ialah mencitrakan bentuk pengharapan bangsa kepada puteranya yang telah sarjana. Kepadanya diharapkan, sepanjang nafas berhembus, kedepan akan menjadi pemimpin di dalam lingkup masyarakat yang butuh pengayoman akan sosok yang berpengetahuan.

Sosok itu adalah pemimpin yang syarat akan moralitas dan intelektualitas.

Dalam memulai tanggungjawabnya, menghadapi kehidupan kondisi kampung, berbagai jenis usaha dalam perjuangan hidup telah dilakukan guna mencapai penghidupan yang lebih sejahtera dengan dikerjakan bersama-sama.

Masyarakat yang terbagi kedalam berbagai macam kelompok besar dan kecil, selama ini berusaha dalam pembagian pekerjaan yang semuanya itu perlu akan pimpinan.

Jika tidak ada sosok resi atau pujangga, pimpinan akan diserahkan pada mereka yang saat ini berkuasa dengan cara yang biasa saja. Dalam hal ini, seorang pimpinan mesti ada !

Dalam masyarakat kampung yang terkesan sinisme menuju pragamatisme, tenaga ahli untuk memimpin suatu generasi dirasa kurang sekali.

Masyarakat yang penuh keterbelakangan dalam segala rupa, mereka yang memegang tongkat jabatan tidak semestinya berada disana karena banyak sekali tumpang tindih pijakan.

Meski ditopang dengan banyak tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, namun hasilnya jauh dari kata memuaskan.

Banyak pimpinan yang dikerjakan di desa tidak atau kurang disertai dengan yang namanya tanggungjawab. Alhasil, ketidakberdayaan dan kemelaratan masih menjadi tema pokok yang harus diselesaikan.

Dalam segala hal ini, kaum intelegensia yang digadang-gadang mampu membawa perubahan tidak boleh pasif. Menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menjabat dan memimpin masyarakat adalah suatu kesalahan besar.

Sebagai bagian dari masyarakat, dengan hak dan kewajiban yang sama. Ia harus ikut serta bertanggungjawab terhadap perbaikan nasib bangsa.

Sebagai orang yang terpelajar, yang tahu menimbang baik buruknya suatu kebijakan. Yang dapat menguji mana benar dan salah berdasarkan pendapat yang beralasan, ia memiliki tanggungjawab atas dua hal, yakni secara intelektual dan moral.

Intelektual karena mereka dianggap golongan yang mengetahui. Moral karena masalah yang terjadi mengenai keselamatan masyarakat sekarang, dan kemudian.

Ia tidak boleh mengelak dari tanggungjawab, dengan kata kiasan hanya sebagai bagian kecil di lingkup masyarakat dan tak mampu menundukkan golongan yang lebih besar (penguasa).

Mereka yang dinyatakan purna menempa ilmu di bangku perkuliahan, menjadi harapan besar bagi masyarakat. Tujuan pendidikan sejatinya, agar kelompok pemikir ini bisa meringankan beban sosial.

Namun bila sebaliknya, sekembalinya justru malah menjadi ningrat dan tidak mau berbaur dengan orang kampung yang hanya membawa cangkul dan memiliki cita-cita sederhana, "maka lebih baik pendidikan itu tidak pernah diberikan sama sekali".

Terkungkungnya para intelektuil di masyarakat, justru meniscayakan adanya nilai kemanusiaan yang sedang dilanggar. Berbekal pengetahuan yang diemban, keberadaannya justru tidak mengimplikasikan kemaslahatan.

Padahal bila diamati, kondisi di kampung sangat mengkhawatirkan. Jauh dari kata makmur, damai dan sejahtera dalam arti seluas-luasnya terlepas dari kemelaratan.

Masyarakat semakin hari semakin tak berdaya hidupnya. Berbagai masalah kekurangan konsumsi karena persediaan dan pembagian yang kurang teratur, distribusi bantuan yang tidak berjalan sebagaimana fungsinya, upah pekerja yang semakin rendah nilai pendapatannya, serta pertanian yang selama ini tidak berujung mendapat bantuan.

Semuanya itu adalah masalah yang pemecahannya mengatasi kesanggupan dari sumbangan pendapat dan petunjuk arah dari kaum intelegensia.

Bertahun-tahun masyarakat kampung digoda oleh berbagai macam penyakit, kesehatan masyarakat yang jauh dari kata terpelihara akibat besarnya biaya pengobatan. Jauh dari pelosok ibu kota negara, kadang masih banyak dijumpai ketiadaan klinik di perkampungan.

Para lulusan sarjana kedokteran yang lebih senang hidup di kota ketimbang desa, apakah keadaan seperti ini sesuai dengan rasa tanggungjawab pemuda dokter yang dalam uratnya mengalir darah patriot?

Di bidang lain, para kaum intelegensia yang dihadapkan dengan peristiwa menyolok mata itu, rasa tanggung jawab terhadap bangsanya sendiri dirasa kurang sekali adanya.

Semua itu tentu ada penyebabnya. Hal yang harus diselesaikan, penyelesaiannya tidak serta merta harus tunduk dan pasrah kepada para pemangku kebijakan untuk mendidik para teknokrat, ekonom, dokter tetapi juga pada perasaan tanggungjawab moral kaum intelegensia untuk terjun melenyapkan permasalahan yang berangsur-angsur timbul.

Gejala-gejala yang meracuni jiwa pemuda dan pelajar, yang biasa disebut dengan proses demoralisasi, tidak boleh lenyap dalam pandangan visioner kaum intelegensia. Gejala ini mengancam keberlanjutan peradaban, arus globalisasi yang tanpa batas, sedikit banyak mempengaruhi pola pikir dan adab sopan santun yang berlangsung.

Di hari-hari yang akan datang, hal yang tidak disadari ini akan mempengaruhi perilaku manusia sekarang. Mereka yang dikatakan sebagai bibit di masa depan, harus dicarikan cara untuk memperbaiki yang rusak sebagai jaminan pertumbuhan masyarakat nantinya.

Kewajiban manusia sekaranglah, untuk menyerahkan tanah pusaka bangsa ini kepada generasi yang akan datang dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya sebagai peninggalan generasi yang lalu.

Oleh karena itu, berdiam dirinya melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat berarti telag menghianati dasar kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pedoman hidup bagi kaum intelegensia.

Tugasnya yang tidak ringan, masalah-masalah yang harus dipecahkan tidaklah sedikit, menghadapi pergolakan bangsa yang setiap detik terjadi, maka satu-satunya cara adalah mencarikan cara yang efektif, yang dapat ditanggung bersama adalah suatu tugas yang maha penting.

Sebagai kesimpulan, semoga tulisan sederhana ini, menjadi refleksi bagi kaum muda Indonesia sekarang.

Yakni, dimanapun ia berada, baik di dalam atau di luar pimpinan, ia tidak akan terlepas dari tanggungjawab itu. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, ia harus berani menegur dan menentang perbuatan yang salah, dengan menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.

Terakhir, dimanapun ia berada, maka jangan lupakan nilai kebenaran dan nilai kemanusiaan. Renungkanlah...

"Nuun Walqalami Wamaa Yasthuruun”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun