Dwi Setyowati, No. 72
Sore itu pertengahan bulan di musim kemarau, hutan Sulamaya tampil begitu menakjubkan. Seperti kerajaan modern dengan pantulan lampu hias yang remang-remang, hutan seluas 5 juta hektar itu gemerlapan cahaya senja. Cahaya senja ini pulalah yang selalu mendatangkan kebahagiaan tersendiri bagi penghuninya, Caca, anak orang utan yang sekarang berusia 3,5 tahun.
“Mama, matahari hampir tenggelam, berarti Caca boleh beristirahat ya?” pintanya dengan nafas naik turun.
“Caca, langit belum betul-betul gelap, sekarang kamu berlatih melompat lebih cepat lagi dalam keadaan remang-remang!”
“Mama…” Suara Caca melemah.
Caca melompat lagi. Bergelayut dari cabang ke cabang. Pohon ke pohon. Sementara sudut-sudut matanya makin sembab. Sesekali mulutnya meringis, merasai kuku tangannya hampir lepas akibat terlalu keras tergesek kayu pohon. Saat Caca mau berhenti, mamanya menyuruh terus.
“Mama, matahari telah tenggelam.”
“Tapi purnama juga hadir!”
Caca mengangguk dengan rintihan yang hanya terdengar oleh telinganya. Sementara di ujung sana, di batang pohon yang rindang dua temannya sedang bercengkrama dengan kerabat. Caca tak peduli. Ia terus menggapai ranting-ranting hingga akhirnya terhenti juga. Tubuhnya sudah telentang diatas tanah gambut. Tenaganya purna.
“Ca, bangun ca,”
Mulut mungil Caca terkatup. Matanya setengah terpejam. Tubuh mungilnya kini sudah dalam rengkuhan betina yang mengandung dan melahirkannya. Betina yang selalu mencarikan buah-buahan dan daun-daunan terbaik untuknya.