Mohon tunggu...
Dwi Setyowati
Dwi Setyowati Mohon Tunggu... -

Bersyukur itu bukan membatasi diri, melainkan berterimakasih pada Tuhan dengan mengoptimalkan segala potensi. Mari bersyukur...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kode Etik Pengemis

23 Oktober 2015   20:02 Diperbarui: 23 Oktober 2015   20:06 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi sebagian orang ternyata mengemis bukan lagi hal yang memalukan. Tidak lagi dirasa sebagai aib sosial. Kok bisa? Ya begitulah. Anehnya, bahkan mengemis dijadikan sebagai profesi strategis. Bagaimana tidak strategis “pekerjaan” tanpa berbekal modal (kecuali rantang dan properti lain seperti tongkat) bisa meraup rupiah sebesar atau melebihi gaji pegawai negeri. Berminat?? Aiiih… Jangan dong…nanti kalau semua berbondong-bondong jadi pengemis ter-ciderai-lah cita-cita bangsa ini sebagai bangsa yang berdaulat. Soekarno-Hatta dan pejuang kemerdekaan RI lainnya bisa menangis pilu kalau tau bangsanya menjadi bangsa peminta-minta.

Terlepas dari pembahasan soal maraknya “pekerjaan” mengemis, prilaku sosial, tata aturan perundang-undangan mengemis, tanggungjawab negara, atau solusi kemiskinan, kali ini Saya ingin fokus menyoroti soal etika dalam dunia per-ngemis-an.

Akhir-akhir ini beberapa orang teman-termasuk Saya sendiri-merasa kurang nyaman dengan perlakuan beberapa oknum pengemis. Sebabnya, ternyata bukan hanya lapisan sosial atas yang mengalami degradasi moral, lapisan paling bawah pun (red.pengemis) juga mengalami dekadensi yang cukup bisa dirasakan. Luar biasa. Jaman sekarang bukan hanya penguasa yang punya nyali mengintervensi. Bayangkan, pengemis pun sudah mampu memberikan tekanan pada calon-calon pendermanya.

Suatu hari Saya pernah dibentak-bentak pengemis, dipepet-pepet dengan tangan menengadah di pusat keramaian, dicolek-colek, ditongkrongin terus walau sudah mengatakan tidak. Lha ini bagaimana tow? Mau ngemis atau mau malak?

Dari semua metode mengemis yang pernah Saya lihat, yang paling menyedihkan adalah mengemis dengan membawa media anak kecil. Anak kecil yang seharusnya tumbuh dengan pendidikan dan kasih sayang orang tua malah dijadikan pancingan untuk menarik belas kasihan penderma. Miris… Membunuh mental anak sama dengan membunuh masa depannya.

Dari berbagai permasalahan moral yang melanda kaum pengemis tersebut maka sepertinya perlu diterbitkan kode etik pengemis. Demi kenyamanan dan ketertiban sosial. Demi saling menghargai profesi. Demi hubungan yang lebih baik. Demi budaya yang lebih manusiawi. Halah…

Kode Etik Pengemis:

1. Mengemis hendaknya menggunakan bahasa eksplisit tapi santun
Penggunaan bahasa eksplisit berlaku bagi pengemis aktif. Pengemis aktif itu pengemis yang muter-muter, yang memburu penderma. Contohnya pengemis yang mendatangi rumah-rumah, pengemis yang memasuki angkutan umum, mengelilingi alun-alun kota atau terminal.

Pernah gak disaat Anda sedang duduk di tempat public tiba-tiba didatangi orang dengan bahasa isyarat tidak jelas? Anda lama memandangi orang tersebut, berusaha keras mencerna apa maksudnya, eh ternyata beberapa detik kemudian Anda baru paham bahwa dia sedang mengemis. Eng ing eng… Atau ada pengemis yang muter-muter menjelaskan latar belakangnya, kita pikir dia adalah sales yang mau menawarkan produk, eh gak taunya orang minta duit. So, bagi pengemis gunakanlah bahasa yang jelas, gambling dan sistematis biar bisa langsung ditangkap penerima pesan.

2. Cari Posisi yang aman ketika beroperasi (Aman buat pengemis, aman buat penderma)
Mencari posisi yang aman ini ditujukan untuk pengemis pasif. Kalau pengemis aktif tadi adalah pengemis yang agresif muter-muter, maka pengemis pasif adalah pengemis yang kerjanya diam di tempat. Contohnya pengemis yang gelar lapak di pinggir jalan, dia duduk sambil menunggu penderma lewat. Atau pengemis yang bersandar di tempat pembayaran karcis parkir (memprospek receh dari kembalian yang diterima pengendara). Please.., wahai pengemis pasif, jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain dengan menghalangi jalan seperti itu ya.. Nanti urusannya bisa panjang. Maka kalau ingin mangkal di suatu tempat carilah tempat yang aman.

3. Mengemis dengan merendahkan suara
Jadi pengemis tak boleh sombong apalagi semena-mena. Bersuara keras apalagi membentak calon penderma bukanlah perbuatan mulia. Semisal target tidak memberikan uang, tak perlu lah mengumpat atau mencaci maki. Tetaplah tersenyum menerima penolakan. Karena bisa jadi orang tersebut memang tidak punya uang. Hanya saja Ia diam, menghindar untuk meminta-minta.

4. Berbadan dan berpakaian bersih
Ya pengemis memang mencitrakan diri sebagai orang yang tidak punya, compang-camping, semrawut. (Pengalaman dipepet peminta-minta yang borokan, bau amis dan baju lusuh yang kecut membuat seisi perut mau keluar). Apa salahnya sih jadi pengemis yang bersih? Silahkan dekil, silahkan lusuh, tapi tetaplah bersih!

5. Sekali ditolak lebih baik mundur
Kalau sudah ditolak janganlah terus-terusan memaksa. Mengemis itu beda lho ya dengan nembak cewek. Kalau ditolak cewek boleh lah maju terus pantang mundur..ehmm,, Tapi kalau ditolak penderma sebaiknya segera mundur.

6. Atur Jadwal, untuk pengemis aktif jangan terlalu sering beroperasi di satu komplek
Semisal mengemis dengan cara berkeliling, mbokyao jangan terlalu sering muter-muter di tempat itu-itu aja. Diatur aja ritmenya. Jagalah psikologi penderma biar tidak bosan atau uring2an didatangi pengemis yang sama setiap hari?

7. Mengucapkan Terimakasih-baik dikasih ataupun tidak dikasih
Rejeki itu sudah ada yang ngatur. Dikasih ya syukur, tidak dikasih ya sabar. Berterimakasih adalah cara terbaik untuk menghibur diri sendiri dan orang lain. Penting itu. Tapi kalo gak dikasih yo terimakasihnya jangan sambil ketus yaa…

Demikianlah kode etik pengemis. Kode etik ini bukan untuk mendukung budaya mengemis di Indonesia. Artinya, jika memang terpaksa mengemis, mengemislah dengan santun, menjaga ketertiban bersama. (Tapi tetap sebagai manusia yang paling utama adalah  menggunakan potensi yang dimiliki sekecil apa pun untuk bekerja, berkarya!).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun