Hasrat untuk meng"hidup"kan kembali sang anak, berubah menjadi aktifitas substitusi alias kegiatan pengganti. Dia mencari kesibukan positif di rumah atau bahkan mencari pekerjaan baru di luar rumah.Â
Jika beruntung, dia melahirkan anak lagi (yang baru). Kejadian itu akan jadi pelajaran sangat berharga untuk tidak meninggalkan anak sendiri di tempat yang berbahaya.Â
Denial terhadap kesuksesan orang
Contoh lainnya, saat melihat seorang teman lebih sukses dari kita. Dan kita menyesal dengan langkah yang diambil selama ini dalam perjalanan hidup kita. Teman sebaya SMA kita ada yang menjadi dewan direksi sebuah Perusahaan Swasta terkenal, sebutlah PT. A, sedangkan kita masih menjadi karyawan di perusahaan orang. Dengan gaji dan rutinitas yang itu-itu saja.
Jadi sikap negatif kita untuk menyangkal pasti muncul duluan, yang bilang dia masuk perusahaan nyogok lah, yang bilang dia main dukun atau paranormal, yang bilang ke sana karena titipan orang tua nya dan macam-macam tanpa memperdulikan dia orang berprestasi dalam kerja nya atau tidak. Â Sebenarnya itu sikap yang wajar karena manusia yang normal harus punya rasa iri, tentunya untuk motivasi bukan untuk menjatuhkan seseorang.Â
Jika motivasi itu berhasil: kita bekerja lebih tekun di perusahaan yang sekarang, jujur dan loyal dengan atasan. Menciptakan hal-hal baru, bukan tidak mungkin kita memiliki peluang untuk menduduki jabatan lebih baik.Â
Namun jika sikap denial kita besar-besarkan kita shock akan kesuksesan orang lain tanpa mau mengambil pelajaran darinya, sakit hati kita semakin terpuruk kita jauh daripada teman yang makin maju.Â
--
Jadi untuk menyingkapi masa lalu yang buruk, kita tidak perlu menyangkal terlalu lama (denial). Lakukanlah kegiatan pengganti yang positif untuk menghapusnya, kita tidak bisa mengubah masa lalu setidaknya bisa buat bahan pelajaran saat kita melangkah ke masa depan. Seperti pepatah yang bilang:Â
"jangan jatuh di lubang yang sama dua kali".
(Sac)