Dalam ranah fisika, sampai saat belum ada manusia yang bisa memasuki masa lalu. Alih-alih menemukan mesin waktu, manusia terus menulis sejarah masa lalu, yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan saat itu, lalu diceritakan berulang bahkan ada yang diajarkan turun-temurun.
Seperti apa yang pernah saya tulis sebelumnya tentang Teori Dunia Tanpa Waktu, teori keblinger dari beberapa ahli. Bahwa masa lalu itu tidak ada, itu ciptakan oleh otak manusia yang berisi kenangan alias memori.
Kalau kita diberi kemampuan untuk mengubah masa lalu, emang apa yang mau kamu ubah untuk memperbaiki kesalahan mu?Â
Cara mengubah masa lalu
Ibu muda bernama Bunga, punya kesalahan meninggalkan anaknya sendiri di rumah sedangkan dia berbelanja di depan, si anak asik bermain air di bak mandi hingga tenggelam. Bunga sangat terpukul, suami dan orang tuanya menyalahkan kelalaiannya.Â
Segala cara Bunga lakukan untuk menghapus kesedihan nya, melihat rekaman video dan foto anaknya. Sampai terpikir olehnya untuk memutar balik waktu supaya anaknya tidak mati mengenaskan dalam bak mandi.
Tentunya kata-kata memutarbalikkan waktu ini hanya metafora, suatu hal yang tak mungkin terjadi namun bisa dilakukan dengan tindakan yang setara alias bisa menggantikannya (dalam bahasa pelajar = substitusi).Â
Tindakan ini bisa berbentuk hal yang positif atau negatif, yang penting menurut Bunga bisa mengobati rasa bersalahnya dan membuat anaknya "hidup" kembali, meskipun bukan hidup secara nyata seperti bangkit dari kematiannya.Â
Teori ini terkesan halu dan tidak masuk akal. Tapi semua yang kita lakukan untuk menolak hal (buruk) yang sudah terjadi, adalah respon jiwa yang normal. Yang dikenal sebagai denial (sikap menyangkal) yang juga dikenal merupakan pertahanan diri terhadap kenyataan yang pahit.Â
Sikap penyangkalan ini bisa paling ringan sampai berat, bisa sebentar juga bisa lama bahkan berhari-hari, kadang berbulan-bulan tergantung kejiwaan seseorang.Â
Pada kasus Bunga, sikapnya yang bisa kita anggap denial, contohnya menjerit histeris sambil menciumi jenazah anaknya, menolak ikut pemakamannya karena menganggap anaknya masih hidup, dia merasa masih melihat anaknya bermain di dalam rumah. Sering menunggu di depan rumah sambil berkata pada suaminya, ke mana anaknya kok bermain diluar tidak pulang-pulang, atau menciumi baju dan mainan anaknya. Dengan berjalannya waktu sikap denial lama-kelamaan akan pudar, dan dia akan mulai menerima keadaan.Â