Pendahuluan
Di era media sosial, membangun citra dalam politik telah muncul sebagai komponen penting dalam penyajian strategi politik. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok memungkinkan politisi untuk terlibat langsung dengan publik. Metode ini memungkinkan mereka untuk menumbuhkan citra diri yang kuat dan membentuk persepsi publik dengan cara yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Media sosial menyediakan pendekatan yang lebih personal dan menarik untuk berbagi informasi. Media sosial memungkinkan politisi untuk dengan cepat menjangkau berbagai audiens dalam jangka waktu yang relatif singkat. Dengan memanfaatkan kekuatan konten yang memikat seperti video, gambar, dan teks, mereka menyusun narasi yang meningkatkan reputasi internasional mereka yang baik. Selain sekadar mengelola hubungan masyarakat, politisi juga dapat dengan cepat menanggapi kritik politik atau melawan serangan lawan mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk secara efektif mempertahankan atau memperbaiki citra publik mereka. Sifat interaktif media sosial menciptakan rasa bersemangat, membuat pengguna merasa lebih terhubung dengan tokoh politik mereka. Mereka dapat berkomentar, mengajukan pertanyaan, atau berbagi pandangan mereka, yang berkontribusi pada pengalaman komunikasi yang lebih dinamis dan hidup.
Politik dalam pengertian modern tampaknya telah mengalami kemajuan pesat, dan hal ini dicapai melalui peningkatan partisipasi warga negara dalam masyarakat dan peradaban serta perdebatan politik  antara semua pemangku kepentingan. Terlebih lagi, dalam dunia maya yang kompetitif, kesuksesan seorang politisi akan selalu bergantung pada keterampilan media sosial yang mereka peroleh untuk menampilkan dan memperkuat merek politik mereka. Hal ini menimbulkan banyak tantangan dan risiko terhadap ekspresi politik di platform media sosial. Hal ini karena jika politik dan kapitalisme diungkapkan dalam asumsi modal sosial yang dijelaskan oleh Pak Sakharov dalam ``Bahaya'', dampak polarisasi politik kapitalisme kompetitif pasti akan terjadi. Hidup berdampingan dengan ketidakseimbangan kekuatan yang dramatis antara kapitalisme dan politik atau demokrasi.
Sayangnya, salah satu dampak yang paling nyata dan belum dimanfaatkan ketika kita berbicara tentang polarisasi politik adalah fenomena "peer echo". Hal ini menggeser persepsi masyarakat ke utara dan ke selatan berdasarkan tingkat dukungan mereka dalam mendukung seorang kandidat atau mempromosikan suatu ide. Kasus-kasus seperti ini seringkali menjadi penyebab utama terpisahnya seseorang dari masyarakat. Cukuplah dikatakan bahwa polarisasi politik mempunyai banyak dampak  sosial, yaitu berupa penjarakan sosial, termasuk menghindari orang-orang yang mempunyai ideologi berlawanan. Namun fakta bahwa mereka tidak mematuhi peraturan tersebut tidak hanya menimbulkan pemikiran baru yang meresahkan di hadapan masyarakat yang sangat tidak puas, tetapi juga mempersulit seseorang  untuk bersikap sopan dalam berdialog dengan lawannya akan menjadi lebih buruk.
Pembatasan seperti ini dapat menyebabkan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan pandangan. Selain itu, media sosial  telah menjadi tempat penyebaran informasi yang salah dan gelembung  informasi yang menyesatkan. Banyak orang menerima informasi begitu saja tanpa memeriksa sumbernya, sehingga dapat mengakibatkan keputusan yang buruk. Misinformasi semacam ini tidak hanya berdampak pada individu, namun juga melemahkan fondasi demokrasi. Pemilih yang terpengaruh oleh misinformasi dapat mengambil keputusan yang tidak didasarkan pada informasi yang akurat, sehingga dapat mengubah hasil pemilu.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para politisi untuk menggunakan media sosial secara bijak dalam situasi ini. Kita perlu menyadari sepenuhnya  kekuatan yang dimiliki media ini di zaman sekarang ini. Kesadaran yang lebih besar terhadap potensi risiko ini dapat membantu menciptakan iklim politik yang lebih baik. Pemilih lebih cenderung menanggapi politisi yang bisa menyampaikan pesannya dengan  lebih ringkas dan dapat diandalkan.
Pembahasan
Politik saat ini, di era media sosial, sangat membutuhkan perubahan citra. Saat ini, para politisi dan partai politik semakin berupaya menggunakan strategi tersebut untuk menciptakan citra yang baik guna meraih dukungan masyarakat. Kehadiran media sosial seperti Instagram, Twitter, dan TikTok  memungkinkan  untuk menjangkau lebih banyak orang dengan lebih cepat. Media sosial memungkinkan politisi untuk terlibat langsung  dengan masyarakat dan menyampaikan pesan mereka secara lebih efektif.
Di era media sosial, pencitraan dalam politik sudah menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan. Media sosial, dengan jangkauan global dan kemampuannya untuk menyebarkan informasi secara instan, telah mengubah cara politisi berinteraksi dengan pemilih dan membangun citra mereka di mata publik. Dalam situasi ini, video tidak lagi sekedar alat komunikasi, namun menjadi strategi terpenting untuk merebut hati massa.
Aspek penting dari pencitraan politik di media sosial adalah penggunaan konten yang menarik dan mudah dipahami. Politisi kini semakin banyak menggunakan video pendek, meme, dan infografis untuk menyampaikan pesan mereka. Konten ini tidak hanya menyita perhatian, tapi juga membantu pemilih  memahami permasalahan yang kompleks. Misalnya, kampanye yang sukses sering kali menggunakan platform seperti TikTok dan Instagram untuk menjangkau generasi muda dengan cara yang lebih relevan dan menarik. Secara keseluruhan, branding dalam politik di era media sosial merupakan proses yang dinamis dan kompleks. Politisi harus mampu cepat beradaptasi dengan  perubahan tren dan perilaku masyarakat agar tetap relevan dan kredibel. Dengan memahami dinamika ini, politisi dapat menggunakan media sosial sebagai alat yang ampuh untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan pemilih.
Di sisi lain, media sosial juga menjadi wadah penyebaran informasi palsu yang dapat merusak reputasi politisi. Berita palsu dan kampanye kebencian sering kali menyebar secara viral dan dapat berdampak signifikan terhadap persepsi masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi politisi untuk tidak hanya fokus pada citra positif, tetapi juga aktif melawan disinformasi yang dapat merugikan mereka.
Secara keseluruhan, pencitraan dalam politik di era media sosial merupakan proses yang dinamis dan kompleks. Politisi harus mampu cepat beradaptasi dengan  perubahan tren dan perilaku masyarakat agar tetap relevan dan kredibel. Dengan memahami dinamika ini, politisi dapat menggunakan media sosial sebagai alat yang ampuh untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan pemilih. Selain itu, partisipasi aktif dalam dialog publik melalui media sosial dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sehingga memperkuat legitimasi  di mata publik.
Strategi yang sangat terkenal adalah "ride the wave" (Saraswati, 2018). Di sinilah para politisi memanfaatkan topik hangat dan mengeksploitasinya. Saat ini, segala macam isu dan peristiwa sedang diawasi dengan ketat oleh banyak orang, dan politisi juga berperan dalam menarik  satu sisi penonton. Agar terlihat relevan, mereka melakukan strategi-strategi tersebut sambil meningkatkan visibilitas mereka di mata publik.
Penggunaan foto, gambar, video, dan  konten media sosial kreatif lainnya meningkatkan fiksi berdensitas rendah. Politisi dapat menunjukkan sisi kemanusiaannya dan  berkomunikasi dengan cara yang lebih bersahabat. Strategi ini memungkinkan adanya ikatan yang lebih erat antara politisi dan pemilih. Keberhasilan penerapan strategi pencitraan sering kali menghasilkan dukungan publik yang lebih besar.
Kecepatan media sosial juga berarti bahwa pernyataan atau tindakan politik apa pun dapat langsung menjadi viral. Reaksi di platform sosial langsung terlihat dan memberikan informasi berharga bagi politik. Oleh karena itu, penggunaan media sosial untuk pencitraan telah menjadi alat yang sangat strategis untuk mencapai tujuan politik saat ini.
Selain itu, platform media sosial sering digunakan untuk menyebarkan berita palsu dan misinformasi, yang dapat berdampak negatif terhadap persepsi publik dan kualitas demokrasi. Agar citra politik dapat ditampilkan secara maksimal di media sosial, politisi dan partai politik harus berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
Transparansi dan akuntabilitas  harus diutamakan dan integritas demokrasi kita harus dijaga. Pendidikan kewarganegaraan dan literasi digital bisa sangat membantu dalam memilih fakta dan politisi yang tepat. Memberikan pencerahan politik di media sosial bisa sangat bermanfaat  bagi partisipasi politik, kesadaran publik, dan bahkan kekuatan demokrasi, asalkan digunakan secara hati-hati untuk menghindari hal-hal yang berpotensi merugikan.
Kesimpulan
Ekspresi dalam politik telah menjadi elemen penting dalam cara para politisi berkomunikasi di era media sosial saat ini. Dengan memanfaatkan berbagai platform digital, Â politisi dapat membangun citra diri yang kuat. Mereka bisa menunjukkan karakter dan nilai-nilai yang dipromosikan melalui konten yang menarik. Misalnya, Anda dapat menggunakan video, gambar, dan teks untuk menyampaikan informasi dengan cara yang lebih mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat umum.
Kehadiran media sosial juga memberikan peluang bagi politisi untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Sifat interaktif  platform ini memastikan komunikasi saling menguntungkan (Rosmini et al., 2024). Pengikut dapat mengirim komentar, pertanyaan, dan umpan balik.
Meskipun demikian, penyebaran informasi yang salah adalah masalah yang serius. Media sosial memudahkan dalam mengakses informasi, namun tidak semua informasi akurat. Informasi yang salah dan rumor biasanya menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Hal ini dapat mempengaruhi opini masyarakat dan membingungkan opini publik. Meskipun pemrosesan gambar menawarkan banyak peluang, tantangan yang ditimbulkannya juga harus diatasi dengan hati-hati.
Politisi juga perlu lebih cerdas dalam menggunakan media sosial. Yang terpenting, mereka harus memperhatikan  transparansi dan akuntabilitas, dan siap melaporkan rencana mereka secara rinci. Langkah-langkah ini juga  membantu membangun tingkat kepercayaan yang tepat antara influencer dan komunitas (Fandi Alfiansyah Siregar, 2017). Dalam hal literasi digital, komunitas juga berperan. Ketika informasi yang benar dan akurat, orang-orang dengan pemahaman yang benar dapat menyaring informasi dan menghindari narasi politik.
Masyarakat bisa menjadi orang yang sangat berpengetahuan jika mereka mengetahui cara menggunakan media sosial dengan benar. Hal ini meminimalisir kehadiran orang-orang yang mudah terbujuk oleh informasi dan pandangan tertentu yang terus-menerus diedit sesuai  kepentingan masing-masing orang (Zulfa, 2021). Citra dalam politik bisa menjadi alat yang hebat jika Anda menggunakan metode yang tepat dan mempertimbangkan  berbagai aspek. Media sosial dapat memperkuat demokrasi dan menciptakan ekspresi dialog antar  komunitas berbeda di masyarakat.
Oleh karena itu,  penting bagi para politisi untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas dalam segala situasi  dengan publik. Masyarakat juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan literasi digitalnya agar mereka dapat memilih informasi secara kritis dan tidak mudah dimanipulasi oleh manipulasi diskursif politik. Dalam kondisi yang bijaksana dan bertanggung jawab, pencitraan dalam politik di era media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk memperkuat demokrasi dan memicu dialog  positif antar masyarakat. Peningkatan literasi digital sangat dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga memungkinkan individu untuk mengevaluasi informasi secara kritis dan menghindari diri mereka dimanipulasi oleh wacana politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H