Seperti halnya tahun ini. Ketika saya berkabar pada orangtua bahwa belum bisa berkumpul berlebaran bersama keluarga di rumah. Dan lalu ibu saya merayakan kupatan syawal seperti sebelumnya, syawal hari ke-7. Dan saya pun memilih melakukan hal yang sama dengan ibu, merayakan lebaran dengan tradisi yang sederhana, seperti yang diajarkan orangtua sejak kecil. Saya pun merayakan kupatan syawal pada hari ke-7, setelah berpuasa syawal tentunya. Alhamdullilah.
Saya memilih membeli janur, membuat ketupat dan memasaknya. Persis seperti yang dilakukan ibu di rumah. Saya ingin menikmati proses sepiring ketupat sayur tersaji di atas meja. Ya ketupatnya, ya bawang gorengnya, saya membuat sendiri. Supaya saya bisa merasakan nikmat di tiap suapnya. Ah, betapa nikmat karuniaNya. Semoga saya bisa bertemu dengan Ramadan dan Syawal berikutnya, Amin.
Dari ibu dan bapak, saya banyak belajar. Belajar dalam memaknai kehidupan. Bahwa merayakan sesuatu yang istimewa tidak harus dengan kemewahan. Apalagi kemewahan yang berlebihan. Berlebihan makanan, berlebihan penampilan atau pun berlebihan dalam bertingkah laku. Karena kita tidak hidup saat lebaran saja. Setelah lebaran kita juga butuh hidup untuk kehidupan. Titik akhir perjalanan hidup kita bukan ketika lebaran. Tapi lebaran, tepatnya syawal merupakan titik awal kita untuk memperbaiki kehidupan. Meningkatkan  perilaku baik kita, dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Baik itu kepada Tuhan maupun kepada sesama. Bagi saya, akan menjadi lucu ketika setelah lebaran kita harus banting tulang mati-matian menutup cicilan demi membayar kemewahan ketika lebaran. Saya lebih memilih sederhana dalam keistimewaan lebaran, dengan tanpa mengurangi makna istimewa setelahnya.
Jakarta, 16 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H