Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kupatan Syawal, Makna Kehidupan dari Ibu

16 Juli 2016   11:40 Diperbarui: 16 Juli 2016   11:46 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketupat, kupat, kopat, orang menamainya. Tapi ia hanya satu rupa. Beras yang ditanak berbungkus janur atau daun kelapa. Yang menjadi santapan khas di hari yang istimewa. Sebagai simbol saling merekatnya persaudaraan antar sesama dengan silaturahmi di bulan nan fitri, bulan syawal. Foto: arum sato

Hari Raya Idul Fitri atau lebaran identik dengan makan-makan. Berbagai jenis masakan enak dan lezat tersaji di hari yang spesial ini. Ketupat, opor ayam, rendang, sambal goreng ati adalah beberapa menu wajib tersaji saat lebaran.

Saya tidak ingat, atau tidak tahu secara pasti, kapan tradisi berpesta makanan tersebut mulai diberlakukan. Dari semenjak kecil, di pertengahan bulan ramadan, saya selalu melihat tayangan-tayangan berpesta makanan saat lebaran di televisi. Meski dalam tayangan itu diikuti juga dengan adegan kumpul keluarga dan sungkeman anak kepada orangtua.

Namun begitu, keluarga saya tidak mempunyai tradisi berpesta makanan seperti itu. Dalam keluarga saya, lebaran adalah momen berkumpulnya semua anggota keluarga untuk saling bermaafan. Ritual sungkem ibu kepada bapak, diikuti dengan anak tertua hingga si bungsu. Momen mendatangi tetangga dan keluarga jauh untuk mempererat tali kekeluargaan dan silaturahmi. Mendekatkan yang jauh, merekatkan yang dekat. Barulah disusul dengan momen makan bersama.

Menu yang disajikan ibu pun tak sama dengan yang diputar di televisi. Lebih jelasnya, makanan seperti ketupat dan opor ayam tidak ada dalam menu tersaji ketika lebaran. Setiap lebaran, kami terbiasa dengan menu lebaran ala ibu: soto ayam kuah bening dan pecel.

Di antara kami ada yang suka pecel, ada yang suka soto. Maka, ibu membuat dua menu tersebut tersaji di atas meja ketika lebaran. Dengan suwiran daging ayam kampung sembelihan ayah, atau adonan sambal pecel bikinan ibu, kami menikmati lebaran dengan penuh suka cita. Meski tak sama dengan tayangan di televisi, itu tak mengurangi secuil pun kebahagiaan kami, atas lebaran.

Selesai makan, biasanya kami ngemil jajanan yang sudah ditata rapi di atas meja. Tak ada nastar dan kastangel di toples. Kacang oleng (kacang bawang), kacang telur, keripik pisang kepok adalah camilan lebaran yang selalu dibuat oleh ibu. Kadang dari kacang simpanan panen kemarin. Pun pisang yang ditebas bapak dari kebon. Sayasih, kebagian mengocok telur, mengupas kacang dan pisang serta mencucinya. Setelah jadi, saya yang paling cepat menghabiskan keripiknya. Hahaha

Keluarga saya cukup sederhana. Maka, kami merayakan Idul Fitri dengan cara yang sederhana pula. Saya tak pernah melihat ibu atau bapak saya mengeluh harus beli ini dan itu untuk menyambut hari istimewa tersebut. Atau setidaknya menyamakan menu dengan tayangan di televisi. Dan kami, anak-anaknya, tak pernah meminta ataupun menggerutu atas hal itu. Hanya satu kebiasaan yang diadaptasi dan selalu dilakukan oleh ibu saya ketika lebaran, memakaikan baju baru untuk semua anggota keluarga.

Dengan berbekal mesin jahit tua dan keterampilan membuat pola, ibu saya membuat sendiri baju untuk kami anak-anaknya. Juga untuk bapak saya tentunya. Kalau pun membeli, hanyalah celana untuk bapak dan kakak/adik lelaki saya. Dan seringnya, ibu membuatkan baju lebaran kembar untuk saya dan adik perempuan saya, sama motif dan model. Kadang, sama motif beda model. Menghemat, kata ibu saya. Namun menginjak remaja atau SMP, saya menolak disamakan dengan adik saya. Mulai ada rasa risih ketika dibilang kembar. Kembar bajunya. Hehehe

Lebaran, kok Tidak Ada Ketupat?

Sudah menjadi kebiasaan keluarga ketika merayakan bulan nan fitri, bulan Syawal dengan Kupatan Syawal di hari ke-7. Masakan bisa beragam, waktu boleh berbeda. Tapi kita memaknai hal yang sama. Foto: arum sato
Sudah menjadi kebiasaan keluarga ketika merayakan bulan nan fitri, bulan Syawal dengan Kupatan Syawal di hari ke-7. Masakan bisa beragam, waktu boleh berbeda. Tapi kita memaknai hal yang sama. Foto: arum sato
Dalam keluarga saya, ketupat tidak ada dalam daftar menu lebaran. Dari saya kecil hingga saat ini. Akan ada ketupat tersaji di meja makan ketika syawal hari ke-7, sesudah puasa syawal 6 hari. Pada saat itu, ibu saya akan membuat dan memasak ketupat, lengkap dengan lauk-pauknya. Dan semuanya khas keluarga, ketupat dan sayur lodeh. Tidak ada opor ayam, pun rendang.

Seiring kedewasaan kami, kebiasaan itu masih tetap ibu lakukan. Ibu tetap menyajikan ketupat ketika syawal, bukan saat lebaran. Yang membedakan, sekarang ibu membuat ketupat tergantung request kami anak-anaknya. Dikondisikan dengan waktu kami saat berkumpul bersama. Karena kami tak lagi serumah dengan orangtua. Setelah dewasa dan menikah, kami berpindah mengikuti suami/istri masing-masing. Ibu dan bapak di rumah di temani si bungsu. Jadi tidak pas di syawal hari ke-7, tapi bisa di antara syawal hari ke-3 sampai hari ke-7, tergantung kesepakatan bersama. Pernah suatu waktu, ketika mudik lebaran, saya yang menyesuaikan waktu dengan kupatan syawal di rumah.

Seperti halnya tahun ini. Ketika saya berkabar pada orangtua bahwa belum bisa berkumpul berlebaran bersama keluarga di rumah. Dan lalu ibu saya merayakan kupatan syawal seperti sebelumnya, syawal hari ke-7. Dan saya pun memilih melakukan hal yang sama dengan ibu, merayakan lebaran dengan tradisi yang sederhana, seperti yang diajarkan orangtua sejak kecil. Saya pun merayakan kupatan syawal pada hari ke-7, setelah berpuasa syawal tentunya. Alhamdullilah.

Saya memilih membeli janur, membuat ketupat dan memasaknya. Persis seperti yang dilakukan ibu di rumah. Saya ingin menikmati proses sepiring ketupat sayur tersaji di atas meja. Ya ketupatnya, ya bawang gorengnya, saya membuat sendiri. Supaya saya bisa merasakan nikmat di tiap suapnya. Ah, betapa nikmat karuniaNya. Semoga saya bisa bertemu dengan Ramadan dan Syawal berikutnya, Amin.

Dari ibu dan bapak, saya banyak belajar. Belajar dalam memaknai kehidupan. Bahwa merayakan sesuatu yang istimewa tidak harus dengan kemewahan. Apalagi kemewahan yang berlebihan. Berlebihan makanan, berlebihan penampilan atau pun berlebihan dalam bertingkah laku. Karena kita tidak hidup saat lebaran saja. Setelah lebaran kita juga butuh hidup untuk kehidupan. Titik akhir perjalanan hidup kita bukan ketika lebaran. Tapi lebaran, tepatnya syawal merupakan titik awal kita untuk memperbaiki kehidupan. Meningkatkan  perilaku baik kita, dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Baik itu kepada Tuhan maupun kepada sesama. Bagi saya, akan menjadi lucu ketika setelah lebaran kita harus banting tulang mati-matian menutup cicilan demi membayar kemewahan ketika lebaran. Saya lebih memilih sederhana dalam keistimewaan lebaran, dengan tanpa mengurangi makna istimewa setelahnya.

Jakarta, 16 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun