Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pertunjukan “Wajah Perempuan” Film Indonesia oleh Reza Rahadian

4 April 2016   09:16 Diperbarui: 4 April 2016   16:16 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dari kanan-kiri: Sita Nursanti, Cut Mini, Reza Rahadian, Dominique Diyose, Chelsea Islan, dan Aghi Narottama. Monolog Wajah Perempuan di gelar di Galeri Indonesia Kaya pada Minggu, 03 April 2016. Foto: setyaningrum"][/caption]Masih dalam suasana memperingati Hari Film Nasional serta dalam menyambut Hari Kartini, aktor Reza Rahadian dan sutradara Garin Nugroho berkolaborasi dalam sebuah pertunjukan monolog bertemakan Wajah Perempuan: Retrospeksi Wajah Perempuan dari Film-film Indonesia.

Pertunjukan digelar pada Minggu, 3 April 2016 di Auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK), West Mall  Grand Indonesia, Jalan MH Thamrin Nomor 1, Jakarta. Tiga narasi monolog karya Garin Nugroho dibacakan oleh aktris film perempuan Indonesia, yaitu: Chelsea Islan, Dominique Diyose dan Cut Mini. Ketiganya mewakili peran perempuan dalam perfilman Indonesia saat ini.

Reza Rahadian, sang sutradara pertunjukan, memilih ketiga perempuan beda generasi tersebut bukan tanpa sebab. Ketiganya merupakan sosok perempuan yang secara tidak langsung telah meramaikan serta memberi khasanah pada perfilman Indonesia.

Pemeran BJ Habibie dalam Habibie & Ainun menambahkan, banyak figur dan peran perempuan dikisahkan dalam film. Seperti Chelsea Islan dalam lakon Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, Dominique Diyose yang sukses dengan perannya sebagai Ming dalam Berbagi Suami. Sosok bu guru yang lembut, Bu Halimah dilakonkan dengan apik oleh Cut Mini, yang merupakan guru yang paling berharga bagi segerombolan anak dalam Laskar Pelangi.

“Kekuatan perempuan tak jarang memberi sari pada cerita dan menjadi sorotan utama dalam sebuah film. Semoga pertunjukan ini dapat menginspirasi para wanita Indonesia untuk terus berkarya," ujar Reza Rahadian.

[caption caption="Sita Nursanti (Sita RSD) ketika menyanyikan lagu Waktu Kan Menjawab pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 3 April 2016. Foto: setyaningrum"]

[/caption]Pertunjukan tersebut juga dimeriahkan oleh Sita Nursanti (Sita RSD), yang menyanyikan sebuah lagu dari Grup Warna, Waktu Kan Menjawab, yang menjadi original sountrack film Ca-Bau-Kan karya Nia Dinata. Selama monolog berlangsung, diiringi pula oleh alunan piano oleh Aghi Narottama.

“Selaras dengan tema bulan ini yaitu: Wanita. Kolaborasi dengan Reza Rahadian dan seniman-seniman berbakat tanah air dengan mempersembahkan sebuah pertunjukan yang mungkin dapat menginspirasi kita, para wanita, untuk terus menjadi wanita yang produktif. Sehingga, wanita dapat terus memiliki peran penting dalam kehidupan,” ujar Renita Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Merayakan Ulangtahun Film, Merayakan Kebhinekaan
[caption caption="Chelsea Islan ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 3 April 2016. Foto: setyaningrum"]

[/caption]Merayakan ulang tahun film adalah merayakan kebhinnekaan. Itu salah satu salah kutipan dari narasi Garin yang dibacakan oleh Chelsea Islan. Pada dasarnya, perfilman Indonesia itu mencerminkan ke-Indonesia-an itu sendiri. Film Indonesia tidak ada yang sama. Semuanya berbeda, baik dalam segi tema maupun genre, semua ada. Itu makanya Garin menyebutnya film Indonesia itu adalah gado-gado. Yang mengadopsi apapun yang datang dari luar negeri dan yang sedang populer. Hasilnya, ya, gado-gado.

Jadi jangan heran, bila film-film Indonesia memiliki banyak rasa. Ada rasa Hollywood, India, Hongkong, Korea, maupun Jepang. Namun, seenak-enaknya rasa tersebut, patutlah kiranya kalau kita harus memilih rasa Indonesia. Karena, dengan menikmati film hasil kreasi anak negeri, dengan sendirinya juga akan memajukan dunia perfilman kita. Kalau bukan kita yang menonton, siapa lagi? Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi yang akan memajukan Film Nasional?

[caption caption="Dominique Diyose ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 3 April 2016. Foto: setyaningrum"]

[/caption]Juga ketika Garin menyinggung perfilman Indonesia lewat narasi yang dibacakan oleh Dominique Diyose. Film adalah gambar hidup. Ia menghidupkan segala kehidupan. Namun kekuatan menghidupkan seakan menjadi penjara bagi film itu sendiri. Karena dianggap akan mampu membangkitkan kehidupan yang menakutkan.

Film memang menghidupkan. Memberi keindahan sekaligus renungan hidup. Namun juga memunculkan ketakutan pada kemampuannya menghidupkan sesuatu. Ketakutan tersebut antara lain pada kata-kata: pengaruh buruk film.

Maka lahirlah yang namanya lembaga sensor film, sebagai agen penyortir film dalam melawan ketakutan: pengaruh buruk film. Yang malah membatasi kreativitas film itu sendiri. Kenapa? Karena banyaknya aturan-aturan atau hal-hal yang boleh dan tidak boleh diangkat oleh para seniman film.

Bahkan, untuk sekadar judul pun ada ketentuan yang diatur. Sebut saja film karya Arizal tahun 1980-an yang berjudul 'Kiri Kanan OK', harus diganti menjadi 'Kanan Kiri OK'. Karena pada masa orde baru, hal-hal yang berbau kiri dituding sebagai hal yang buruk dan tidak boleh diletakkan di depan.

“Memperingati Hari Film Nasional, kita memberi hormat kepada mereka yang terus memperjuangkan kebebasan ekspresi tiada henti. Sebuah kebebasan untuk menghidupkan kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Itulah makna gambar hidup,” tutup Dominique Diyose dalam narasi yang dibacanya.

[caption caption="Cut Mini ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 03 April 2016. Foto: setyaningrum"]

[/caption]Pada narasi yang dibacakan oleh Cut Mini, aktris pemain film Laskar Pelangi, Garin lebih menyinggung tentang perbedaan film Hollywood dan film-film nasional. Tentang peran Amerika pada segala problem yang ada di dunia. Ketika tidak ada lagi musuh untuk diadu, film dengan tokoh fiksi luar angkasa menjadi lawan main yang baru, bagi Amerika.

“Namun Indonesia bukanlah Amerika. Ketika film datang, Indonesia akrab dengan dua seni tradisi, seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia tumbuh dalam konflik dan hubungan seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia bukan seperti film Amerika, yang tumbuh sejajar dengan sejarahnya sendiri. Hollywood bertumbuh dalam sejarah yang berbeda dengan negeri ini. Melahirkan mimpi yang berbeda,” pungkas Cut Mini dalam monolognya.

Menonton dan mengapresiasi film karya anak bangsa bukan hal yang buruk, bagi diri maupun bagi bangsa ini. Maka, mencintai film nasional adalah kewajiban kita bersama, dalam turut serta memajukan bangsa lewat seni peran. Yuks, cintai lebih Film Nasional.

Jakarta, 4 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun