[caption caption="Dari kanan-kiri: Sita Nursanti, Cut Mini, Reza Rahadian, Dominique Diyose, Chelsea Islan, dan Aghi Narottama. Monolog Wajah Perempuan di gelar di Galeri Indonesia Kaya pada Minggu, 03 April 2016. Foto: setyaningrum"][/caption]Masih dalam suasana memperingati Hari Film Nasional serta dalam menyambut Hari Kartini, aktor Reza Rahadian dan sutradara Garin Nugroho berkolaborasi dalam sebuah pertunjukan monolog bertemakan Wajah Perempuan: Retrospeksi Wajah Perempuan dari Film-film Indonesia.
Pertunjukan digelar pada Minggu, 3 April 2016 di Auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK), West Mall Grand Indonesia, Jalan MH Thamrin Nomor 1, Jakarta. Tiga narasi monolog karya Garin Nugroho dibacakan oleh aktris film perempuan Indonesia, yaitu: Chelsea Islan, Dominique Diyose dan Cut Mini. Ketiganya mewakili peran perempuan dalam perfilman Indonesia saat ini.
Reza Rahadian, sang sutradara pertunjukan, memilih ketiga perempuan beda generasi tersebut bukan tanpa sebab. Ketiganya merupakan sosok perempuan yang secara tidak langsung telah meramaikan serta memberi khasanah pada perfilman Indonesia.
Pemeran BJ Habibie dalam Habibie & Ainun menambahkan, banyak figur dan peran perempuan dikisahkan dalam film. Seperti Chelsea Islan dalam lakon Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, Dominique Diyose yang sukses dengan perannya sebagai Ming dalam Berbagi Suami. Sosok bu guru yang lembut, Bu Halimah dilakonkan dengan apik oleh Cut Mini, yang merupakan guru yang paling berharga bagi segerombolan anak dalam Laskar Pelangi.
“Kekuatan perempuan tak jarang memberi sari pada cerita dan menjadi sorotan utama dalam sebuah film. Semoga pertunjukan ini dapat menginspirasi para wanita Indonesia untuk terus berkarya," ujar Reza Rahadian.
[caption caption="Sita Nursanti (Sita RSD) ketika menyanyikan lagu Waktu Kan Menjawab pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 3 April 2016. Foto: setyaningrum"]
“Selaras dengan tema bulan ini yaitu: Wanita. Kolaborasi dengan Reza Rahadian dan seniman-seniman berbakat tanah air dengan mempersembahkan sebuah pertunjukan yang mungkin dapat menginspirasi kita, para wanita, untuk terus menjadi wanita yang produktif. Sehingga, wanita dapat terus memiliki peran penting dalam kehidupan,” ujar Renita Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Merayakan Ulangtahun Film, Merayakan Kebhinekaan
[caption caption="Chelsea Islan ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 3 April 2016. Foto: setyaningrum"]
Jadi jangan heran, bila film-film Indonesia memiliki banyak rasa. Ada rasa Hollywood, India, Hongkong, Korea, maupun Jepang. Namun, seenak-enaknya rasa tersebut, patutlah kiranya kalau kita harus memilih rasa Indonesia. Karena, dengan menikmati film hasil kreasi anak negeri, dengan sendirinya juga akan memajukan dunia perfilman kita. Kalau bukan kita yang menonton, siapa lagi? Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi yang akan memajukan Film Nasional?
[caption caption="Dominique Diyose ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 3 April 2016. Foto: setyaningrum"]
Film memang menghidupkan. Memberi keindahan sekaligus renungan hidup. Namun juga memunculkan ketakutan pada kemampuannya menghidupkan sesuatu. Ketakutan tersebut antara lain pada kata-kata: pengaruh buruk film.
Maka lahirlah yang namanya lembaga sensor film, sebagai agen penyortir film dalam melawan ketakutan: pengaruh buruk film. Yang malah membatasi kreativitas film itu sendiri. Kenapa? Karena banyaknya aturan-aturan atau hal-hal yang boleh dan tidak boleh diangkat oleh para seniman film.
Bahkan, untuk sekadar judul pun ada ketentuan yang diatur. Sebut saja film karya Arizal tahun 1980-an yang berjudul 'Kiri Kanan OK', harus diganti menjadi 'Kanan Kiri OK'. Karena pada masa orde baru, hal-hal yang berbau kiri dituding sebagai hal yang buruk dan tidak boleh diletakkan di depan.
“Memperingati Hari Film Nasional, kita memberi hormat kepada mereka yang terus memperjuangkan kebebasan ekspresi tiada henti. Sebuah kebebasan untuk menghidupkan kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Itulah makna gambar hidup,” tutup Dominique Diyose dalam narasi yang dibacanya.
[caption caption="Cut Mini ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 03 April 2016. Foto: setyaningrum"]
“Namun Indonesia bukanlah Amerika. Ketika film datang, Indonesia akrab dengan dua seni tradisi, seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia tumbuh dalam konflik dan hubungan seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia bukan seperti film Amerika, yang tumbuh sejajar dengan sejarahnya sendiri. Hollywood bertumbuh dalam sejarah yang berbeda dengan negeri ini. Melahirkan mimpi yang berbeda,” pungkas Cut Mini dalam monolognya.
Menonton dan mengapresiasi film karya anak bangsa bukan hal yang buruk, bagi diri maupun bagi bangsa ini. Maka, mencintai film nasional adalah kewajiban kita bersama, dalam turut serta memajukan bangsa lewat seni peran. Yuks, cintai lebih Film Nasional.
Jakarta, 4 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H