Mohon tunggu...
Arum Sato
Arum Sato Mohon Tunggu... content writer -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pertunjukan “Wajah Perempuan” Film Indonesia oleh Reza Rahadian

4 April 2016   09:16 Diperbarui: 4 April 2016   16:16 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka lahirlah yang namanya lembaga sensor film, sebagai agen penyortir film dalam melawan ketakutan: pengaruh buruk film. Yang malah membatasi kreativitas film itu sendiri. Kenapa? Karena banyaknya aturan-aturan atau hal-hal yang boleh dan tidak boleh diangkat oleh para seniman film.

Bahkan, untuk sekadar judul pun ada ketentuan yang diatur. Sebut saja film karya Arizal tahun 1980-an yang berjudul 'Kiri Kanan OK', harus diganti menjadi 'Kanan Kiri OK'. Karena pada masa orde baru, hal-hal yang berbau kiri dituding sebagai hal yang buruk dan tidak boleh diletakkan di depan.

“Memperingati Hari Film Nasional, kita memberi hormat kepada mereka yang terus memperjuangkan kebebasan ekspresi tiada henti. Sebuah kebebasan untuk menghidupkan kehidupan manusia dan kemanusiaannya. Itulah makna gambar hidup,” tutup Dominique Diyose dalam narasi yang dibacanya.

[caption caption="Cut Mini ketika membacakan narasi karya Garin Nugroho pada Monolog Wajah Perempuan di Galeri Indonesia Kaya, Minggu 03 April 2016. Foto: setyaningrum"]

[/caption]Pada narasi yang dibacakan oleh Cut Mini, aktris pemain film Laskar Pelangi, Garin lebih menyinggung tentang perbedaan film Hollywood dan film-film nasional. Tentang peran Amerika pada segala problem yang ada di dunia. Ketika tidak ada lagi musuh untuk diadu, film dengan tokoh fiksi luar angkasa menjadi lawan main yang baru, bagi Amerika.

“Namun Indonesia bukanlah Amerika. Ketika film datang, Indonesia akrab dengan dua seni tradisi, seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia tumbuh dalam konflik dan hubungan seni tinggi dan seni rendah. Film Indonesia bukan seperti film Amerika, yang tumbuh sejajar dengan sejarahnya sendiri. Hollywood bertumbuh dalam sejarah yang berbeda dengan negeri ini. Melahirkan mimpi yang berbeda,” pungkas Cut Mini dalam monolognya.

Menonton dan mengapresiasi film karya anak bangsa bukan hal yang buruk, bagi diri maupun bagi bangsa ini. Maka, mencintai film nasional adalah kewajiban kita bersama, dalam turut serta memajukan bangsa lewat seni peran. Yuks, cintai lebih Film Nasional.

Jakarta, 4 April 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun